Kenapa Riba Dilarang? Berikut Penjelasannya Beserta Kaitannya dengan Etika Bisnis Islam
Edukasi | 2024-11-27 12:37:09Kenapa riba dilarang? Pertanyaan ini sering kali dipertanyakan oleh banyak orang terutama masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, namun terpaksa harus menormalisasi sistem bunga (riba) yang menjadi sistem di bank konvensional untuk memperoleh keuntungan. Bank adalah tempat bagi masyarakat menabung,meminjam dan berinvestasi yang tentunya dekat sekali dengan kehidupan masyarakat.
Lalu mengapa bunga dalam bank atau dalam istilah islam nya adalah riba dilarang?simpelnya riba dilarang karena merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lainnya, misalnya seseorang meminjam uang dari bank karena kebutuhan mendesak lalu bank menetapkan bunga(riba) disetiap bulannya belum lagi denda ketika peminjam telat membayar.
Dalam konteks ini tentu saja bank telah merugikan peminjam yang meminjam karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam islam pinjam meminjam adalah akad yang dilakukan hanya untuk membantu seseorang yang membutuhkan bukan untuk mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Pelarangan riba sebenarnya telah dijelaskan dalam Q. S Ali Imran Ayat 130-131
Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir"
Dalam konteks ekonomi, riba merujuk pada tambahan atau bunga yang diterima atas pinjaman yang diberikan, yang dianggap tidak sah dalam ajaran Islam. Ada dua jenis riba yang dikenal dalam hukum Islam:
1. Riba al-Fadhl: Riba yang terjadi karena adanya pertukaran barang sejenis dengan jumlah yang tidak setara, seperti menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, namun jumlahnya berbeda.
2. Riba al-Nasi’ah: Riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran dalam transaksi utang-piutang, di mana kreditur meminta tambahan pembayaran atau bunga atas keterlambatan pembayaran.
Kedua jenis riba ini dilarang karena keduanya melibatkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya usaha atau nilai tambah yang sah menurut prinsip-prinsip Islam. Lalu bagaimana jika transaksi riba ini dijadikan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari orang-orang yang membutuhkan? Bagaimana pandangan etika bisnis islam nya?
Etika bisnis Islam berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadis, yang menekankan pentingnya keadilan, transparansi, dan keberlanjutan dalam setiap transaksi. Islam mengajarkan bahwa setiap transaksi ekonomi harus adil, menguntungkan semua pihak, dan tidak merugikan salah satu pihak. Riba, dalam konteks ini, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi terhadap orang-orang miskin.
Karena ketika orang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia akan mencari pinjaman dari orang yang lebih mampu dalam segi ekonomi darinya dan apabila orang yang memberikan pinjaman ini menetapkan bunga disetiap bulan atau meminta tambahan disaat si miskin membayarkan hutangnya. Tentu saja si kaya telah memberikan beban terhadap si miskin untuk bekerja lebih keras agar dapat melunasi hutang beserta bunganya, sedangkan si kaya hanya berpangku tangan tanpa melakukan usaha apapun namun ia bisa mendapatkan keuntungan berupa bunga(riba) dari kesulitan si miskin.
Akibat Riba dalam Bisnis dan Ekonomi
Praktik riba, jika diterapkan dalam skala besar, dapat berpotensi merusak ekonomi suatu negara. Riba dapat menambah beban utang masyarakat dan negara, menciptakan ketidakstabilan finansial, dan memperparah kesenjangan sosial. Dalam konteks bisnis, riba dapat menyebabkan ketidakberimbangan dalam hubungan bisnis, di mana pihak yang lebih kuat atau kaya terus mendapat keuntungan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pihak lain.
Islam mengajarkan bahwa kekayaan harus diperoleh melalui usaha yang halal dan sah, dan keuntungan yang didapat harus sesuai dengan nilai yang diberikan. Oleh karena itu, riba dianggap sebagai penyimpangan dari prinsip ekonomi yang adil dan seimbang, yang seharusnya diutamakan dalam praktik bisnis.
Solusi Alternatif dalam Bisnis Islam
Untuk menggantikan praktik riba, Islam menawarkan beberapa solusi alternatif instrumen keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah berikut adalah pengertiannya:
1. Mudharabah: Kerjasama antara pemilik modal dan pengusaha, di mana keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
2. Musyarakah: Kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam sebuah usaha, di mana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak.
3. Murabahah: Pembiayaan barang dengan cara jual beli, di mana harga jual telah disepakati bersama, dan tidak ada tambahan atau bunga setelah transaksi.
4. Ijarah: Kontrak sewa, di mana pemilik barang menyewakan barangnya kepada pihak lain dengan imbalan sewa yang disepakati.
Akad di atas bisa kita temukan di bank-bank syari'ah yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga mengutamakan keadilan, transparansi, dan keberlanjutan dalam bisnis, yang menjadi sesuai dari etika bisnis dalam Islam.
Riba adalah praktik yang dilarang dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, dan transparansi yang menjadi dasar etika bisnis Islam. Dalam dunia bisnis, penting untuk menghindari riba dan mencari solusi alternatif yang sesuai dengan ajaran Islam, guna menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis Islam, diharapkan akan tercipta hubungan bisnis yang saling menguntungkan dan memperhatikan kesejahteraan bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.