Arah Baru Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia
Kebijakan | 2025-11-14 10:31:23Peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) menjadi tantangan utama bagi Indonesia dalam menghadapi persaingan ekonomi global yang semakin ketat. Di tengah bonus demografi yang masih berlangsung, pemerintah dan sektor swasta perlu memperkuat ekosistem ketenagakerjaan agar mampu tidak hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga menghasilkan pekerja yang kompeten, adaptif, dan sejahtera.
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan struktural, terutama terkait kualitas dan daya saing SDM. Berdasarkan laporan World Talent Ranking 2024, Indonesia menempati peringkat ke-46 dari 67 negara dengan indeks daya saing SDM sebesar 53,4. Di kawasan ASEAN, posisi Indonesia berada di urutan keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Struktur ketenagakerjaan menunjukkan dominasi tenaga kerja berpendidikan rendah. Sekitar 56 persen pekerja hanya menamatkan pendidikan dasar (SD dan SMP), 25 persen berpendidikan menengah (SMA), dan hanya sekitar 9 persen yang memiliki pendidikan tinggi (D3, S1, S2, S3). Bentuk piramida ini menandakan mayoritas tenaga kerja masih tergolong tidak terampil (unskilled labor) dan berupah rendah (cheap labor).
Idealnya, untuk menuju status negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle-income country), proporsi pendidikan tenaga kerja harus bergeser: pendidikan dasar di bawah 50 persen, pendidikan menengah menjadi dominan, dan pendidikan tinggi meningkat signifikan. Namun, struktur saat ini masih bertumpu pada tenaga kerja berpendidikan rendah, yang menghambat peningkatan produktivitas nasional.
Tantangan lain adalah peningkatan keterampilan tenaga kerja agar mampu beradaptasi di tengah disrupsi teknologi. Era industri 4.0 bahkan menuju 5.0 telah mendorong digitalisasi dan otomasi di berbagai sektor, menggantikan banyak peran manual manusia dengan mesin dan sistem digital. Kondisi ini menuntut kesiapan tenaga kerja secara digital agar tidak tertinggal dalam persaingan global yang semakin berbasis teknologi.
Tingkat pengangguran terbuka di kalangan usia muda menjadi perhatian serius. Sekitar 30 persen pengangguran berasal dari kelompok usia 15–24 tahun termasuk fresh graduate dari SMA maupun perguruan tinggi yang sering kali belum memiliki pengalaman dan keterampilan sesuai kebutuhan industri.
Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah meluncurkan sejumlah program seperti magang bagi lulusan baru dan mendorong kampus-kampus mengintegrasikan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) agar mahasiswa memperoleh pengalaman kerja sebelum lulus. Program magang pascalulus juga menjadi upaya mempercepat masa tunggu lulusan dalam memperoleh pekerjaan pertama. Meskipun durasinya masih terbatas, sekitar enam bulan, kebijakan ini diharapkan mampu menekan angka pengangguran muda dan mempercepat transisi mereka ke dunia kerja.
Namun, tantangan terbesar tetap berada pada kualitas pendidikan. Dunia pendidikan perlu melakukan pembenahan serius untuk menyiapkan tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan industri modern. Peningkatan kualitas pendidikan menjadi syarat mutlak bagi kemajuan ekonomi karena ekonomi modern menuntut pengetahuan dan teknologi sebagai fondasi utama. Oleh sebab itu, investasi pada riset, inovasi, dan pendidikan yang berorientasi teknologi menjadi keharusan jika Indonesia ingin memperkuat daya saing SDM di masa depan.
Kebijakan Upah Minimum dan Kesenjangan Regional
Salah satu isu krusial dalam ketenagakerjaan Indonesia adalah mekanisme penetapan upah minimum. Saat ini, kebijakan upah minimum kabupaten/kota (UMK) diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024. Penyesuaian UMK diusulkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang terdiri dari unsur tripartit: pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah.
Proses penentuan UMK dimulai dari pembahasan di Dewan Pengupahan, lalu direkomendasikan kepada gubernur untuk ditetapkan melalui surat keputusan. Formula penyesuaian UMK didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, serta faktor penyesuaian tertentu. Formula ini masih sering menimbulkan perdebatan karena dinilai belum sepenuhnya adil bagi pekerja maupun pengusaha.
Sebagai perbandingan, penetapan UMK pada masa lalu menggunakan formula berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015, yakni penjumlahan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Misalnya, bila pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasi 2 persen, kenaikan UMK ditetapkan sebesar 7 persen. Formula ini sederhana dan dapat diterima kedua pihak, tetapi menimbulkan dampak berupa kesenjangan upah antar daerah.
Daerah dengan upah tinggi seperti Surabaya memiliki UMK sekitar Rp5 juta, sedangkan daerah dengan aktivitas ekonomi lebih kecil seperti Pacitan, Ponorogo, atau Trenggalek hanya sekitar Rp2 juta. Perbedaan hingga dua kali lipat ini memicu kesenjangan ekonomi antardaerah dan mempengaruhi pola investasi. Banyak investor lebih memilih menanamkan modal di daerah dengan upah rendah untuk menekan biaya produksi, sehingga daerah dengan UMK tinggi justru kehilangan daya tarik investasi.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, reformulasi sistem upah yang lebih berkeadilan diperlukan. Penentuan UMK sebaiknya berjenjang berdasarkan tingkat kesejahteraan dan kebutuhan hidup layak di setiap kabupaten/kota. Langkah pertama adalah memastikan bahwa upah minimum harus setidaknya sama atau lebih tinggi dari kebutuhan hidup layak (KHL). Survei KHL harus dilakukan setiap tahun di masing-masing daerah untuk menjamin pekerja menerima penghasilan yang cukup.
