Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Terang yang Tak Lagi Dipercaya: Renungan dari Dini Hari

Humaniora | 2025-11-15 12:07:39
"Kibasan Bendera Rusak" (Photo credit: Galuh Tirta Juan Farera, 2025)

Kamis menuju Jumat, pukul 03.26. Saya tidak tahu apakah sedang berdaya atau diperdaya. Ibadah malam Jumat terlewat; saya malah larut menonton Darkest Hour, kisah tentang Winston Churchill pada jam-jam tergelap ketika Inggris berdiri di tepi kehancuran.

Ketika film selesai, saya diam panjang. Bukan karena terpukau pada heroisme, tetapi karena kegelapan yang Churchill hadapi terasa ganjilnya dekat dengan gelap yang menyelimuti bangsa ini. Kita juga sedang berdiri pada persimpangan yang sama: antara kejujuran dan kepura-puraan, antara keberanian moral dan ketakutan yang dikemas rapi dalam bahasa pembangunan.

Namun ada satu perbedaan mencolok: kita hidup dalam negara yang terang di permukaan, tetapi gelap dalam struktur—gelap yang tidak datang dari perang, tetapi dari cara kekuasaan bekerja.

Feodalisme Baru di Zaman Kapitalisme

Tulisan Ariel Heryanto pekan ini (Kompas, 14 November 2025) membuat saya resah. Ia mengingatkan bahwa feodalisme tidak punah; ia hanya mengganti baju. Dalam kapitalisme modern yang kita banggakan, ia hadir lebih halus: dipoles oleh prosedur demokrasi, dilegitimasi oleh birokrasi, dan dinormalisasi oleh budaya populer.

Yang paling ironis, perilaku feodal kini menguat justru di lembaga-lembaga yang seharusnya modern:

 

  • Pejabat yang memamerkan kemewahan, menjadikan rakyat sekadar latar visual prestise.

 

  • Tunjangan politik yang mencengangkan, bahkan dibandingkan negara dengan ekonomi lebih mapan.

 

  • Dinasti politik yang subur di republik yang mengaku lahir dari semangat antikolonial.

 

  • Universitas yang ingin beroperasi seperti korporasi, tetapi aktornya masih ingin disembah bak pujangga keraton.

 

  • Kelas menengah yang belajar menjadi bangsawan baru lewat ruang belanja, layanan eksklusif, dan fantasi kenyamanan.

Inilah paradoks paling getir: kita mencemooh feodalisme sambil mempraktikkannya setiap hari. Kegelapan yang kita hadapi bukan tirani tunggal, melainkan residu feodal yang melebur dalam kapitalisme yang mengaku modern.

Saat Negara Mulai Menjadi Senjata

Opini Sukidi (Kompas, 13 November 2015) hanya menegaskan apa yang sudah lama berdenyut di benak banyak orang: demokrasi kita sedang bergerak menuju persimpangan yang berbahaya.

Otoritarianisme bukan lagi ancaman dari kejauhan. Ia bekerja melalui institusi negara yang seharusnya melindungi rakyat—yang oleh Steven Levitsky dan Lucan Way disebut the weaponized state, negara yang berubah menjadi senjata politik.

Hukum ditegakkan, tetapi untuk tujuan yang keliru. Ia tampak legal, tetapi selektif. Ia mengincar kritik, bukan kejahatan kekuasaan.

“Inilah cara otoritarianisme bekerja,” tulis Levitsky dan Ziblatt. Hukum dijaga bentuknya, tetapi dikhianati maknanya. Ia diarahkan kepada para pesaing, bukan para pelaku penyalahgunaan kuasa.

Lebih menyedihkan lagi, hukum menjadi bengis kepada aktivis prodemokrasi, pembela keadilan ekonomi, dan warga kecil yang menyuarakan keresahan kelas menengah dan miskin. Mereka menjadi sasaran pertama dari sistem yang tak memahami keadilan—apalagi berniat mewujudkannya.

Tidak berlebihan jika keadilan kembar—keadilan ekonomi dan keadilan hukum—menjadi “pasien nomor satu”, meminjam kegelisahan Butet Kartaredjasa. Masalahnya, pasien itu tergeletak tanpa perhatian.

