Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naura Hanifah

Indonesia 2045: Bukan Sekedar Mimpi, Tapi Kerja Hari Ini

Humaniora | 2025-11-12 21:21:14

Berangkat dari visi Indonesia yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya, beliau menegaskan bahwa pemuda-pemudi bangsa saat ini merupakan investasi besar bagi masa depan. Impian Indonesia Emas 2045 digadang-gadang akan membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju. Tahun 2045 juga menjadi momentum bersejarah, karena genap satu abad kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945. Melalui visi Indonesia Emas 2045, tanah air ini menaruh ambisi menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaya saing global. Namun, sejauh mana Indonesia siap mewujudkannya?

Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto seusai dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada Minggu (20/10/2024) memancarkan optimisme dan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia yang lebih kuat. Dalam pidato yang disampaikan di gedung MPR/DPR Senayan Jakarta, Prabowo menekankan komitmennya untuk membawa Indonesia menuju era kejayaan pada tahun 2045, sekaligus kebersamaan pentingnya persatuan nasional.

“Kami akan memimpin dengan tulus dan menjadikan kepentingan seluruh rakyat Indonesia sebagai prioritas utama,” ucap Prabowo.

Pemuda merupakan aktor perubahan akan menjadi harapan dari pusat kemajuan bangsa. Pemuda diharapkan memiliki kualitas hidup yang baik agar mampu meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. "Pemuda silakan sehat dulu, sehat itu penting. Setelah sehat, cerdas. Setelah cerdas baru bisa berproduksi," ujar Menteri Suharso dalam Berbagainya pada diskusi Indonesia Future Network, Senin (10/5/2024).

Namun, generasi muda Indonesia masih dihadapkan pada tiga tembok besar: pendidikan yang belum merata, akses kesehatan yang timpang, dan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan lulusan.

Visi besar Indonesia Emas 2045 tak mungkin tercapai tanpa fondasi pendidikan yang kokoh. Namun, data menunjukkan ironi yang menghina. Hasil Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan kemampuan literasi membaca Indonesia menduduki peringkat 72 dari 81 negara, masuk dalam 10 besar terbawah. Kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains tidak jauh berubah sejak satu dekade terakhir. Kondisi ini sejalan dengan kritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), bahwa sistem pendidikan yang bersifat satu arah) hanya melahirkan generasi pasif, bukan pemikir kritis. Pendidikan kita lebih banyak penghafal pencetakan dibandingkan pemecah masalah.

Ironisnya, di tengah rendahnya mutu pendidikan dasar, beberapa sekolah justru sibuk mengedepankan gimmick viral demi branding. Fenomena pemutaran lagu TikTok di jam literasi, misalnya mencerminkan lemahnya kontrol kurikulum dan hilangnya arah terbentuknya karakter kebangsaan. Jika arah literasi nasional bergeser ke arah hiburan membahas, kita patut berkomentar: "Indonesia Emas" versi siapa yang sedang dibangun?.

Kesesenjangan pendidikan terlihat jelas dalam tingkat pendidikan menengah antara kota dan desa, di mana 49,16% penduduk usia 15 tahun ke atas di kota telah menamatkan SMA/sederajat, sementara di desa hanya 27,98%. Sebagian besar penduduk pedesaan bahkan hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar, yaitu 31,13%.Pendidikan belum menjadi jembatan mobilitas, melainkan pencetak ketimpangan baru.

Masalah kedua diselesaikan pada kesehatan. Di atas kertas, Indonesia terus memperbaiki layanan kesehatan. Namun di lapangan, layanan berkualitas masih menjadi hak istimewa wilayah tertentu. Banyak masyarakat di pelosok masih kesulitan mendapatkan imunisasi, pemeriksaan rutin, bahkan edukasi kesehatan dasar. Angka stunting memang menurun, namun belum mencapai target nasional 14 persen pada tahun 2024. Dari data terbaru menunjukkan meskipun Indonesia telah berhasil mencatat penurunan prevalensi stunting dalam beberapa tahun terakhir, angkanya masih tergolong tinggi. Kondisi ini belum memenuhi target nasional yang ambisius, yaitu mencapai 14% pada tahun 2024.

"Di kancah global, Indonesia memiliki peran krusial dalam upaya kolektif untuk menekan angka stunting. Komitmen ini selaras dengan target yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni penurunan stunting sebesar 40% secara global pada tahun 2024 mengingat populasi anak yang sangat besar di Indonesia, keberhasilan negara ini dalam mengatasi stunting akan menjadi faktor penentu dalam pencapaian target global tersebut," tulis Ira Sonaya Azra, Senin, 26 Mei 2025.

Tantangan ketiga adalah lapangan kerja. Setiap tahun lulusan baru bertambah, tetapi ruang kerja tidak bertambah secepat itu. Banyak lulusan juga belum memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri, terutama di bidang digital, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas, karena masih dianggap sebagai kompetensi pelengkap, bukan prioritas pendidikan. Ditambah lagi, kondisi ekonomi yang belum stabil dan investasi yang terbatas semakin memberikan peluang kerja baru. Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri turut mendukung keadaan, sebab keduanya masih berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi yang kuat. Di sisi lain, banyak generasi muda cenderung ingin hasil instan dan takut gagal, padahal dunia kerja menuntut proses, daya juang, dan ketahanan mental.

Di tengah berbagai tantangan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, Indonesia sebenarnya menyimpan peluang besar. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD), membayangkan tahun 2045 ekonomi Indonesia mencapai USD 8,89 triliun dan menjadi kekuatan ekonomi keempat terbesar dunia. Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030–2040 sebesar 64 persen penduduk usia produktif. Indonesia mempunyai potensi sebagai salah satu pasar terbesar, dengan SDM yang inovatif dan produktif. (Nainggolan, 2021, Kemenkeu Kalbar)

Di bawah inti Indonesia Emas seharusnya dimulai. Bukan melalui gedung-gedung tinggi atau pertumbuhan ekonomi semata, melainkan tentang manusia yang unggul, berkarakter, dan berdaya saing. Visi besar ini hanya dapat terwujud jika fondasi utamanya yaitu pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan berjalan beriringan, bukan ketimpangan. Yang ketiga adalah mata rantai yang menentukan kualitas generasi produktif yang akan memegang masa depan bangsa. Bonus demografi tidak otomatis menjadi berkah tanpa SDM yang cerdas, sehat, dan terserap dalam dunia kerja. Maka, Indonesia Emas sejatinya bukan soal angka dan ambisi, tetapi tentang kesiapan manusianya mewujudkan masa depan dengan kemampuan dan integritas. Oleh karena itu, perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah harus memperkuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, sekolah dan kampus wajib mencetak lulusan berdaya saing, keluarga menjadi ruang pertama pembentukan karakter, dan generasi muda harus bergerak sebagai pelaku, bukan sekadar perubahan penonton.

Indonesia Emas bukan mimpi yang mustahil, tetapi juga bukan hadiah instan. Ia adalah hasil dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten hari ini dengan bertindak melalui belajar, berkarya, berkolaborasi, dan berkontribusi nyata di lingkungan masing-masing. Seperti yang pernah kita dengar, masa depan bangsa bukan ditentukan oleh apa yang kita rencanakan, tetapi oleh apa yang kita lakukan. Maka, jika 2045 benar-benar ingin menjadi puncak kebangkitan, bukan sekadar perayaan, saatnya dimulai sekarang. Bukan menunggu waktu emas datang, melainkan menempanya bersama, memilih demi memilih.

Dhiya Nazwa Azzahra, UIN Jakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image