Selain itu, formula kenaikan UMK dapat mengikuti prinsip progresif: daerah dengan upah rendah mendapat kenaikan lebih besar, sedangkan daerah dengan upah tinggi mendapat kenaikan yang lebih moderat. Misalnya, bagi daerah dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasi 2,5 persen, kenaikan UMK di daerah berupah terendah dapat mencapai 7,5 persen, sementara daerah berupah tertinggi cukup naik 3,5 persen. Pendekatan berjenjang ini diharapkan mampu mempersempit kesenjangan antarwilayah. Daerah berupah rendah dapat mengejar ketertinggalan, sedangkan daerah berupah tinggi tetap menjaga stabilitas industri tanpa membebani pengusaha secara berlebihan.
Persoalan lain dalam implementasi kebijakan upah adalah adanya unsur politik dalam proses penetapan. Gubernur sebagai pihak yang menetapkan UMK sering kali mengambil keputusan berdasarkan tekanan politik dari serikat pekerja atau kepentingan daerah, bukan semata-mata berdasarkan perhitungan objektif. Akibatnya, muncul ketidakpastian bagi dunia usaha.
Usulan kenaikan upah yang terlalu tinggi, misalnya dari serikat buruh sebesar 8,5–10 persen tanpa dasar perhitungan yang jelas, dapat membebani pengusaha dan menghambat ekspansi usaha. Bahkan pada masa berlakunya PP 78/2015, banyak perusahaan menunda penerapan UMK karena tidak sanggup menyesuaikan biaya produksi. Oleh karena itu, dibutuhkan formula yang adil, transparan, dan rasional agar kesejahteraan pekerja meningkat tanpa mengorbankan keberlanjutan usaha.
Evaluasi Program Kartu Prakerja
Sejak diluncurkan, program Kartu Prakerja menjadi salah satu upaya pemerintah meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan nonformal. Program ini memiliki beberapa capaian positif, terutama dalam meningkatkan keterampilan berbasis teknologi dan digital, manajemen usaha, serta kewirausahaan.
Kartu Prakerja memberikan peluang bagi masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau baru mencari pekerjaan untuk memperoleh pelatihan yang relevan dan segera memasuki dunia kerja. Hingga kini, sekitar 4,9 juta peserta telah merasakan manfaat program ini.
Efektivitas Kartu Prakerja tidak hanya diukur dari seberapa cepat peserta memperoleh pekerjaan setelah pelatihan, tetapi juga dari seberapa lama mereka dapat bertahan dan berkembang dalam kariernya. Pelatihan keterampilan saja tidak cukup. Peserta perlu dibekali pendidikan karakter, etika kerja, dan kemampuan beradaptasi di tempat kerja. Banyak peserta yang berhasil memperoleh pekerjaan setelah mengikuti program, namun tidak mampu mempertahankannya dalam jangka panjang karena kurangnya kemampuan sosial, manajemen diri, dan pemahaman terhadap hak serta kewajiban sebagai pekerja.
Selain itu, aspek kesejahteraan harus menjadi indikator keberhasilan program. Mendapatkan pekerjaan saja tidak cukup jika upah yang diterima tidak layak. Evaluasi mendalam diperlukan untuk menilai apakah pekerjaan yang diperoleh peserta sesuai standar penghasilan minimum dan memberikan jaminan sosial yang memadai.
Sistem monitoring and evaluation (M&E) yang berkelanjutan terhadap peserta dan perusahaan tempat mereka bekerja menjadi penting. Pemerintah seharusnya memiliki data pasca-program untuk menilai kinerja peserta di dunia kerja, apakah tetap bekerja di bidang yang dilatih, serta bagaimana pandangan perusahaan terhadap lulusan Kartu Prakerja. Evaluasi semacam ini akan membantu meningkatkan relevansi dan kualitas program di masa depan. Dengan penguatan aspek keberlanjutan, Kartu Prakerja berpotensi menjadi fondasi penting dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja nonformal Indonesia dan menjembatani kesenjangan keterampilan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Kolaborasi Pemerintah, Dunia Usaha, dan Perguruan Tinggi
Dalam konteks peningkatan daya saing SDM nasional, kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi menjadi kunci. Perguruan tinggi mulai bertransformasi dari paradigma menara gading menuju orientasi pasar kerja.
Kurikulum perguruan tinggi didorong agar selaras dengan kebutuhan industri (market-oriented curriculum), sehingga lulusan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan pasar. Kebijakan Kampus Merdeka mendorong mahasiswa terjun langsung ke dunia industri melalui magang dan proyek independen. Hal ini memperkuat pengalaman kerja mahasiswa dan memperpendek jarak antara dunia akademik dan kebutuhan dunia usaha.
Perguruan tinggi juga mengembangkan pusat karir dan inkubasi bisnis yang menumbuhkan semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa. Lulusan tidak hanya menjadi pencari kerja (job seeker), tetapi juga pencipta lapangan kerja (job creator).
Selain pengembangan soft skills dan jiwa wirausaha, perguruan tinggi perlu melengkapi mahasiswa dengan sertifikasi kompetensi yang diakui nasional maupun internasional. Lulusan tidak cukup hanya memiliki ijazah, tetapi harus memiliki bukti keterampilan yang terukur dan diakui industri.
Kolaborasi yang solid antara tiga pilar pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi akan menjadi arah baru kebijakan ketenagakerjaan Indonesia. Pemerintah menyediakan regulasi dan insentif, dunia usaha menjadi mitra dalam menyediakan lapangan kerja dan pelatihan, sementara perguruan tinggi menyiapkan SDM yang kompeten, berdaya saing, dan berintegritas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
