Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Konstruksi dan Belenggu Bias Perempuan

Politik | Thursday, 10 Mar 2022, 14:33 WIB
Republika/Wihdan

Break The Bias! Begitu tema Hari Perempuan Internasional 2022 (8/3). Hal itu selaras dengan kehendak untuk melihat kesetaraan sebagai sebuah bingkai indah kehidupan. Sebuah makna yang mendalam guna mendapatkan keadilan, penghargaan atas perbedaan serta bebas dari diskriminasi.

Persoalan perempuan membentang panjang dari latar sejarah kehidupan manusia. Praktik seksisme, misogini hingga budaya patriarki telah terinternalisasi begitu dalam. Pokok utamanya dalam kesetaraan gender adalah melihat kedua belah pihak lelaki dan perempuan, sebagai subjek yang saling terkait.

Ketika tema Hari Perempuan sedunia, masih mengkampanyekan mengenai upaya untuk keluar dari perspektif yang bias bagi kaumnya, maka permasalahan ini jelas menjadi problematika bersama. Konstruksi sosial yang melekat melalui sistem serta budaya patriarki, perlu dikoreksi ulang.

Tentu kita bisa mulai dengan pilihan diksi yang menggandung makna sejarah, untuk menyebut perempuan atau Wanita dengan segala penjelasannya. Kedua kata tersebut, secara bersama dan sekaligus mengalami perubahan makna, dalam bentuk buruk -peyorasi maupun baik -ameliorasi.

Substansi dasarnya, kedua kata tersebut merujuk pada subjek yang sama, dan dalam realitasnya tengah berhadapan dengan tantangan lingkungan sosial yang tidak ramah.

Problem Struktural

Kendala yang dialami para perempuan terpotret dalam sebuah film dokumenter Netflix, berjudul City of Joy, 2018. Lokasi kejadiannya di kawasan Afrika, daerah konflik Kongo.

Tergambarkan bagaimana penderitaan perempuan terbentuk secara berlapis, tidak hanya dari tingkat keluarga hingga struktur sosial ditengah kekacauan pemberontakan serta perang kelompok, termasuk kekerasan seksual yang terjadi.

Inisiasi untuk keluar dari tekanan yang menghimpit tersebut, dibuat dengan membangun lokasi aman, City of Joy, yang tidak hanya menjadi ruang rehabilitasi tetapi sekaligus tempat untuk membangun kembali mental dan harapan dari para korban kejahatan pemerkosaan untuk mampu berdaya.

Ironisnya, titik bara kejahatan seksual terkonsentrasi bersamaan dengan maraknya lokasi pertambangan kekayaan sumberdaya alam, yang dilengkapi pengamanan bersenjata. Terhimpit dan semakin tersudut posisi perempuan di ruang konflik. Direndahkan, sekaligus dieksploitasi sebagai objek.

Tidak hanya dibelahan negara Afrika, situasi serupa juga secara tipikal terjadi di tingkat lokal. Lihat perjuangan para perempuan berhadapan dengan kenaikan harga pangan konsumsi. Tengok antrian ibu-ibu yang mengantri akibat kelangkaan minyak goreng, di negeri dengan berlimpah kebun sawit ini.

Karena itu, simpati sekaligus empati terbentuk, ketika melihat pemberitaan media melalui platform YouTube (24/2), saat seorang ibu berkeluh pada Menteri Perdagangan, yang bertugas mengurusi kekacauan tata kelola minyak goreng. Secara etik dan moral, harus ada bentuk tanggung jawab disana.

Terlebih, para pengambil kebijakan justru menyebut indikasi penimbunan dilakukan rumah tangga. Sebuah konstruksi yang seolah hendak lepas tangan dengan melemparkan persoalan pada perilaku publik. Kekhawatiran masyarakat akan pasokan bahan pangan, merupakan kegagalan struktural.

Merangkai Tujuan

Harus dapat dipahami, bahwa perempuan membawa makna kehidupan, merupakan ibu kebenaran. Dengan perspektif yang berubah tersebut, perempuan dapat dilihat sebagai konstruksi simbolik tentang kesetaraan dan keseimbangan hidup manusia di muka bumi.

Tidak melulu terkungkung dalam stereotipe merawat dan memelihara, tetapi sekaligus mampu membentuk dan membuat yang selama ini identik dengan profile lelaki. Dalam era modern, perempuan justru memiliki kesempatan dan kemampuan untuk bertransformasi secara fleksibel.

Ruang aktifitas perempuan, dalam hal ini panggung perjuangannya semakin terbuka. Dunia yang berjejaring dengan kemajuan teknologi, ikut mendorong demokratisasi informasi, juga berdampak bagi kaum perempuan. Pada situasi tersebut, ada wilayah fantasi sebagai tujuan yang perlu dikukuhkan.

Perspektif itu memunculkan sikap kemandirian dan keberanian, untuk menghidupkan gagasan tentang kapasitas emansipasi perempuan. Penelitian Rewindinar, Fantasi Mamah Muda, Kajian Morfogenesis dan Network Society, 2022 memperlihatkan bahwa kolektifitas dan interaksi yang kohesif dari para perempuan, mampu menciptakan bentuk keagenan baru yang berkorelasi dengan sturktur sosialnya.

Di titik tersebut, pilihan kritisnya kembali berpulang pada kaum perempuan, untuk mengambil pilihan apakah konsisten dalam mencapai tujuan keadilan gender, atau justru terperangkap dalam stereotipe tradisional sebagai akibat buaian modernitas.

Perempuan harus mampu untuk meluruskan bias internalnya, sembari mengikis bias yang terjadi baik secara struktural maupun kultural pada kehidupan bernuansa patriarki. Selamat hari perempuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image