Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dyane Aditya Rezkianti

Budaya FOMO: Ketika Takut Ketinggalan Menjadi Bagian dari Identitas Generasi Digital

Gaya Hidup | 2025-11-17 19:29:01

Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, masyarakat modern hidup dalam ritme yang serba cepat dan kompetitif. Media sosial menjadi ruang baru yang tidak hanya memudahkan komunikasi, tetapi juga membentuk cara berpikir dan bertindak. Di ruang maya inilah muncul sebuah fenomena sosial yang menonjol di kalangan muda yaitu FOMO (Fear of Missing Out) ketakutan akan ketinggalan tren, informasi, atau momen penting yang sedang ramai dierbincangkan. Awalnya, FOMO dianggap hal sepele, sekadar rasa ingin tahu terhadap apa yang sedag viral. Namun, tanpa disadari perasaan itu berkembang menjadi kebutuhan untuk selalu terhubung, selalu hadir, dan selalu “ikut” dalam setiap arus yang datang.

Sebuah studi oleh Przybylski dkk. (2013) menunjukkan bahwa FOMO terkait erat dengan ketidakpuasan diri dan kecemasan sosial yang meningkat akibat keterikatan berlebihan pada media sosial. Manusia kini mulai kehilangan kemampuan untuk menikmati hidupnya sendiri karena terlalu sibuk membandingkan diri dengan orang lain.

Kehidupan yang Selalu Dibandingnkan

Budaya FOMO membuat seseorang cenderung melihat kebahagiaan orang lain sebagai tolak ukur keberhasilannya sendiri. Saat teman memamerkan pencapaiaan, liburan, atau barang baru di media sosial, muncul dorongan untuk menandingi atau setidaknya tidak terlihat “tertinggal”. Penelitian yang dilakukan oleh Baker, Krieger, dan LeRoy (2016) menunjukkan bahwa semakin sering seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial, semakin rendah tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidupnya.

Generasi muda, terutama mahasiswa dan pekerja awal, menjadi kelompok yang paling rentan. Mereka hidup dalam tekanan sosial yang halus dimana harus terlihat produktif, bahagia, san sukses di dunia maya. Banyak yang lupa bahwa tidak semua yang tampak di layar adalah kenyataan. Di balik foto penuh senyum dan pencapaian gemilang, sering tersembunyi kelelahan dan kecemasan.

Fenomena ini tidak hanya mengubah cara berpikir individu, tetapi juga membentuk budaya baru seperti budaya pamer (flex culture). Nilai hidup bergeser dari makna menjadi tampilan, dari proses menjadi hasil, dari keberadaan menjadi pengakuan. Semakin banyak pengakuan yang diperoleh melalui “likes”, komentar, atau pengikut semakin tinggi rasa percaya diri seseorang, walau hanya sesaat.

Teknologi dan Pola Hidup Serba Cepat

FOMO tak bisa dilepaskan dari peran teknologi dan media sosial. Algoritma yang bekerja di balik layar dirancang untuk membuat pengguna tetap bertahan di dalam aplikasi. Setiap notifikasi, tren, atau unggahan populer adalah umpan yang memicu rasa penasaran dan keterikatan. Sebagaimana dijelaskan oleh Eyal (2014) dalam bukunya Hooked: How to Build Habit-Forming Products, media sosial dirancang untuk menstimulasi sistem dopamin otak, sehingga pengguna merasa terdorong untuk terus memeriksa layar.

Kondisi ini membuat individu mudah kehilangan arah dalam menentukan prioritas. Alih-alih memanfaatkan teknologi untuk berkembang, banyak yang justru terjebak dalam lingkaran konsumsi informasi yang berlebihan. Ketenangan batin pun sulit didapat karena pikiran terus diselimuti rasa takut tertinggal dari orang lain.

Dampak Sosial dan Psikologis

Secara sosial, budaya FOMO menurunkan kualitas hubungan antar manusia. Banyak pertemanan kini dibangun atas dasar kepentingan citra, bukan kedekatan emosional. Seseorang bisa merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang baik di dunia nyata maupun maya karena hubungan yang terjalin tidak lagi tulus, melainkan berbasis pada ekspektasi sosial.

Dari sisi psikologis, FOMO dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi ringan. Hunt dkk. (2018) dari University of Pennsylvania menemukan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari dapat menurunkan tingkat kesepian dan depresi secara signifikan. Artinya, kebahagiaan tidak datang dari koneksi digital tanpa batas, melainkan dari keseimbangan antara kehidupan daring dan nyata.

Menemukan Kembali Makna “Hadir”

Mengatasi budaya FOMO tidak berarti menolak kemajuan teknologi. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengelola diri di tengah arus informasi yang deras. Kesadaran diri menjadi kunci. Kita perlu belajar untuk hadir secara penuh dalam setiap pengalaman yang kita jalani, bukan sekadar hadir untuk dilihat.

Menetapkan batas waktu penggunaan media sosial, mengurangi konsumsi berita yang tidak relevan, serta memperbanyak interaksi langsung dengan lingkungan sekitar bisa menjadi langkah sederhana. Lebih dari itu, penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada pengakuan orang lain, melainkan pada pemahaman diri sendiri.

Budaya FOMO adalah cerminan dari masyarakat yang haus validasi. Namun, kita masih punya kesempatan untuk memperbaikinya. Dunia digital seharusnya menjadi ruang berbagi, bukan arena perlombaan citra. Dengan mengembalikan makna kehadiran baik di dunia maya maupun nyata kita bisa menemukan kembali jati diri yang sempat hilang di tengah hiruk pikuk modernitas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image