Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Guru Honorer dan Paradoks Keadilan Dunia Pendidikan

Eduaksi | 2025-11-13 15:19:13

Kabar baik datang dari Istana. Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberikan rehabilitasi kepada dua guru dari Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Rasnal dan Abdul Muis (12/11/2025). Kisah keduanya viral pasca dipecat sebagai ASN setelah MA menjatuhkan putusan bersalah karena mengutip sumbangan sukarela dari orang tua murid.

Perjalanan kasus yang bermula di tahun 2018 diawali aduan sebuah LSM yang melaporkan keduanya karena mengutip sumbangan Rp20 ribu dari tiap orang tua siswa. Meski semua orang tua setuju, mereka tetap diputus bersalah di mata hukum, tanpa mempertimbangkan niat baik yang mendasarinya yaitu untuk membayar gaji guru honorer yang sudah sepuluh bulan tidak menerima haknya. Sungguh sebuah ironi.

Guru Honorer, Dibutuhkan Tapi Dilupakan

Mari kita jujur, tanpa guru honorer, sebagian besar sekolah di Indonesia akan lumpuh. Kemendikbudristek bahkan mengakui Indonesia kekurangan sebanyak 1,3 juta tenaga guru. Sementara itu di banyak daerah, jumlah guru ASN jauh dari mencukupi. Organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mencatat dari total guru sekitar 3.3 juta orang, lebih dari setengahnya (52,2 %) adalah guru honorer.

Alhasil guru honorer mengisi kekosongan itu, karena anak didik tak boleh cuti belajar. Proses pembelajaran bisa tetap berjalan, salah satunya karena dedikasi tinggi guru honorer. Jangan tanya gaji bulanannya karena tak menyentuh upah minimum kota, lebih ironis banyak guru honorer yang menunggu pencairan gaji mereka hingga berbulan-bulan. Sungguh tak masuk logika.

Dalam kondisi semacam ini, langkah Pak Rasnal dan Muis mencari sumbangan sukarela seharusnya dibaca sebagai bentuk tanggung jawab moral, bukan pelanggaran hukum. Mereka tidak memaksa, tidak menyelewengkan dana, dan tidak mencari keuntungan. Mereka hanya berusaha memastikan roda pendidikan tidak berhenti. Mereka hanya menambal kelalaian sistem. Tapi sistem justru menuduh mereka melakukan kejahatan.

Inilah paradoks pendidikan kita, guru yang memperjuangkan upah malah dihukum, sementara mereka yang lalai menggaji dibiarkan tanpa sanksi.

Sistem yang Membiarkan Guru Terlupakan

Kisah ini membuka mata kita betapa masih jauhnya kualitas dunia pendidikan kita. Guru sebagai punggawa pendidikan, tak mendapat penghargaan yang memadai. Gaji guru ASN bahkan Dosen, masih jauh di bawah kelayakan, apalagi gaji guru honorer.

Sementara itu, APBN kita mengalokasikan sekitar Rp757 triliun untuk pendidikan tahun depan. Dari jumlah fantastis itu, hampir separuhnya dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang meski penting untuk mendukung kesehatan anak, tidak berkaitan langsung dengan kualitas pembelajaran atau kesejahteraan guru. Dibandingkan dengan dana tunjangan profesi guru non-ASN yang hanya sekitar Rp19 triliun, tentu tidak sebanding dengan kontribusi mereka dalam menopang sistem pendidikan nasional. Maka kita bisa menilai sebesar apa perhatian pemerintah pada para pendidik bangsa.

Program Makan Bergizi Gratis tentu berniat baik. Tidak ada yang menolak anak-anak makan sehat di sekolah. Tapi ketika alokasi untuk program ini menyedot hampir setengah anggaran pendidikan, sementara ribuan guru belum menerima gaji, maka apa sebenarnya makna “prioritas” itu?

Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang kenyang, tapi tentang terang. Anak-anak yang makan bergizi namun diajar oleh guru yang stres karena tidak digaji, apakah akan tumbuh menjadi generasi emas?

Ilmu adalah cahaya, dan guru adalah penjaga cahaya itu. Maka seharusnya, anggaran negara pertama-tama digunakan untuk menjaga nyala cahaya itu tetap hidup, bukan untuk membiayai hasrat politik sesaat.

Maka seharusnya kesejahteraan guru menjadi fondasi pertama, bukan sisa perhatian terakhir. Jika guru hidup layak, mereka akan mengajar dengan hati. Jika guru merasa dihargai, mereka akan mengubah kelas menjadi ruang inspirasi. Tapi jika guru yang jujur dan peduli justru disingkirkan oleh aturan kaku, maka yang hilang bukan hanya dua ASN, melainkan rasa kemanusiaan di sistem pendidikan kita.

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo kepada Rasnal dan Muis adalah langkah penting. Ia menunjukkan bahwa negara masih memiliki nurani untuk memperbaiki kesalahan. Namun, itu belum menyelesaikan akar persoalan; politik anggaran pendidikan yang buruk.

Ketika Ilmu dan Guru Dimuliakan

Jika kita menengok sejarah peradaban Islam, politik anggaran dalam pemerintahan Islam memberi pelajaran berharga tentang bagaimana pendidikan dan guru ditempatkan pada derajat tertinggi.

Islam memandang anggaran pendidikan tidak dianggap beban, melainkan investasi iman dan peradaban. Guru, ulama, dan penuntut ilmu dijamin penghidupannya langsung dari kas negara. Para khalifah seperti Umar bin Khattab dan Harun ar-Rasyid menempatkan guru dalam strata terhormat, mereka digaji dengan dinar emas, bukan recehan belas kasihan.

Di masa itu, negara Islam tidak menunggu guru mengeluh baru bertindak. Para pengajar Al-Qur’an, logika, filsafat, kedokteran, dan matematika diberi insentif agar bisa fokus mendidik tanpa harus mencari nafkah di luar. Pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara karena ilmu adalah sumber keberkahan umat.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” Maka memuliakan mereka adalah memuliakan warisan kenabian itu sendiri. Politik anggaran dalam Islam tidak memisahkan perut dari pikiran: memberi makan rakyat adalah penting, tapi memberi ilmu adalah kemuliaan tertinggi.

Maka, tidak akan ada lagi kisah guru yang dipecat karena peduli. Tidak akan ada lagi niat baik yang dihukum. Sebab dalam pandangan Islam, seorang guru yang mengajar demi mencerdaskan manusia adalah pejuang di jalan Allah, dan tidak pantas dibiarkan lapar di jalan birokrasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image