Mentalitas Kolonial yang Tak Kunjung Pergi

Sukidi mengingatkan: bangsa ini sudah merdeka lebih dari 80 tahun, tetapi mentalitas kolonial tetap bercokol. Kita mungkin sudah mengusir penjajah, tetapi belum berhasil mengusir cara berpikir yang diwariskannya.

Empati menipis. Solidaritas melemah. Keberanian moral digantikan kecemasan.

Bung Karno pernah mengeluhkan semangatnya yang “dipenjara” dalam masa pembuangan. Kini, dalam bentuk yang jauh lebih halus, rakyat merasakan hal serupa: suara mereka terkurung, kritik mereka diasingkan, keberanian mereka dipotong seperti sayap elang.

Ketika 12 nyawa melayang dan hampir seribu warga menjadi tersangka dalam suatu peristiwa, mayoritas publik tetap diam. Ketakutan menggantikan solidaritas. Diam berubah menjadi kebiasaan nasional.

Kita perlahan belajar menerima bahwa suara publik tak lagi penting, selama stabilitas—atau ilusi stabilitas—tetap tampak terjaga.

Politik Ketakutan dan Kesunyian Publik

Inilah kemenangan paling senyap dari otoritarianisme: politik ketakutan.

Ia tidak datang dengan pidato bombastis. Ia datang sebagai bisikan: “Jangan bersuara.” Ia menyusup ke hampir semua lini kehidupan: melalui kooptasi, intimidasi, kriminalisasi kritik, hingga penyusutan ruang publik.

Sejarah menunjukkan bahwa Hitler bertahan bukan karena cinta rakyat, tetapi karena teror yang dikelola dengan presisi. Kita tentu tidak hidup pada masa itu, tetapi pola yang sama—dalam bentuk lebih elegan—mulai menghantui republik ini.

Ketika bangsa hidup dalam ketakutan, terang menjadi sekadar dekorasi: ada, tetapi tidak menyinari apa pun.

Keputusan Tanpa Keberanian Moral

Pertanyaannya: mengapa urusan publik kini seolah dianggap terlalu sakral untuk disentuh rakyat? Terlalu tabu untuk ditanya? Terlalu suci untuk dipertanggungjawabkan?

Padahal risiko keputusan negara dipikul rakyat—bukan pejabat. Ruang hidup, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, masa depan generasi—semuanya berada di pundak warga.

Namun rakyat dibiarkan gelap soal risiko paling dekat dengan hidup mereka.

Ketika negara berhenti menjelaskan risiko, rakyat kehilangan bukan hanya kepercayaan, tetapi juga kendali atas masa depannya. Di titik itulah demokrasi memasuki jam-jam tergelapnya.

Secercah Keberanian

Darkest Hour mengajarkan bahwa keberanian pemimpin tidak diukur dari kerasnya pidato, tetapi dari kesediaannya mendengar. Terang sejati tidak lahir dari seremoni, melainkan dari kejujuran pada masa-masa gelap.

Sukidi mengajak kita memiliki jiwa merdeka—keberanian untuk mengatakan kebenaran meski tidak populer. Ariel Heryanto menambahkan perspektif lain: krisis kita bukan sekadar politik, tetapi krisis peradaban—karena feodalisme baru dibiarkan tumbuh di sistem yang mengaku demokratis.

Keduanya menyatu dalam renungan dini hari ini: bangsa yang takut pada kebenaran akan hidup dalam terang palsu—terang yang memantul di permukaan, tetapi tidak menjernihkan apa pun.

Ibadah Batin di Jam-Jam Tergelap

Biarlah ibadah malam Jumat tadi terlewat. Renungan ini menjadi ibadah batin: menegur diri sendiri, dan menegur bangsa bahwa kita sedang hidup dalam jam-jam tergelap.

Bukan karena Hitler. Bukan karena Nazi. Tetapi karena para pemimpin yang gentar pada keterbukaan, enggan berterus terang, dan perlahan menukar amanah rakyat dengan kenyamanan kekuasaan.

Sebelum terang yang tersisa benar-benar padam, mungkin sudah waktunya negara kembali mendengar rakyat—bukan demi romantisme demokrasi, tetapi demi menyelamatkan masa depan bangsa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image