Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cahya Putri Jelita

Tanah Longsor Pandanarum 2025: Saatnya Mitigasi Bencana Berbasis Sains Data

Etcetera | 2025-11-18 12:43:17

 

Sumber : ilustrasi tanah longsor (https://pixabay.com/id/photos/search/tanah%20longsor/)

Peristiwa tanah longsor yang menimpa Dusun Situkung, Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, pada tanggal 16 November 2025 menjadi pengingat keras bahwa Indonesia masih berada dalam siklus bencana yang terus berulang. Hujan lebat yang mengguyur wilayah Banjarnegara kembali memicu pergerakan tanah, menyebabkan puluhan rumah rusak, warga mengungsi, dan akses desa sempat terputus. Tragedi ini bukan yang pertama, dan bisa jadi bukan yang terakhir, jika pola mitigasi tidak berubah.

Selama ini, bencana longsor di banyak daerah selalu dianggap sekadar musibah alam. Padahal, di balik setiap kejadian, ada pola risiko yang dapat dibaca jauh lebih awal jika kita memanfaatkan data sains secara serius. Data curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah, pola penggunaan lahan, dan perubahan vegetasi sebenarnya sudah cukup untuk memprediksi wilayah berisiko tinggi. Masalahnya, data tersebut sering tidak digunakan secara sistematis untuk pencegahan.

Di daerah perbukitan seperti Pandanarum, analisis data historis dapat menunjukkan seberapa intensitas hujan tertentu sudah cukup untuk memicu longsor. Jika data itu dipadukan dengan sensor hujan real-time dan peta rawan, pemerintah daerah bisa memiliki sistem peringatan dini yang memperingatkan warga ketika risiko meningkat. Ini bukan konsep futuristik, banyak negara sudah melakukannya. Bahkan di Indonesia, teknologi serupa sudah tersedia, namun belum diterapkan secara merata hingga ke desa-desa rawan seperti Pandanarum.

Data sains juga mampu mengidentifikasi perubahan vegetasi di lereng melalui citra satelit. Penurunan tutupan tumbuhan, pembukaan lahan, atau perubahan kontur tanah dapat dipertahankan secara harian. Temuan ini sangat penting untuk daerah yang topografinya sensitif seperti Banjarnegara, dimana perubahan kecil di daratan bisa berdampak besar. Dengan data itu, pemerintah dapat menetapkan zona yang harus direstorasi, ditanami kembali, atau bahkan ditetapkan sebagai kawasan terlarang untuk pemukiman.

Di sisi lain, mitigasi bencana berbasis data tidak hanya soal teknologi. Yang lebih penting adalah kemauan politik dan konsistensi kebijakan. Data yang baik tidak ada artinya jika tidak menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang, pengawasan pemanfaatan lahan, dan edukasi masyarakat. Banyak desa rawan longsor tetap memiliki pemukiman padat di lembah curam karena keputusan yang tidak mempertimbangkan data risiko. Pada akhirnya, warga menanggung akibatnya.
Longsor Pandanarum 2025 seharusnya menjadi titik balik.

Kita memiliki kemampuan teknis, sumber data, dan teknologi untuk membaca risiko lebih cepat dari tanah yang bergerak. Yang kita perlukan adalah komitmen bahwa keselamatan warga harus didasarkan pada bukti dan analisis, bukan sekadar respons setelah bencana terjadi.

Jika data ilmu pengetahuan benar-benar terintegrasi ke dalam perencanaan wilayah dan sistem peringatan dini, tragedi seperti yang terjadi di Pandanarum tidak hanya dapat meminimalkan dampaknya, tetapi juga dapat dicegah. Bencana memang tidak bisa dihentikan, namun kerugian dan korban jiwa selalu bisa dikurangi. Dan itu semua dimulai dari keberanian untuk mendengarkan data.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image