Riba Menjadi Kebiasaan
Agama | 2025-11-14 14:59:12Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan serba ada, istilah “riba” terdengar seperti sesuatu yang sudah jarang didengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal bagi umat muslim, riba bukan hanya istilah dalam pelajaran fiqih muamalah, melainkan persoalan serius yang menyangkut keadilan sosial dan keberkahan hidup. Ironisnya, kini praktik riba sudah begitu melekat dalam sistem ekonomi global, bahkan di kalangan masyarakat Muslim itu sendiri.
Bunga bank, cicilan kendaraan, kartu kredit, hingga pinjaman online, semua ini menjadi hal yang dianggap “normal” dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena inilah yang membuat kita seharusnya bertanya-tanya: apakah nilai-nilai muamalah dalam Islam sudah mulai pudar dari kehidupan umat manusia?
Ketidaksucian harta yang di peroleh dari riba" />
Islam menempatkan muamalah sebagai bagian yang penting dalam ajaran agama. Muamalah tidak hanya berbicara tentang jual beli, tetapi juga mencakup seluruh bentuk hubungan ekonomi, sosial, dan interaksi antar manusia. Dalam prinsip dasar muamalah, Islam menekankan tiga nilai utama, yakni keadilan, kejujuran, dan tolong-menolong. Prinsip ini menjadi pondasi agar setiap transaksi ekonomi tidak hanya mengejar keuntungan materi, tetapi juga menumbuhkan keberkahan dan kemaslahatan bersama.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ(٢٧٥)
Terjemahan Kemenag 2019
275. Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Larangan ayat di atas bukan hanya persoalan hukum semata, namun juga memperingati agar umat Islam tidak terjebak ke dalam sistem yang merugikan orang lain dan menciptakan ketimpangan sosial. Larangan riba bukan hanya sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan kemanusiaan. Dalam masyarakat yang mempraktikkan riba, hubungan antar manusia menjadi transaksional. Orang menolong bukan karena rasa empati, tetapi karena mengharapkan keuntungan. Sistem ini menumbuhkan budaya serakah, materialistik, dan menurunkan kepedulian terhadap sesama. Padahal dalam Islam, muamalah tidak pernah terlepas dari nilai spiritual. Setiap transaksi bukan hanya dinilai dari untung atau ruginya saja, tetapi juga keberkahan dan ridhanya Allah Swt.
Riba secara sederhana dapat dipahami sebagai tambahan atau lebihan yang disyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam tanpa adanya dasar yang sah menurut syariat. Dalam praktiknya, riba memberikan keuntungan pasti kepada pemilik modal tanpa mempertimbangkan risiko terhadap sosial. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam yang menuntut adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ketika seseorang memberikan pinjaman dengan imbalan tambahan, maka terjadi eksploitasi terhadap pihak yang membutuhkan. Akibatnya, muncullah kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Namun realitanya, praktik riba telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam dunia perbankan, bunga sudah dianggap sistem alami yang tidak bisa dihindari. Ketika seseorang menabung di bank konvensional, ia mendapatkan bunga sebagai imbalan tabungannya. Ketika ia meminjam uang, ia wajib membayar lebih dari jumlah pinjamannya. Banyak orang sadar bahwa sistem tersebut mengandung riba, tetapi menganggapnya biasa saja karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Di sisi lain, ada juga yang terpaksa melakukannya karena kebutuhan ekonomi seperti biaya pendidikan, kesehatan, atau modal usaha. Akibatnya, masyarakat hidup dalam kesusahan harus memilih antara kebutuhan dan keyakinan.
Selain itu, gaya hidup modern juga memperparah situasi. Iklan dan media sosial mendorong masyarakat untuk hidup mewah dan mengikuti tren, meskipun dengan cara berutang. Cicilan barang elektronik, kendaraan, atau rumah dengan sistem bunga menjadi hal yang biasa. Bahkan muncul istilah “hidup dari cicilan ke cicilan” yang menggambarkan betapa kuatnya pengaruh sistem ribawi dalam kehidupan. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya terjerat secara finansial, tetapi juga secara mental hingga kehilangan kesadaran akan pentingnya hidup sederhana dan berkah.
Diksi “riba dengan nilai abnormal” merujuk pada substansi pertambahan nilai yang tidak wajar (abnormal increment) dan tidak sesuai prinsip syariat—baik pada nominal, kompensasi, maupun waktu dalam transaksi ekonomi dan sosial. Nilai abnormal ini menampakkan dirinya dalam beberapa bidang utama yang sangat relevan dalam kehidupan modern.
Di bidang ekonomi, substansi riba sebagai nilai abnormal terletak pada kelebihan atau tambahan yang bersifat pasti dan tanpa risiko, yang dibebankan kepada pihak lemah atau peminjam. Riba menciptakan “nilai abnormal” karena pertambahan nilai (bunga/interest) tidak didasarkan atas aktivitas produktif atau kinerja riil, melainkan sekadar atas waktu pinjaman atau kekuatan posisi tawar pemodal. Dalam sistem keuangan global, bunga bank, bunga pinjaman online, cicilan berbunga, dan kartu kredit adalah manifestasi konkret nilai abnormal. Dana berkembang karena faktor waktu, bukan karena produktivitas atau kolaborasi riil, sehingga terjadi distribusi kekayaan yang berat sebelah.
