FOMO: Mengejar Ketertinggalan atau Lari dari Kehidupan Pribadi?
Gaya Hidup | 2023-05-30 10:56:09Pernahkah Anda mendengar istilah FOMO? Melansir dari World Journal of Clinical Cases, istilah ini sudah ada sejak tahun 2004, dimana Facebook pertama kali digunakan. Sama dengan fenomena yang sering terjadi saat ini, orang-orang saling berebut untuk mengunggah setiap kegiatannya dan mengikuti setiap tren yang ada.
FOMO atau akronim dari Fear of Missing Out merupakan keadaan seseorang yang merasa takut tertinggal berita atau isu terkini terkait kehidupan orang lain yang dianggap lebih baik dari kehidupan pribadi. Fenomena tersebut dapat dialami oleh siapa saja, mengingat saat ini adalah era informasi, dimana informasi merupakan bagian penting dalam kehidupan seseorang.
Menurut pengertian dari William J. Martin (1995), masyarakat informasi merupakan keadaan dimana setiap aspek kehidupan manusia, perubahan sosial, serta perkembangan ekonomi sangat bergantung pada pemanfaatan informasi. Dapat dikatakan bahwa fenomena FOMO merupakan salah satu dampak tak terhindarkan dari adanya masyarakat informasi.
Seiring dengan semakin tingginya penggunaan media sosial, semakin tinggi kemungkinan seseorang terserang FOMO. Sampai saat ini, memang belum ada satu pun penelitian yang menyebutkan secara eksplisit bahwa FOMO dapat menimbulkan gangguan mental. Namun, tidak ada yang dapat menyangkal dampak negatif dari fenomena sosial yang satu ini.
Coba bayangkan, jika si X membuka sosial media Instagram selama satu jam dalam sehari, sudah berapa banyak cerita hidup orang lain yang muncul dari layar ponselnya? Belum sosial media lainnya seperti Twitter, WhatsApp, TikTok, dan lain sebagainya. Dari sana, bisa saja muncul perasaan iri atas pencapaian orang lain, lalu mulai membandingkannya dengan kehidupannya sendiri. Padahal, tidak mungkin seseorang mem-posting sisi buruk ataupun masalah yang sedang dihadapinya.
Terlalu lama berada di beranda media sosial bisa dibilang tidak baik untuk kesehatan mental. Informasi yang muncul di media sosial belum tentu benar-benar sesuai dengan apa yang ada di dunia nyata. Di samping itu, terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya akan menurunkan kualitas bersosialisasi seseorang.
Daripada memfokuskan diri pada pencapaian dan kehidupan orang lain, mengapa tidak fokus pada pengembangan diri? Tidak masalah jika orang lain sudah mampu travelling tanpa pusing memikirkan biaya, sementara kamu masih banyak mempertimbangkan biaya untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman. Setiap orang punya masanya masing-masing untuk sukses. Jadikan pencapaian orang lain sebagai motivasi, alih-alih menjadikannya bahan obrolan di tongkrongan.
Memperluas relasi dengan cara membangun komunikasi secara online di media sosial bukanlah sesuatu yang salah. Namun, sebagai makhluk sosial, manusia tetap membutuhkan komunikasi secara langsung. Alih-alih sering-sering mengecek media sosial, mengapa tidak mulai memperdalam relasi dengan orang-orang di sekitar?
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan mengikuti perkembangan kehidupan orang lain. Hal tersebut menjadi masalah jika kehidupan orang lain sudah mengintervensi kehidupan pribadi seseorang. Tidak etis untuk membandingkan perjalanan hidup antara satu dengan yang lain.
Mengikuti kehidupan seseorang sebenarnya sah-sah saja. Terutama jika orang tersebut merupakan seseorang yang sangat diidolakan. Tidak masalah juga jika mengikuti perkembangan sebuah isu yang sedang terjadi. Terutama jika isu tersebut berpengaruh penting dalam profesi seseorang. Namun, harus tetap ada batasan dalam hal ini.
Tidak apa sesekali mengikuti tren yang ada di salah satu media sosial sebagai sarana hiburan di sela kesibukan sehari-hari. Namun, tidakkah melelahkan jika setiap kegiatan yang dilakukan harus seiring dengan topik yang sedang menjadi tren, hanya demi mendapat perhatian dan tidak dianggap ketinggalan zaman?
Terlalu banyak hal yang terjadi di dunia ini untuk diikuti seluruhnya. Tiap hari, bahkan tiap menit, selalu ada saja hal baru yang terjadi. Namun, perlu diperhatikan bahwa jangan sampai seseorang terlalu fokus pada orang lain, sehingga lupa dengan kehidupannya sendiri.
Di era digital ini, sulit rasanya untuk menghindarkan diri dari fenomena FOMO. Banyak orang yang bahkan secara tidak langsung menuntut orang lain untuk ikutan FOMO seperti dirinya. Sebaiknya, demi menjaga kewarasan diri, berusahalah menjaga jarak dari tipe orang seperti itu. Mereka bisa dibilang termasuk toxic people yang tidak ingin hidup seseorang tenang-tenang saja.
Salah satu hal penting yang dapat dilakukan untuk setidaknya mengurangi dampak negatif dari FOMO adalah dengan cara membatasi penggunaan media sosial. Media sosial, sebagaimana kemudahan perkembangan teknologi lainnya, bagaikan sebilah mata pisau yang memiliki dua sisi. Tetap fokuskan diri pada kehidupan nyata, sekalipun tetap tidak menghindarkan diri sepenuhnya dari kegiatan berselancar di dunia maya.
Sejatinya, mengetahui setiap detail isu yang sedang viral merupakan sesuatu yang baik. Sebagai contoh, dari kasus putra Dirjen pajak yang sempat viral beberapa waktu lalu, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari setiap perkembangan kasusnya. Namun, lagi-lagi, tidak semua hal perlu diikuti perkembanganya secara detail.
Tidak masalah jika orang lain menganggap Anda ketinggalan zaman dan tidak up to date. Jika ada yang mengatakan hal tersebut di depan Anda, sembari tersenyum, katakan saja, “masalah orang lain tidak sepenting itu untuk saya perhatikan.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.