Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Mencegah Keruntuhan Institusi dan Membangun Kembali Demokrasi

Info Terkini | 2025-11-15 16:07:24
Demokrasi (Photo Republika)

Ismail Suardi Wekke (The Academia of Papua)

Dalam beberapa dekade terakhir, optimisme tentang penyebaran demokrasi liberal di seluruh dunia telah menghadapi kenyataan yang suram. Kita menyaksikan fenomena yang disebut "regresi demokrasi" atau "defisit demokrasi", di mana negara-negara yang awalnya dianggap stabil kembali tergelincir menuju otokrasi atau menghadapi erosi institusional yang parah. Pertanyaan krusialnya: bagaimana kita mencegah keruntuhan institusi yang menopang demokrasi dan, jika sudah rusak, bagaimana kita membangunnya kembali?

Ancaman Tersembunyi: Bukan Kudeta, tapi Erosi Pelan

Keruntuhan demokrasi modern jarang terjadi melalui kudeta militer yang dramatis. Sebaliknya, hal itu sering terjadi melalui proses erosi internal yang bertahap – sebuah "kudeta merangkak." Para pemimpin yang terpilih secara demokratis secara sistematis membongkar check and balances (mekanisme saling kontrol dan keseimbangan) yang ada.

Beberapa tanda bahaya utama dari erosi institusional meliputi: pertama, Politisasi Lembaga Penegak Hukum dan Peradilan: Ketika pengadilan, jaksa agung, atau badan anti-korupsi diinstrumentalisasi untuk menargetkan lawan politik sambil melindungi sekutu pemerintah.

Kedua, Pelemahan Lembaga Pengawas (Watchdog Institutions): Memotong dana, membatasi independensi, atau bahkan melucuti wewenang komisi pemilihan, lembaga hak asasi manusia, atau kantor audit negara.

Ketiga, Pengikisan Kebebasan Pers dan Sipil: Menghambat media kritis melalui tekanan ekonomi, hukum, atau serangan verbal, yang secara efektif membatasi ruang bagi perdebatan publik yang sehat.

Terakhir, Manipulasi Aturan Main (Rule of Law): Perubahan konstitusi atau undang-undang pemilu yang bertujuan semata-mata untuk mengamankan kekuasaan partai yang berkuasa.

Pilar Utama: Memperkuat Fondasi Institusional

Mencegah keruntuhan membutuhkan komitmen kolektif untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi. Ini bukanlah tugas satu institusi, melainkan tanggung jawab bersama.

Pertama, Independensi dan Integritas Peradilan

Sistem peradilan yang independen adalah garis pertahanan terakhir. Keterjaminan masa jabatan hakim dan mekanisme pengangkatan yang non-partisan sangat penting. Peradilan harus mampu menjatuhkan vonis terhadap pejabat tinggi yang melanggar hukum tanpa rasa takut akan pembalasan politik. Diperlukan reformasi untuk memastikan peradilan hanya tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan eksekutif.

Kedua, Memperkuat Masyarakat Sipil dan Media Independen

Masyarakat sipil, termasuk organisasi non-pemerintah (LSM), akademisi, dan kelompok advokasi, bertindak sebagai sistem peringatan dini. Mereka menyuarakan alarm ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Media yang independen dan beretika menyediakan informasi faktual yang dibutuhkan warga negara untuk membuat pilihan politik yang tepat dan mengawasi pemerintah. Literasi media warga juga menjadi benteng pertahanan terhadap disinformasi.

Ketiga, Reformasi Politik dan Pemilu

Sistem pemilu harus diperkuat agar berkeadilan, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini termasuk memastikan komisi pemilu memiliki sumber daya, independensi, dan integritas untuk mengelola proses pemungutan suara dan penghitungan tanpa intervensi. Selain itu, reformasi pendanaan politik dapat membatasi pengaruh uang besar terhadap kebijakan publik.

Strategi Membangun Kembali Demokrasi yang Terpuruk

Jika institusi telah runtuh atau sangat terdegradasi, proses membangun kembali membutuhkan strategi yang lebih radikal dan berbasis pada rekonsiliasi dan inklusivitas.

Pertama, Keadilan Transisional dan Akuntabilitas

Membangun kembali kepercayaan publik pasca-otokrasi sering kali membutuhkan mekanisme keadilan transisional (seperti komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau pengadilan khusus) untuk menangani kejahatan masa lalu dan penyalahgunaan kekuasaan. Akuntabilitas ini penting untuk mencegah impunitas dan menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum.

Kedua, Inklusivitas Konstitusional dan Institusional

Demokrasi yang kuat harus mewakili keragaman masyarakatnya. Proses membangun kembali dapat melibatkan dialog konstitusional yang inklusif, melibatkan kelompok minoritas, pemuda, dan perempuan. Institusi yang dirancang harus desentralistik dan memberikan otonomi yang wajar kepada daerah atau kelompok yang berbeda, sehingga mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di pusat.

Kedua, Budaya Toleransi dan Pluralisme

Demokrasi bukan hanya seperangkat aturan formal, tetapi juga seperangkat nilai. Membangun kembali membutuhkan penanaman budaya politik yang menghargai perbedaan, toleransi, dan pluralisme. Pendidikan kewarganegaraan, yang mengajarkan nilai-nilai demokratis, berpikir kritis, dan pentingnya diskursus publik yang beradab, adalah investasi jangka panjang yang krusial.

Penutup

Keruntuhan institusi adalah ancaman nyata yang dihadapi setiap demokrasi, baik yang tua maupun yang baru. Mencegahnya membutuhkan kewaspadaan abadi dari warga negara dan elit politik yang berkomitmen pada norma-norma demokratis. Membangun kembali adalah proses yang panjang dan menyakitkan, tetapi dimungkinkan melalui penegasan kembali supremasi hukum, penguatan pengawas independen, dan penanaman budaya politik yang inklusif dan bertanggung jawab. Masa depan demokrasi terletak pada kesediaan kita untuk membela dan memperkuat fondasi yang kita anggap remeh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image