Circle Gen Z: Wadah Berprestasi atau Pangggung Validasi?
Trend | 2025-11-18 14:39:48Sering kali kita mendengar istilah ”circle”, baik di media sosial ataupun di lingkungan sehari-hari kita. Di kalangan mahasiswa, fenomena ini sudah menjadi hal lumrah yang sering kali ditemui ketika berada di kampus. Circle pertemanan di kampus tentunya berbeda dengan circle pertemanan semasa sekolah. Pasalnya orang-orang yang berkuliah berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai mahasiswa baru, saya cukup bisa merasakan tantangan itu, terutama dalam memahami dan menjalin pertemanan dengan teman-teman baru di lingkungan kampus. Lantas, apakah circle ini benar-benar dapat menjadi support system bagi seorang remaja? atau justru mengarah pada hal-hal toxic yang merugikan diri kita?
Dalam bahasa gaul, circle dapat dimaknai sebagai sekumpulan orang yang memiliki prinsip, kepribadian, ataupun hobi yang sama. Istilah circle juga merujuk pada pertemanan yang sangat akrab antar individu. Mengutip pada Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan oleh Radyana & Ririn, circle pertemanan umumnya juga memiliki “aturan main” yang harus diikuti dan dilakukan oleh orang-orang didalam kelompok sosial tersebut. Hal ini yang kemudian mendorong seseorang untuk menyesuaikan dirinya agar dapat diterima didalam kelompoknya. Sebagai Gen-Z, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk bersikap selektif dalam memilih circle pertemanan yang tepat agar tidak terjerumus dalam toxic friendship.
Sebagai mahasiswa baru, saya tidak mempermasalahkan keberadaan circle tersebut. Saya pun turut menyadari adanya circle yang saya anggap “rumah” untuk tempat curhat atau sekedar bercanda ria. Namun, saya cukup menyayangkan jika adanya circle ini justru mengubah pola piker seseorang. Ketika seseorang beranggapan bahwa dirinya ada di circle yang tepat, ia cenderung menutup diri dengan dunia luar atau teman-teman lainnya. Hal ini yang cukup disayangkan, mengingat sebagai mahasiswa baru kita perlu menjalin relasi yang luas dan sehat. Sehat disini artinya tidak membawa diri kita pada hal-hal yang toxic atau merugikan. Selain itu, relasi yang luas membantu kita di masa depan kelak, khususnya ketika kita mencari pekerjaan.
Namun, apakah pandangan setiap orang mengenai circle ini sama? Tentunya tidak. Masing-masing individu mempunyai pola pikir dan pandangan tersendiri yang tentunya berbeda satu sama lain. Di sinilah letak tantangan tersebut. Menyeragamkan persepsi tiap orang tentu tidaklah mudah. Sebagai manusia, semua berhak untuk menjalin pertemanan satu sama lain. Tanpa ada tekanan, paksaan, dan aturan terkait cara membangun hubungan pertemanan. Salah satu contoh bentuk hak asasi manusia dalam hal kepentingan sosial. Setiap individu memiliki kebebasan dalam memutuskan apa yang dia inginkan, termasuk dalam ranah memilih teman di kehidupannya.
Mengacu pada pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan. Salah satunya yaitu hak dalam memilih lingkungan pertemanan. Keberadaan circle pertemanan memiliki dua sisi, yaitu positif dan negatif. Circle yang positif berarti mampu menjadi tempat nyaman bagi seseorang dan membawa dia ke arah posisif, misalnya mengikuti lomba, melakukan kegiatan sosial, dan lain sebagainya. Sebaliknya, circle yang negatif akan membawa seseorang ke jurang kehancuran, yang membuat dia kehilangan arah serta jati dirinya. Misalnya seperti lingkungan yang menyalahgunakan narkoba, mengajak tawuran, dan hal-hal lain yang merugikan diri sendiri serta orang lain.
Dalam kenyataannya, masih banyak dijumpai berita-berita negatif yang menandakan bahwa circle tak sepenuhnya berdampak positif. Kasus seperti tawuran, minum-minuman keras, hingga kasus pelecehan seksual mengindikasikan bahwa seseorang salah dalam memilih lingkungan pertemanan. Dalam pergaulan, seseorang cenderung akan terbawa oleh arus pertemanan. Dalam hal ini, kekuatan dan jati diri menjadi hal yang krusial untuk menentukan apakah dirinya mampu bersikap dewasa dan bijak. Jika tidak dibentengi dengan prinsip yang kuat, seseorang akan mudah “dikendalikan” oleh lingkungan pertemanannya dan berujung pada hal-hal yang merugikan.
Belakangan ini, banyak sekali tren-tren yang mengarah pada hedonisme. Kebiasaan nongkrong hingga larut malam, sifat individualisme, acuh tak acuh, hingga sikap konsumtif yang berlebihan seolah menjadi budaya yang sudah mengakar. Di lain sisi bangsa Indonesia dulunya dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan gotong royong. Miris, tapi beginilah fakta sebenarnya. Banyak dari generasi milenial yang beralasan bahwa kebiasaan mereka merupakan bentuk self reward. Padahal, masih banyak alternatif self reward yang lebih positif, misalnya berolahraga, menonton film, atau belajar hal-hal baru. Dekadensi moral dan lunturnya sikap ramah tamah menandakan kemunduran bangsa. Hal ini yang perlu diluruskan dan diperbaiki agar masyarakat Indonesia, khususnya remaja tidak kehilangan jati dirinya.
Namun, tak sedikit juga generasi muda yang masuk dalam circle pertemaman positif. Salah satunya dengan membentuk forum diskusi belajar. Disana, mereka saling bertukar ide dan pikiran guna mengasah kemampuan mereka. Dari situlah, akan terbentuk individu-individu yang unggul dan berwawasan luas. Tak jarang juga berita yang menampilkan torehan prestasi para generasi muda yang membanggakan. Hal itu tidak lepas dari lingkungan yang membawa mereka sampai di titik itu. Teman-teman yang positif, selalu mendukung, serta memiliki tujuan yang sama untuk berprestasi. Inilah yang dinamakan dengan circle pertemanan positif.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari tahu dan selektif dalam memilik circle pertemanan. Tak hanya circle yang mampu membuat kita nyaman, tetapi circle yang memotivasi kita untuk terus tumbuh dan berkembang. Memilih circle pertemanan itu relatif, tetapi harus membawa kita pada hal-hal positif. Jangan sampai pilihan kita saat ini, membawa mimpi buruk bagi kita di masa mendatang. Jadilah diri sendiri dan jangan pernah rendah diri. Setiap orang itu sama, hanya saja pandangan mereka yang berbeda-beda. Teruslah memperluas relasi, tapi jangan jadikan itu sebagai panggung validasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
