Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SALSABILA ZAHIRAH

Ketika Budaya Menari di Layar Ponsel: Identitas Lokal di Era Digital Gen Z

Gaya Hidup | 2025-11-14 11:44:39
Gambar Ilustrasi Gen Z (Sumber: Vecteezy)

Bagaimana budaya lokal dapat mempertahankan makna dan relevansinya ketika para Gen Z lebih sering belajar tentang dunia melalui layar ponsel? Apakah tradisi masih memiliki tempat di tengah algoritma, tren viral, dan budaya global yang hadir dalam hitungan detik?

Di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya lokal Indonesia menemukan panggung baru di tangan generasi yang tumbuh bersama internet. Gen Z yang akrab dengan kecepatan, visual, dan kreativitas instan menjadi penghubung baru antara tradisi dan teknologi. Mereka bukan sekadar penonton budaya, melainkan kreator yang mampu menampilkan ulang warisan leluhur dalam format yang segar dan mudah diterima.

Laporan Digital 2024: Indonesia dari We Are Social dan Meltwater memperlihatkan bahwa 79% pengguna media sosial aktif berusia 16–34 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa ruang digital kini dipenuhi anak muda yang menjadikan media sosial sebagai sumber informasi budaya. Maka tidak mengherankan ketika berbagai konten budaya lokal mulai dari tari Minang, Tifa Maluku, busana Dayak, hingga nyanyian daerah kembali muncul dalam bentuk challenge TikTok, audio remix, atau video storytelling modern.

Survei Kominfo 2023 juga mengungkap bahwa 68% remaja Indonesia lebih mengenal budaya daerah melalui platform digital daripada dari pembelajaran sekolah. Angka ini memperlihatkan perubahan pola pembelajaran budaya: dari ruang kelas menjadi for you page. Sementara itu, UNESCO pada 2022 mencatat bahwa keterlibatan anak muda dalam pelestarian budaya meningkat ketika mereka terlibat dalam penciptaan konten digital yang memadukan tradisi dan tren masa kini.

Meski demikian, proses digitalisasi budaya tidak sepenuhnya mulus. Penyederhanaan simbol atau tarian sering kali menimbulkan kekeliruan makna. Beberapa komunitas adat menyatakan keprihatinan ketika elemen sakral digunakan sekadar demi estetika konten. Tantangan lainnya adalah risiko homogenisasi budaya ketika budaya lokal disesuaikan sedemikian rupa agar sesuai “selera algoritma”.

Namun, segala tantangan itu tidak mengurangi potensi besar era digital sebagai alat pelestarian. Teknologi membuat bahasa daerah yang nyaris punah bisa kembali terdengar, membuat tarian tradisional bisa dipelajari tanpa batas ruang, dan memungkinkan cerita rakyat disebarkan kepada jutaan audiens global. Gen Z, dengan kecakapan digital mereka, justru menjadikan budaya lebih mudah diakses dan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Apa yang menarik, generasi muda tidak sekadar menghidupkan budaya mereka mengembangkan identitas baru. Identitas yang hibrid: gabungan antara modernitas global dan akar lokal. Identitas yang lentur, berani bereksperimen, namun tetap mencerminkan rasa memiliki terhadap warisan bangsa.

Pada akhirnya, budaya tidak kehilangan tempat di era digital ia justru menemukan caranya sendiri untuk tetap hidup. Ketika budaya menari di layar ponsel, ia tidak hanya tampil sebagai hiburan, tetapi sebagai cermin identitas yang terus tumbuh bersama generasi muda. Tugas Gen Z bukan memilih antara tradisi atau modernitas, melainkan menyeimbangkan keduanya dengan kesadaran dan rasa hormat. Selama esensi budaya tetap dijaga, teknologi bukan ancaman melainkan jembatan yang menghubungkan Indonesia dengan masa depan yang tetap berakar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image