Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shaista Fariba Aleesha Zen

Di Balik Senyum Remaja: Ada Krisis Emosi yang tak Terlihat

Edukasi | 2025-11-18 22:18:59

Sumber gambar : Pixabay

Pernahkah kita bertanya, mengapa banyak remaja, atau mungkin termasuk diri kita sendiri terlihat bahagia di luar, tetapi diam-diam merasa kosong di dalam? Pada masa peralihan, remaja sering mengalami masalah kompleks dari lingkungan sekitar, termasuk tekanan akademik, perubahan hormonal, hubungan interpersonal, serta eksplorasi identitas diri (Muhammad Aldris, 2024). Fenomena ini menunjukkan bahwa kesehatan mental remaja merupakan isu yang tidak bisa diabaikan. Karena jika diabaikan, akan berdampak serius pada kalangan remaja.

Di tengah banyaknya tuntutan atas ekspektasi keluarga maupun lingkungan, membuat banyak remaja merasa tertekan. Tekanan sosial, persaingan akademik, bahkan keinginan tampil sempurna di media sosial membuat sebagian remaja sulit menerima dirinya sendiri. Sehingga mereka merasa kurang percaya diri atas pencapaian mereka dan bahkan membandingkan diri dengan orang lain. Kepercayaan diri pada remaja merupakan hal yang paling mendasar, jika seseorang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri, maka seseorang tersebut akan sulit menerima situasi, yang membuat ia merasa ragu dengan dirinya. Ketidakmampuannya dalam mengungkapkan perasaan merupakan penyebab kasus depresi pada sebagian remaja, dan depresi ini dapat mengganggu kesehatan mental. (Melyana Safitri, 2021) .

Kondisi mental yang tidak stabil tentu akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan remaja, mulai dari prestasi belajar hingga hubungan sosial mereka. Dukungan dari keluarga maupun teman dapat membantu pertumbuhan masa transisi remaja dalam menjaga kestabilan emosi, yang mana kestabilan emosi tersebut dapat membantu remaja dalam menyelesaikan masalah. Sehingga remaja dapat mengatasi stres serta tekanan. Kesehatan mental sangat perlu untuk dijaga dan dirawat semaksimal mungkin, hal tersebut agar tidak menyebabkan gangguan mental. Tidak hanya itu, kesehatan mental juga sebagai penunjang produktivitas dan kualitas kesehatan fisik.

Pada saat ini, media sosial juga berpengaruh pada kehidupan sosial remaja. Banyak remaja yang sudah kecanduan media sosial, sehingga merasa perlu menampilkan jati diri secara sempurna. Algoritma “kesempurnaan” membuat mereka merasa tertuntut untuk terlihat ideal demi mendapatkan komentar positif. Tekanan untuk memenuhi standar tersebut membuat sebagian remaja mengikuti berbagai tren atau mengalami FOMO (Fear Of Missing Out). Hal inilah yang dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama ketika mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.

Banyaknya tekanan dan stres yang dialami remaja juga dipengaruhi karena kurangnya pemahaman emosi pada diri mereka sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Masih banyak sekolah yang belum memberikan pembelajaran tentang bagaimana cara mengelola emosi, khususnya pada remaja yang sedang mengalami transisi. Karena itu, banyak remaja yang tidak mengenali stres, sehingga tidak dapat mengatasinya. Dan banyak juga keluarga yang lebih berfokus pada prestasi anak, dibandingkan kesehatan mentalnya. Tanpa disadari, tuntutan itu dapat membuat seorang anak merasa tertekan jika ekspektasi keluarga tidak terpenuhi.

Banyaknya kasus depresi juga disebabkan karena terpendamnya beban pikiran pada seorang remaja. Terpendamnya beban pikiran karena ketidakmampuan seseorang dalam mengungkapkan apa yang sedang membebaninya. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya rasa takut yang berlebihan jika dianggap lemah atau berlebihan. Adanya stigma bahwa “masalah mental itu aib” juga dapat mengurungkan niat seseorang dalam membagikan ceritanya. Selain itu, karena masih sulitnya konselor atau layanan profesional membuat mereka semakin ragu untuk mencari bantuan.

Beberapa langkah penting dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental remaja. Sekolah perlu memperkuat literasi emosi, agar siswa mampu memahami dan mengelola perasaannya. Akses konseling juga harus diperluas, sehingga remaja dapat mencari bantuan saat menghadapi tekanan. Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka, memberi ruang aman bagi anak untuk bercerita. Selain itu, edukasi kesehatan mental harus digencarkan agar remaja memiliki pemahaman yang tepat tentang kesejahteraan psikologis. Menjaga kesehatan mental remaja bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kewajiban bersama. Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat bekerja sama membangun ruang aman bagi remaja, maka masa peralihan bukan lagi fase yang menakutkan, melainkan peluang tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat.

Penulis: Shaista Fariba Aleesha Zen, Mahasiswa Universitas Airlangga Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image