Sastra Sebagai Media Perlawanan
Eduaksi | 2025-11-19 11:05:26
Sastra tidak asing bagi kita untuk mendengarnya. Di balik unsur estetika dalam sastra, tersembunyi api yang siap menerjang apa pun. Hal itu dipertegas ketika sang maestro puisi Wiji Thukul membunyikan puisi yang ia tulis sebagai perlawanan kepada rezim orde baru yang terkenal represif. Dengan sastra Widji Thukul membuktikan bahwa sastra tidak hanya mengandung unsur estetika saja, akan tetapi sebagai senjata baru untuk melawan penindasan juga ketidakadilan yang terjadi. Kembali pada sastra, sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sangsekerta "śās-" atau "shaas-" yang berarti mengajar, mengarahkan, memberi petunjuk, dan akhiran "-tra" yang berarti alat atau sarana, maka kita dapat simpulkan secara bahasa sastra merupakan medium untuk belajar juga memberi petunjuk. Secara terminologi, kita dapat mengetahuinya dari beberapa tukilan ahli, Sastra adalah sebuah hasil pekerjaan seni kreatif yang merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Endraswara (2012: 8). Menurut A. Teeuw, sastra adalah sistem tanda yang memiliki struktur koheren, dapat memberikan makna universal melalui penggunaan bahasa, dan berfungsi sebagai alat komunikasi khas dalam Masyarakat. Menurut Sapardi Djoko Damono, sastra adalah sebuah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Menurut J. Derrida Sastra merupakan sebuah industrial yang di dalamnya ada unsur ideologis, wacana sosial, maupun politik. T. Eagleton berpendapat "sastra" bersifat historis dan tidak stabil, serta menyoroti peran ideologi, kelas sosial, dan konteks dalam membentuk apa yang dianggap sebagai karya sastra. Pada akhirnya makna sastra secara umum ialah penyampaian emosi bermediumkan bahasa dialirkan dengan lisan maupun tulisan.
Media Perlawanan
Sastra sebagai bentuk perlawanan dapat terdefinisikan sebagai emosi kuat untuk melawan ketidakadilan juga penindasan yang terjadi dalam realitas, seperti M.H Abrams dalam The Mirror and The Lamp mengungkapkan sifat mimetik sastra – Sastra bersifat mimetik yang mana sastra merupakan cerminan realitas sosial, yang diungkapkan melalui simbol-simbol atau metafora dalam karya sastra – oleh karena itu sastra dapat menjadi medium untuk menyuarakan sebuah kebenaran, di kutip dari Abifathe dalam sebuah artikelnya di kalam kopi “ Seno Gumira Ajidarma, dalam esainya “Kehidupan Sastra Di Dalam Pikiran” yang dimuat harian Kompas pada tanggal 3 Januari 1993. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila Jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tertahankan.”. Maka dari kutipan ini saudara dapat mengetahui lebih lanjut bahwa sastra wajib untuk menyuarakan kebenaran, ketika fakta bisa diubah dan dimainkan maka sastra harus meluruskan dan mengungkap kebenaran, seperti J. F Keneddy bilang “Jika politik itu kotor, puisi yang harus membersihkannya. Jika politik bengkok, maka sastra yang harus meluruskannya”.
Sejarah perlawanan yang dimanifestasikan dalam karya sastra. Bangsa kita, seluruh tumpah darah Indonesia memiliki darah pejuang, dilihat dari pada fakta bahwasanya Indonesia merdeka dengan cara merebut kebebasan. Faktor itulah yang membentuk nadi perjuangan, maka tidaklah suatu hal aneh bagi kita untuk selalu menyuarakan kebenaran, juga melawan penindasan dan ketidakadilan. Saat pra-kemerdekaan perlawanan melalui karya sastra dimanifestokan oleh Eduard Douwes Dekker yaitu Max Havelaar, Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, Peringatan Wiji Thukul, karya- karya fenomenal ini menjadi bukti bagaimana sastra dapat menjadi sebuah medium bentuk perlawanan. Perlawanan di bawah panji sastra dapat diinterpretasi sebagai jalan juang untuk mengikis, menetralisir, menghijaukan, menyuarakan, menghancurkan, meniadakan, baik dalam unsur politik, ekologi, sosial, dsb, yang berkaitan dalam nilai juang.
Perlawanan dalam sastra harus dijaga dan dilestarikan juga dipraktikkan. Setiap kata yang terdapat dalam bahasa sastra, setiap teks, setiap kalimat, yang ada dalam karya sastra harus mempunyai nilai perjuangan seperti Rendra katakan, di samping estetika semata saja. Setiap berita-berita yang dikooptasi oleh penguasa, setiap fakta yang dihilangkan, maka panji sastra haruslah muncul ke permukaan dengan nilai kebenaran. Tradisi perlawanan yang diturunkan oleh para pendahulu dalam nadi kita haruslah teralirkan dengan baik hingga mencapai jantungnya yaitu sastra. Perlawanan yang diberikan di bawah panji sastra lebihlah terasa, karena sastra harus menjadi salah satu kanal yang jujur, yang mana tidak dapat dikooptasi oleh kaum penguasa. Sastra selalu beriringan dengan mereka yang termarjinalkan, mereka yang dihilangkan dalam peradaban, mereka yang dihapuskan dari tatanan sosial, maka dari pada itu, sastra haruslah menjadi pedang tajam, peluru yang melesat, bom yang meluluh-lantakan semuanya, di balik unsur estetika saja, sastra haruslah yang terdepan untuk menyuarakan perlawanan.
Akhir dari pada kata yang tertulis, kami selaku pewaris, saudara pun selaku pewaris kebenaran, juga perlawanan, haruslah melestarikan juga mempraktikkan dengan nalar kritis yang saudara miliki untuk memulai menciptakan sebuah gerakan perlawanan yang hampir terkikis oleh zaman yaitu sastra. Dengan inilah kami mengajak saudara sekalian untuk memulai apa yang telah diwariskan oleh pendahulu di bawah panji sastra, marilah mulai perubahan, marilah kita bersatu menyuarakan kebenaran melalui karya sastra. Ketika ilmiah terlihat kaku dan framing yang membingungkan, sastra melalui estetika darah akan menjelma menjadi medan tempur baru bagi kaum pergerakan. Untuk menutup tulisan ini kami berterima kasih kepada saudara sekalian yang telah membaca, juga kepada tuhan yang maha esa, atas karunia-Nya. Juga yang telah menciptakan sastra sebagai medium keindahan, dilukiskan dalam dialog, bait, kalimat yang tertera di dalamnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
