Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image raras azkia

KOAS: Titik Tempa Calon Dokter Gigi

Sekolah | 2025-11-19 11:55:22
Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. (ANTARA Jatim/HO-Humas Unair/WI)

Masa Koasistensi (KOAS) dalam pendidikan dokter gigi di Indonesia merupakan fase kritis yang menentukan kualitas lulusan dokter gigi. Setelah menyelesaikan jenjang S1, mahasiswa kedokteran gigi harus menjalani masa KOAS selama 1,5 hingga 2 tahun di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM). Dalam periode ini, mereka bertransformasi dari mahasiswa teori menjadi calon klinisi melalui interaksi langsung dengan pasien di bawah pengawasan dokter gigi senior. Proses ini ibarat rite of passage yang menuntut adaptasi menyeluruh, tidak hanya dalam hal kompetensi klinis tetapi juga kematangan mental dan emosional.

RSGM berperan sebagai jembatan penghubung antara dunia akademis dengan realitas praktik kedokteran gigi yang kompleks. Di sinilah, untuk pertama kalinya, mahasiswa tidak lagi berhadapan dengan phantom, tetapi dengan manusia utuh yang membawa serta rasa takut, harapan, dan masalah kesehatannya. Transisi dari phantom gigi ke pasien nyata menjadi ujian pertama yang harus dihadapi setiap koas. Namun sayangnya, meskipun jumlah pasien yang dilayani cukup banyak, tidak semua koas berkesempatan mendapatkan variasi kasus klinis yang ideal untuk pengembangan kompetensinya.

Dinamika tantangan yang dihadapi koas semakin kompleks ketika beban administratif dan tuntutan kuota kasus ikut membayangi proses pembelajaran. Di balik setiap tindakan klinis yang dilakukan, terdapat tumpukan dokumen medis yang harus diselesaikan dengan teliti. Tekanan ganda antara tanggung jawab klinis dan beban administratif ini menciptakan beban mental yang tidak ringan. Penelitian Ried & Hottel (2019) mengonfirmasi bahwa tekanan semacam ini dapat memicu stres dan kelelahan mental yang signifikan di kalangan koas.

Selain berhadapan dengan sistem, koas juga harus mampu beradaptasi dengan beragam karakter pembimbing. Setiap dokter senior memiliki gaya mengajar dan standar penilaian yang berbeda-beda. Fleksibilitas dan ketahanan emosi menjadi kunci dalam menerima umpan balik dan kritik konstruktif yang diberikan.

Tantangan lain yang tak kalah kompleks adalah menghadapi keberagaman pasien. Mulai dari menangani pasien anak-anak yang cenderung rewel, hingga merawat pasien lansia dengan keterbatasan komunikasi, membutuhkan pendekatan dan kesabaran yang berbeda. Bahkan, tak jarang koas harus menghadapi pasien dengan dental anxiety ekstrem yang memerlukan penanganan khusus. Sebuah keluhan yang kerap terdengar di sela-sela kesibukan klinik menggambarkan realitas ini: "Aku tadi dapat pasien anak lagi, nangis terus dari awal. Sudah kubujuk, sudah kuajak lihat mainan, tetap saja. Belum lagi laporan yang harus diselesaikan malam ini." Keluhan ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan cerminan dari tekanan nyata yang harus dihadapi sehari-hari.

Selain itu, jam kerja yang panjang, tuntutan akademik yang terus berjalan, dan tekanan untuk selalu siap secara mental dan fisik, membuat koas sangat rentan mengalami burnout. Studi oleh Elani et al. (2014) memperkuat temuan ini dengan menunjukkan tingginya prevalensi stres dan kelelahan emosional di kalangan mahasiswa kedokteran gigi selama masa koas.

Namun, justru di dalam tekanan dan tantangan inilah karakter seorang calon dokter gigi yang sesungguhnya ditempa. Setiap kesulitan yang berhasil diatasi, setiap pasien yang berhasil ditangani dengan baik, akan membangun lapisan kompetensi dan keyakinan diri yang kokoh. Proses pembelajaran di bawah tekanan mengajarkan nilai-nilai profesionalisme, empati, dan ketangguhan mental yang tidak dapat diperoleh hanya melalui pembelajaran di ruang kuliah.

Pada akhirnya, lorong-lorong RSGM menyaksikan proses metamorfosis yang mendalam. Dari mahasiswa yang penuh keraguan, menjadi calon dokter gigi yang penuh keyakinan. Dan kita semua, sebagai masyarakat, hanya bisa berharap bahwa proses penempaan ini akan melahirkan dokter-dokter gigi yang tidak hanya cekatan, tetapi juga penuh hati.

Referensi:

1. Ried, E. S., & Hottel, T. L. (2019). Well-being and burnout in dental students: A systematic review. Journal of Dental Education, 83(4), 462-471.

2. Elani, H. W., Allison, P. J., Kumar, R. A., Mancini, L., Lambrou, A., & Bedos, C. (2014). A systematic review of stress in dental students. Journal of Dental Education, 78(2), 226-242.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image