Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AGEL TRIA MELANSARI

Sejarah Jalan Jongkok dan Pandangan Gen Z

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-17 16:36:38

Di berbagai sudut Indonesia, khususnya di Jawa. Kita masih bisa menjumpai praktik jalan jongkok atau mlaku ndodok ketika seseorang lewat di hadapan tokoh yang dihormati. Gestur ini sering dianggap sebagai bagian dari tata krama yang sudah melekat dalam budaya. Namun, bagi banyak anak muda Gen Z, tradisi ini bukan hanya soal sopan santun. Mereka melihatnya sebagai jejak masa lalu yang patut ditinjau ulang. Lalu, sebenarnya dari mana tradisi jalan jongkok berasal?

Mengapa sebagian Gen Z mentangnya?
Tradisi jalan jongkok bukan sekadar kebiasaan turun-temurun tanpa asal-usul. Sejarahnya mengakar kuat dalam sistem sosial masa lampau yang sangat hierarkis.

Praktik Keraton dan Dunia Aristokrasi.Dalam lingkungan keraton—khususnya Yogyakarta dan Surakarta—jalan jongkok merupakan bagian dari unggah-ungguh, yaitu sistem tata krama yang mengatur hubungan antarindividu berdasarkan status sosial. Para abdi dalem wajib menjaga sikap tubuh rendah saat melintas di depan sultan atau bangsawan. Ini bukan hanya soal sopan santun, tetapi representasi jelas bahwa mereka berada dalam kedudukan sosial yang lebih rendah.

Bukti dari Masa Kolonial dan Kerajaan Mataram Catatan sejarah menunjukkan bahwa utusan VOC yang menghadap raja-raja Mataram Islam pun diwajibkan melakukan laku dodok—berjalan jongkok sambil menunduk. Gestur ini dipakai sebagai penanda hormat, tunduk, sekaligus pengakuan atas legitimasi kekuasaan raja.

Filosofi Tradisional: “Mboten Serik, Mboten Ngangsa”.Dalam budaya Jawa, rendahnya posisi tubuh dianggap mencerminkan teladan adab: tidak menantang, tidak mengancam, dan menunjukkan kerendahan hati. Ada nilai filosofis yang cukup dalam: makin tinggi kedudukan seseorang, makin rendah sikap tubuh orang di depannya.

Dari sini terlihat bahwa jalan jongkok lahir dari struktur sosial yang berlapis-lapis, di mana kekuasaan dan hubungan patron–klien sangat kuat. Ini adalah tradisi yang terbentuk oleh zaman ketika hierarki adalah fondasi masyarakat.
Pandangan Ilmiah: Warisan Feodalisme dalam Tradisi Fisik.Antropolog Koentjaraningrat pernah menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tradisional dibangun dengan struktur kelas yang ketat. Banyak bentuk tata krama, ritual, hingga gestur fisik merupakan alat untuk menjaga ketertiban sosial dalam sistem hierarki tersebut.

Kajian sosiologi budaya juga mencatat bahwa salah satu ciri feodalisme adalah adanya jarak sosial yang dilembagakan—di mana bentuk penghormatan fisik seperti bersimpuh atau berjalan jongkok menjadi simbol ketundukan.
Dengan kata lain, jalan jongkok mengandung dua sisi:1. Sisi budaya: wujud tata krama dan adab.2. Sisi struktur sosial: penanda kekuasaan yang tidak setara.

Gen Z dan Penolakan terhadap Hierarki Kaku.Generasi Z tumbuh di era berbeda: era digital, demokratis, dan sangat egaliter. Mereka belajar untuk bertanya, mengkritisi, dan menolak perlakuan yang dianggap diskriminatif. Maka, ketika harus melakukan jalan jongkok hanya karena seseorang memiliki status sosial lebih tinggi, responsnya menjadi lebih kritis.

Mengapa Gen Z Menolak?
1. Nilai kesetaraan lebih dominanMereka tidak menolak untuk menghormati orang lain, tetapi tidak setuju kalau penghormatan harus diwujudkan lewat posisi tubuh yang merendahkan diri.
2. Sadar akan potensi penyalahgunaan kekuasaanDi beberapa konteks modern, ada pihak-pihak tertentu yang membuat orang lain “wajib” jalan jongkok sebagai cara mempertahankan superioritasnya. Inilah yang dilihat Gen Z sebagai bentuk feodalisme terselubung.
3. Mengutamakan resiprositasBagi mereka, rasa hormat seharusnya bersifat dua arah. Jika seseorang menuntut dihormati, ia pun harus memberi penghormatan yang sama dalam bentuk empati, etika, dan perlakuan adil.
4. Cara hormat tidak lagi tunggalMenggunakan bahasa yang halus, menjaga sikap, atau menunjukkan profesionalitas dianggap lebih relevan dibandingkan gestur fisik dari masa lalu.

Gen Z: Menolak Feodalisme, Bukan BudayanyaMenariknya, Gen Z bukan generasi yang anti budaya. Banyak di antaranya justru aktif melestarikan tradisi lokal—tapi dengan nilai yang disesuaikan zaman.

Mereka tidak keberatan melakukan jalan jongkok jika konteksnya upacara adat, ritual budaya, atau kegiatan keraton, dilakukan sukarela, bukan sebagai kewajiban yang menekan, dimaknai sebagai simbol adab, bukan alat merendahkan orang lain.

Dengan pemahaman kritis ini, tradisi jalan jongkok tetap bisa dipertahankan tanpa harus membawa serta nilai-nilai feodal yang tidak lagi relevan.

Menjaga Tradisi, Menggugurkan Feodalisme.Jalan jongkok adalah bagian dari sejarah panjang Indonesia—jejak nyata bagaimana masyarakat masa lampau memandang kekuasaan dan tata krama. Namun dalam konteks modern, terutama dalam pandangan Gen Z, penghormatan tidak harus hadir dalam bentuk penurunan posisi tubuh. Tradisi tetap dapat hidup, tetapi feodalisme tidak perlu dihidupkan kembali.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image