Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Shafy Al Rahman

Matinya Kelas Menengah di Tangan Kebijakan Impor yang Ambigu

Politik | 2025-11-13 15:00:03

Publik kembali disuguhi drama birokrasi yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Sorotan tajam kini mengarah pada Menteri Keuangan Purbaya dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Pemicunya adalah temuan sidak yang viral: barang impor dengan harga asli sekitar Rp117 ribu, bisa melonjak menjadi Rp50 juta saat masuk ke pasar domestik akibat skema pajak dan denda yang tidak masuk akal.

Di saat yang sama, isu politik memanas dengan kabar bahwa Luhut Binsar Pandjaitan mendesak pergantian posisi Menkeu. Namun, mari kesampingkan gosip elit tersebut sejenak. Yang terjadi di lapangan jauh lebih mengerikan: ketidakpastian hukum. Pelaku usaha, khususnya UMKM dan kelas menengah, kini hidup dalam kecemasan. Bea Cukai yang seharusnya menjadi trade facilitator, justru tampil sebagai momok yang mencekik rantai pasok. Fenomena ini bukan sekadar "oknum", melainkan gejala sistemik dari kebijakan proteksionisme yang diterapkan secara ugal-ugalan tanpa melihat realitas rantai pasok global.

Secara teoritis, langkah pemerintah membatasi impor untuk melindungi industri dalam negeri adalah argumen klasik Infant Industry Argument dari Friedrich List. Namun, implementasinya di Indonesia sering kali melupakan satu variabel kunci: Global Value Chains (GVC).

Dalam teori ekonomi, kita mengenal Laffer Curve—bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi justru akan menurunkan pendapatan negara. Namun, yang paling mencolok adalah betapa "pelitnya" ambang batas pembebasan bea masuk (de minimis value) kita dibandingkan tetangga.

Saat ini, Indonesia menetapkan ambang batas bea masuk hanya USD 3 (sekitar Rp47.000). Bandingkan dengan Malaysia yang mematok di angka MYR 500 (sekitar Rp1,7 juta) atau Singapura di angka SGD 400 (sekitar Rp4,6 juta). Bahkan Amerika Serikat melonggarkan hingga USD 800.

Disparitas ekstrem ini menunjukkan betapa agresifnya negara memburu pajak receh dari warganya sendiri. Kebijakan ini memaksa barang-barang murah—yang seringkali merupakan bahan baku esensial bagi kreator dan UMKM lokal—menjadi barang mewah yang tak terjangkau. Alih-alih melindungi, regulasi ini justru mematikan daya saing kita di level regional.

Opini saya jelas: kebijakan "gebuk rata" terhadap barang impor ini adalah bunuh diri ekonomi. Narasi "Cintai Produk Dalam Negeri" yang didengungkan pemerintah terasa hipokrit ketika ekosistem industri domestik belum siap mensubstitusi barang impor tersebut, namun keran impor sudah dimatikan paksa.

Kita tidak sedang melihat upaya perlindungan negara, melainkan bentuk predatory bureaucracy. Kebijakan yang ambigu—berubah-ubah aturan main di tengah jalan, penafsiran HS Code yang subjektif petugas, hingga denda yang tidak masuk akal—adalah racun bagi iklim investasi. Kelas menengah Indonesia, yang merupakan motor penggerak konsumsi nasional, kini terjepit. Di satu sisi daya beli tergerus inflasi, di sisi lain akses mereka terhadap barang (baik untuk konsumsi maupun produksi) dihambat negara.

Jika pemerintah, khususnya Kemenkeu, tidak segera melakukan reformasi regulasi yang substantif—bukan sekadar ganti menteri atau sidak marah-marah di depan kamera—maka kita sedang bersiap menjemput resesi yang kita ciptakan sendiri. Pastikan aturan main jelas, transparan, dan masuk akal. Jangan sampai Bea Cukai menjadi tembok yang justru mengisolasi Indonesia dari kemajuan ekonomi global.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image