Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image aliful mahdi

Di Balik Sunyi yang Pecah: Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kian Meningkat?

Info Terkini | 2025-11-23 13:04:02

Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia saat ini menunjukkan tren yang sangat memprihatinkan dengan angka yang terus meningkat hingga tahun 2025. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat bahwa hingga April 2025 sudah ada 5.949 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan angka ini meningkat drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat lebih dari 11.850 kasus kekerasan terhadap anak dengan korban didominasi anak perempuan, khususnya kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di dalam ranah rumah tangga. Penyebab utama yang diidentifikasi meliputi pola asuh keluarga, penggunaan gadget yang tidak bijaksana, dan pengaruh lingkungan sekitar. Survei nasional menunjukkan 1 dari 4 perempuan dan 1 dari 2 anak pernah mengalami kekerasan, mengindikasikan masalah yang sangat mendalam dan luas.

Beberapa faktor utama telah diidentifikasi sebagai penyebab kenaikan ini:

  1. Pola Asuh Keluarga Pola asuh otoriter, kekurangan komunikasi emosional, dan kurangnya pendidikan parenting yang demokratis dapat membuka ruang bagi terjadinya kekerasan domestik. Jika anak dibesarkan dalam lingkungan di mana otoritas dipertahankan dengan cara keras, maka potensi pelecehan dan dominasi meningkat.
  2. Penggunaan Gadget yang Tidak Bijaksana Gadget bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, internet membuka peluang pengembangan diri dan konektivitas; di sisi lain, penyalahgunaan gadget bisa mengisolasi anggota keluarga dan menciptakan celah untuk eksploitasi, perundungan daring, atau akses konten berbahaya yang menormalisasi kekerasan.
  3. Pengaruh Lingkungan Sosial Lingkungan sekitar, termasuk teman sebaya, komunitas, dan norma lokal, bisa memperkuat sikap tacit yang membenarkan kekerasan. Bila budaya lokal masih mentolerir kekerasan terhadap perempuan atau anak sebagai bagian “cara mendidik” atau “mempertahankan wibawa”, maka pelaku akan merasa legitimasi.
  4. Ketimpangan Kuasa Struktur sosial yang bias gender dan usia, di mana perempuan dan anak sering ditempatkan dalam posisi subordinat, memperkuat dinamika dominasi. Ketika pelaku merasa “berkuasa”, itu membuka peluang besar untuk penyalahgunaan.
  5. Respon Sistem Perlindungan yang Terbatas Meski ada regulasi dan lembaga perlindungan, mekanisme pelaporan dan pemrosesan kasus masih jauh dari ideal. Korban bisa menghadapi stigma, proses hukum yang lama, atau tidak tersedianya dukungan trauma yang memadai, sehingga banyak korban memilih diam.

Sunyi yang pecah itu bukan sekadar lagu sedih, itu adalah alarm moral. Data Kemen PPPA hingga 2025 menunjukkan betapa gentingnya situasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Jika kita terus menutup mata atau meremehkan akar-akar structural di baliknya, maka sunyi itu akan terus digantikan deru jeritan yang tak pernah benar-benar tenang.

Mengakhiri kekerasan berarti memperkuat empati, merombak norma kuasa, dan menjadikan martabat setiap perempuan dan anak sebagai fondasi kehidupan berbangsa. Dan itu bukan tugas satu lembaga, itu tanggung jawab kita semua.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image