Etika dan Identitas dalam Era Post-Truth: Menimbang Budaya sebagai Rujukan Moral atau Strategi Legitimasi Politik
Culture | 2025-11-14 21:10:15
Dunia ini hari ke hari semakin kacau. Mulai dari peperangan rusia-ukraina, menuju peperangan israel-iran, hari demi hari kedamaian semakin terancam. Namun, kita mengetahui semua ini yaitu disebabkan oleh globalisasi dunia. Informasi yang beralir sangat cepat, yang seharusnya diketahui dalam 3 tahun kita hanya mengetahuinya dalam setahun saja. Alangkah bagusnya! Namun apakah ini semua selalu positif? Dengan adanya perkembangan kecerdasan buatan dan era informasi, muncullah suatu pemikiran politik yang gila. Bagaimana kalau kita bisa mengelabui rakyat dengan narasi yang indah dan bagus? Teknik ini dinamai sebagai post-truth politics. Dimulai dari Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang menggunakan dan menormalisasi penggunaan Teknik ini, informasi yang berada dalam dunia internet terancam atau bahkan sudah tercemari oleh berita-berita palsu yang memukau hati pembaca namun menyingkirkan kebenaran sesungguhnya. Dengan tambahan algoritma sosial media beserta agenda-agenda politik dunia, mereka berhasil menggunakan media massa sebagai senjata penyembunyi kebenaran dan pemaju agenda politik yang membutakan massa.
Kita sekarang hidup di era post-truth, zaman dimana kebenaran bisa dengan mudah disingkirkan, bukan cuma di ranah politik, tapi juga di banyak aspek kehidupan lain. Yang penting bukan lagi fakta, tapi seberapa menarik narasi yang disebar. Algoritma Instagram, Youtube, Tiktok mencuci otak kita terhadap kehebatan dan kebaikan Amerika dan Eropa tanpa didasarkan oleh kenyataan asli yang terjadi dalam negara tersebut dan Sejarah penjajahan yang ada, menganggap rendah beberapa negara Asia yang sebenarnya sudah lebih canggih daripada Amerika dan Eropa selain kekuatan militer, apalagi karena hal yang sama sifat dan sudut pandang tercipta yang belum tentu benar sesuai dengan asas dan landasan Pancasila individu justru diperkuat algoritma nya melalui menyediakan konten bukan yang benar, justru konten yang memiliki narasi yang disukai oleh sudut pandang pengguna sendiri, lalu menyebabkan perpecahan ideologi dan sudut pandang dari dalam Masyarakat Indonesia itu sendiri dan secara tidak langsung membahayakan persatuan dan kesatuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun meskipun demikian, terkadang kita sebagai makhluk berakhlak akan mempertanyakan suatu pertanyaan konstruktif dan krusial dalam puzzle globalisasi ini, yakni bagaimana caranya kita tahu mana yang benar dan salah, manakah baik dan buruk, dan dari apakah kita melandaskan semua itu agar kita dapat menyaring informasi?
Sesungguhnya, sejak kita lahir kita sudah ada jawabannya. Tanah air kita sudah memberikan kuncinya. Fondasi utama adalah budaya kita sendiri, budaya dari tanah Nusantara, budaya kesatuan dari rakyat Indonesia. Budaya menjadi kunci utama dalam era post-truth ini, bagaikan cahaya pelita dalam kegelapan. Budaya adalah landasan dari ideologi kita, Pancasila dan karena itu juga maka budaya Indonesia yang kian memudar dari pemikiran dan ide generasi muda yang berpihak pada sayap kanan liberalisme memerlukan rejuvenasi dari etika dan moral Asia dan Indonesia yang bersifat mementingkan kepentingan bersama dengan sopan santun. Nggak cukup cuma pakai logika atau data mentah buat nilai sesuatu. Budaya juga bisa jadi pegangan buat nentuin mana info yang masuk akal, mana yang cuma ngibul. Dari budaya, kita bisa lihat nilai apa yang dianggap baik, apa yang pantas, dan apa yang seharusnya dilawan. Jadi, budaya tuh bisa banget dipakai buat nyaring informasi, bukan cuma buat dikenang saja.
Indonesia tidak semuanya buruk sesuai berita. Berita sedang dipengaruhi oleh fenomena post-truth, justru karena berita buruk korupsi dan kriminalitas yang menyebar sebenarnya menyembunyikan fakta absolut bahwa Indonesia sedang memasuki era kejayaan, era emas yang tiada akhir dikarenakan jika kriminal dimana-mana tertangkap maka sebenarnya itu adalah hal yang baik demi Masyarakat, namun sebagai generasi muda kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa kita harus mempertahankan nasionalism, memperkuat budaya dan harus sedikit konservatif dikarenakan bangsa yang berjaya memiliki budaya yang kaya sebagai landasan dan alat persatuan dari segenap rakyat Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
