Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhapne Abellyna Santoso

Suara dari Bawah: Menelisik Realitas Hidup Masyarakat Marginal di Sudut Kota

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-15 10:20:40
Ilustrasi perkampungan kumuh di bantaran sungai
Ilustrasi perkampungan kumuh di bantaran sungai

Di tengah gemerlap hiruk pikuk kota dan gedung-gedung pencakar langit yang mewah megah dibangun menjulang tinggi, terdapat setitik realitas kehidupan yang perbedaannya sangat kontras. Adalah kehidupan masyarakat marginal, mereka yang tinggal di gang-gang sempit, pinggiran kali, atau kolong jembatan yang tak sempat tersentuh uluran tangan pemerintah. Mereka tinggal di tempat-tempat seperti itu bukan karena tidak peduli dengan banyaknya rumah layak huni, namun hanya sekedar untuk bertahan hidup dari penatnya menghadapi kerasnya kehidupan.

Bagi masyarakat marginal, kemiskinan bukan sekadar data statistik, namun sebuah nasib dan perjalanan pahit yang mungkin harus mereka jalani untuk 'sementara waktu'. Kehidupan masyarakat marginal ini tentunya setiap hari bergelut dengan akses terbatas seperti sanitasi yang buruk dan perumahan yang kurang layak, tentunya hal ini dapat mengancam kesehatan serta kualitas hidup mereka sewaktu-waktu. Selain itu, mereka juga selalu mempersiapkan diri apabila suatu saat akan terjadi penggusuran secara mendadak karena seringkali mereka tinggal di lahan tidak resmi. Upaya penataan kota seringkali membuat mereka terpaksa 'menyerah' tanpa menawarkan solusi tempat tinggal lain yang layak dan lebih terjangkau. Mereka yang tinggal di tempat-tempat seadanya ini bukan orang-orang miskin yang disebabkan oleh malas bekerja atau malas mencari pekerjaan, namun karena banyak dari mereka hanya mengandalkan penghasilan dari memulung, buruh harian, atau menjadi pedagang asongan yang seringkali pendapatannya tidak menentu dan menyebabkan mereka tidak mempunyai dana yang cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyisihkan dana untuk jaminan di hari tua.

Realitas kemiskinan ini menyebabkan rantai kemiskinan yang sulit dipecahkan, terutama bagi keluarga kurang mampu yang mempunyai banyak anak. Anak-anak ini seringkali terancam tidak terpenuhinya kebutuhan gizinya yang kemudian dapat menyebabkan gizi buruk serta tentunya terancam tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak karena segelintir dari mereka terpaksa harus ikut orang tuanya bekerja demi mencari sesuap nasi. Namun, jika kita berpikir secara beyond common sense, kemiskinan tidak selalu disebabkan oleh malas bekerja atau malas mencari pekerjaan, tetapi bisa jadi disebabkan oleh kesenjangan akses dan kesempatan, sistem ekonomi yang tidak ramah kepada orang-orang yang mempunyai modal terbatas, kebijakan pemerintah yang kurang melindungi kelompok miskin tersebut, serta lapangan pekerjaan yang tidak seimbang dengan jumlah usia produktif yang ada.

Sebenarnya, untuk mengatasi rantai kemiskinan ini, pemerintah telah melakukan beberapa langkah yang cukup inklusif dan partisipatif. Contohnya di pedesaan pemerintah mempunyai program yakni memberikan pelatihan kerja kepada usia produktif dan memberikan modal untuk para pejuang UMKM. Selain itu, pemerintah juga memberlakukan program BPJS/KIS sebagai dukungan layanan kesehatan kepada masyarakat kurang mampu, dan program KIP/KIP-K untuk dukungan pendidikan dari jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini tentu sangat membantu, namun perlu digarisbawahi dan dievaluasi kembali bahwa bantuan-bantuan ini seringkali tidak tepat sasaran, karena faktanya masih banyak anak-anak dari golongan menengah ke atas masih mendapatkan KIP/KIP-K yang mana seharusnya bantuan ini lebih dikhususkan terlebih dahulu kepada golongan menengah ke bawah (atau yang lebih membutuhkan).

Suara dari bawah adalah pengingat keras bahwa kemajuan suatu bangsa harus diukur terlebih dahulu dari kualitas serta kesejahteraan warganya yang paling rentan. Menelisik faktor-faktor dan kehidupan masyarakat marginal bukan berarti mengasihani mereka, melainkan mengakui bahwa mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama.

Mengatasi kemiskinan struktural tentu memerlukan kebijakan-kebijakan yang intensif dan partisipatif, yang diharapkan nantinya tidak hanya dapat meringankan gejala, tetapi juga menghilangkan akar penyebab dari masalah kemiskinan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini bisa dengan memberikan pelatihan kerja pada masyarakat dengan usia produktif, memberi modal bagi UMKM, menggalakkan program KB, bantuan beasiswa pendidikan, meningkatkan akses layanan dasar, hingga memberikan subsidi bahan pokok kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Dengan ini, kita memiliki peran yang sama untuk memastikan bahwa 'suara dari bawah' ini tidak hanya dibaca sambil lalu atau hanya sekedar didengar saja, tetapi juga ditanggapi dengan aksi nyata demi mewujudkan cita-cita bangsa yang sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar, terutama bagian “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image