Fenomena abnormalitas ini bukan hanya ilegal secara syariat, tetapi juga berdampak sistemis, sehingga menambah beban debitur, meningkatkan kesenjangan ekonomi, dan menimbulkan krisis keuangan akibat spekulasi.
Dalam Islam, nilai “normal” dalam muamalah mengedepankan keadilan, kejujuran, dan saling membantu, sehingga transaksi diharapkan memberikan keberkahan, bukan sekadar profit. Penerimaan terhadap nilai abnormal (riba) mengaburkan batas halal-haram serta mendorong pengikisan nilai spiritual dan sosial dalam aktivitas ekonomi. Instrumen syariah seperti akad bagi hasil, zakat, murabahah, dan mudharabah menjadi antitesis dari riba; menjadi pembagian keuntungan muncul dari kolaborasi, kerja keras, dan risiko bersama.
Sistem ekonomi global yang berbasis kapitalisme memperkuat praktik riba. Kapitalisme menempatkan uang sebagai barang yang bisa “beranak”, padahal dalam Islam, uang hanyalah alat tukar, bukan sumber keuntungan itu sendiri. Dalam sistem kapitalis, pemilik modal mendapatkan keuntungan tanpa kerja, sedangkan pihak yang kekurangan modal harus membayar lebih untuk mengakses sumber daya. Inilah yang menciptakan ketimpangan struktural dan ketidakadilan sosial. Islam hadir untuk meluruskan hal ini melalui sistem ekonomi yang berbasis kerja sama dan keadilan, bukan eksploitasi.
Dalam konteks Indonesia, penerapan ekonomi syariah menjadi salah satu upaya nyata untuk mengembalikan nilai muamalah. Lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, koperasi syariah, dan lembaga zakat hadir sebagai solusi atas praktik riba. Prinsip utama yang diterapkan adalah profit and loss sharing (bagi hasil) yang sejalan dengan semangat keadilan. Melalui akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, lembaga-lembaga ini berusaha menjalankan sistem ekonomi yang sesuai prinsip Islam.
Meski demikian, tantangan penerapan ekonomi syariah di Indonesia masih cukup besar, salah satunya rendahnya literasi masyarakat terhadap konsep muamalah dan ekonomi Islam. Banyak yang masih menganggap bank syariah hanya mengganti nama bunga menjadi bagi hasil, padahal konsepnya jauh berbeda. Kurangnya edukasi membuat masyarakat belum sepenuhnya memahami perbedaan mendasar antara sistem syariah dan konvensional.
Selain faktor sistematik, perubahan perilaku individu juga memegang peran penting. Islam mengajarkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari diri sendiri. Kesadaran untuk menjauhi riba harus lahir dari hati yang memahami nilai keberkahan. Langkah kecil seperti memilih menabung di bank syariah, menghindari utang konsumtif, dan mendukung usaha halal sudah menjadi bentuk kontribusi nyata dalam menghidupi ekonomi islam. Dalam jangka panjang, kebiasaan kecil inilah yang bisa mengubah sistem ekonomi menuju yang lebih adil dan berkah.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sebagian masyarakat sudah mulai bergerak ke arah yang lebih baik. Banyak UMKM dan koperasi syariah tumbuh dengan prinsip saling percaya dan bagi hasil. Mereka tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi juga membangun solidaritas antar anggota. Contohnya, koperasi pesantren yang menjalankan usaha produksi makanan halal dan hasilnya dibagi untuk kepentingan sosial. Ini membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam bukan utopia, tetapi bisa menjadi kenyataan jika dijalankan dengan niat dan kejujuran.
Lebih jauh lagi, mengembalikan nilai muamalah bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga bagian dari menjaga moral umat. Ketika seseorang terbiasa dengan riba, maka hatinya cenderung keras dan kurang peka terhadap penderitaan orang lain. Tapi ketika seseorang berusaha hidup dengan prinsip syariah seperti jujur, adil, dan saling tolong-menolong, maka ia tidak hanya mencari rezeki, tetapi juga keberkahan yakni Falah (keberkahan dunia dan akhirat). Di sinilah letaknya keindahan muamalah, bahwasanya di dalamnya terdapat keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kepentingan pribadi dan sosial.
Sebagai penutup, fenomena ketika riba menjadi biasa adalah tanda bahwa nilai-nilai muamalah kita sedang diuji. Islam tidak melarang seseorang untuk mencari keuntungan, tapi mengingatkan agar cara yang ditempuh tidak melanggar prinsip keadilan. Muamalah yang benar bukan hanya tentang menghindari riba, tetapi tentang bagaimana setiap transaksi membawa manfaat dan keberkahan bagi semua pihak. Keberkahan rezeki tidak diukur dari seberapa banyak harta, tetapi dari seberapa halal dan bersih cara kita mendapatkannya. Maka, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin hidup berkecukupan tapi tanpa keberkahan, atau sederhana namun penuh ridha Allah?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
