Indonesia Emas 2045: Mungkinkah Terwujud dengan Generasi yang Cemas?
Edukasi | 2025-11-03 13:59:58Hasil survei I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022, menunjukkan 1 dari 3 remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja atau sekitar 34,9% dari total populasi remaja. Angka ini menunjukkan situasi mengkhawatirkan mengingat pesatnya pengaruh media sosial yang menjadi salah satu faktor dalam memengaruhi kondisi kesehatan mental remaja. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan dalam merealisasikan visi Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, adil, dan makmur pada peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dalam mewujudkan visi tersebut, pembangunan sumber daya manusia unggul yang mencakup kualitas fisik, keterampilan, dan karakter menjadi pilar utama. Remaja saat ini merupakan generasi emas dan akan menjadi motor penggerak visi tersebut. Lantas, apakah visi Indonesia Emas 2045 mungkin untuk direalisasikan jika kesehatan mental generasi penerusnya terganggu?
Dahulu, interaksi sosial dominan terjadi di dunia nyata, dan membentuk karakter melalui pengalaman langsung yang lebih tersaring. Namun, kini kita hidup di era digital di mana setiap sentuhan pada layar ponsel bukan hanya membuka jendela informasi, melainkan juga membentuk kembali jati diri kita. Media sosial memberikan kemudahan akses informasi dan konektivitas, tetapi di samping itu media sosial juga memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental remaja.
Berbagai platform media sosial sering kali menjadi ajang memamerkan kehidupan yang ‘sempurna’, dan dapat menimbulkan perbandingan sosial yang tidak realistis serta rasa insecure mendalam pada remaja yang sedang di tahap mencari jati diri. Namun, konten yang disajikan di media sosial belum tentu merepresentasikan kondisi nyata dari kehidupan seseorang secara utuh.
Survei yang telah dilakukan oleh Common Sense Media pada 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 27% remaja merasa stress dengan penampilan mereka saat mengunggah foto, hal ini merupakan bukti nyata bahwa tekanan digital melemahkan rasa percaya diri mereka. Tidak hanya itu, cyberbullying juga semakin marak terjadi, dan dapat menimbulkan luka emosional, bahkan depresi bagi korban.
Ancaman anonimitas di media sosial menyebabkan pelaku melontarkan ujaran kebencian tanpa beban, sedangkan korban merasa takut dan cemas. FOMO (Fear of Missing Out) semakin memperparah kondisi ini dengan membuat remaja merasa harus selalu mengikuti tren atau aktivitas media sosial sehingga tercipta lingkaran stress dan tekanan harus aktif yang menyebabkan kecanduan ponsel. Kecanduan ponsel dapat berakibat pada gangguan pola tidur, menurunkan konsentrasi, dan mengakibatkan remaja menarik diri dari lingkungan sosial nyata. Dampak-dampak ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik saja, melainkan mental, yang secara langsung membentuk karakter remaja menjadi pribadi yang cemas, kurang empati, dan rentan terhadap tekanan.
Kesehatan mental remaja menjadi indikator yang krusial bagi kualitas sumber daya manusia. Apabila banyak remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental, maka pilar pembangunan sumber daya manusia yang unggul dalam visi Indonesia Emas 2045 akan goyah. Remaja yang tertekan secara mental cenderung kurang produktif, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan motivasi untuk mengembangkan potensi diri. Kondisi ini dapat menghambat mereka dalam mencapai kualitas fisik, keterampilan yang cakap, serta karakter kuat yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin di masa depan, seperti integritas, disiplin, tanggung jawab dan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan.
Sebuah bangsa tidak dapat mencapai puncak kejayaannya jika generasi penerusnya terkurung dalam kecemasan, depresi, atau masalah mental lainnya. Menjaga kesehatan mental remaja bukan semata tugas psikolog atau guru BK, tetapi tanggung jawab kolektif bangsa untuk melindungi masa depan Indonesia itu sendiri. Tanpa perhatian serius terhadap isu ini, pembangunan sumber daya manusia unggul hanya akan menjadi wacana semata tanpa realisasi nyata. Oleh karena itu, untuk bergerak melampaui wacana dan mewujudkan aksi nyata, dibutuhkan intervensi berbasis sistem dan kebijakan kesehatan masyarakat yang tidak lagi bersifat kuratif, melainkan proaktif dan preventif sejak dini.
Intervensi mendasar harus dimulai dari akar, yakni sistem pendidikan. Tenaga kesehatan masyarakat tentunya memainkan peran penting disini, yaitu dengan mengadvokasi pemerintah untuk membuat program pendidikan kesehatan mental di sekolah sebagai bagian wajib kurikulum pendidikan nasional. Program ini tidak hanya fokus pada identifikasi masalah, tetapi juga pada pembentukan karakter digital yang positif. Tenaga kesehatan masyarakat dapat mengembangkan modul yang mengajarkan literasi digital sehat, di mana materinya meliputi cara menggunakan sosial media dengan bijak, mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, dan depresi.
Etika berinteraksi di dunia maya juga diajarkan guna menanamkan nilai empati, saling menghargai, dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya cyberbullying. Tidak hanya memberi edukasi kepada remaja, orang tua dan guru juga perlu memahami agar dapat membimbing remaja secara efektif dan menciptakan lingkungan digital yang sehat dan mendukung di rumah maupun di sekolah.
Untuk memastikan program pendidikan kesehatan mental dapat mencapai tujuan dan berkembang secara optimal diperlukan adanya monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan dengan pengisian survei atau kuesioner bagi siswa, guru serta orang tua untuk mengumpulkan umpan balik langsung. Sementara itu, evaluasi dapat dilakukan setiap akhir semester dengan cara memberikan tes sebelum dan setelah program dimulai untuk mengukur perubahan pengetahuan, sikap maupun perilaku. Melalui monitoring dan evaluasi, program dapat terus disempurnakan, sehingga mampu membentuk generasi muda yang sehat secara mental.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan masyarakat, institusi pendidikan, dan keluarga, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang sehat, empatik, dan berdaya. Saat remaja Indonesia tumbuh dengan mental yang sehat dan karakter yang kokoh, maka visi Indonesia Emas 2045 bukanlah angan semata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
