Memotong Nol, Bukan Kepercayaan: Catatan Kritis Soal Redenominasi
Info Terkini | 2025-11-12 11:44:23Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan rencana pemerintah untuk menyederhanakan nilai mata uang — misalnya menjadikan Rp1.000 menjadi Rp1. Langkah ini, menurutnya, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan nasional dan memudahkan transaksi di era digital (DetikFinance, 2025). Sekilas, rencana ini tampak sederhana: hanya menghapus tiga nol di belakang angka. Namun di balik langkah teknis itu, tersimpan persoalan besar tentang kepercayaan publik dan kesiapan ekonomi nasional.
Redenominasi sendiri bukanlah hal baru. Pemerintah dan Bank Indonesia telah menggagasnya sejak 2010, namun berulang kali tertunda akibat situasi ekonomi yang belum stabil. Kini, dengan inflasi terkendali dan transaksi digital semakin dominan, wacana itu muncul kembali. Purbaya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengubah daya beli masyarakat, melainkan hanya penyederhanaan pencatatan dan denominasi nominal (Riau24, 2025).
Manfaat yang ditawarkan redenominasi memang tampak menarik. Transaksi bisa lebih efisien, pembukuan akuntansi menjadi lebih sederhana, dan secara simbolik rupiah terlihat lebih kuat di mata internasional. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mengingatkan bahwa implementasi redenominasi harus memperhatikan stabilitas ekonomi, sosial, serta kesiapan teknologi dan logistik agar tidak menimbulkan kekacauan sistem keuangan (DetikFinance, 2025). Dengan kata lain, persoalan utamanya bukan apakah redenominasi perlu dilakukan, tetapi apakah kita sudah siap menjalankannya dengan matang.
Pelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan redenominasi ditentukan oleh dua hal utama: stabilitas makroekonomi dan tingkat literasi finansial masyarakat. Turki, misalnya, sukses memangkas enam nol dari mata uangnya karena didukung reformasi ekonomi besar-besaran dan sosialisasi publik yang menyeluruh. Namun di Indonesia, sebagian masyarakat masih menganggap “pemotongan nol” berarti “turunnya nilai uang”. Jika persepsi ini tidak diantisipasi, kebijakan yang niatnya baik justru bisa menimbulkan keresahan sosial dan ketidakpastian harga di lapangan.
Selain faktor psikologis, kesiapan infrastruktur digital juga krusial. Sistem pembayaran elektronik, ATM, aplikasi keuangan, hingga laporan akuntansi perusahaan harus disesuaikan dengan nominal baru. Tanpa dukungan teknologi dan koordinasi lintas sektor, perubahan sekecil apa pun dalam sistem mata uang bisa menimbulkan gangguan teknis dan kesalahan hitung yang berdampak besar. Karena itu, BI menekankan bahwa proses ini memerlukan waktu transisi yang cukup panjang serta pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan.
Meski begitu, redenominasi juga memiliki sisi simbolik yang penting. Ia bukan hanya langkah teknis ekonomi, tetapi juga cermin dari kepercayaan sosial terhadap pemerintah dan sistem moneter. Uang, pada hakikatnya, adalah simbol kepercayaan kolektif. Setiap lembar rupiah menyimpan keyakinan rakyat bahwa nilainya dijaga oleh negara. Karena itu, kebijakan sebesar redenominasi harus dijalankan secara transparan, partisipatif, dan berbasis komunikasi publik yang jelas — bukan sekadar pengumuman teknokratis yang membingungkan.
Pada akhirnya, redenominasi rupiah bukan sekadar urusan memangkas nol di belakang angka, melainkan ujian kedewasaan ekonomi dan kepercayaan sosial. Langkah ini bisa menjadi simbol kemajuan jika dijalankan dengan perencanaan matang, komunikasi yang jernih, dan transparansi penuh. Namun tanpa tiga hal itu, kebijakan ini berpotensi hanya menjadi wacana kosmetik yang menambah kebingungan publik. Indonesia tak kekurangan ide besar; yang sering luput justru cara kita menyiapkannya. Redenominasi akan berhasil bukan karena besar nilainya, tetapi karena kuatnya kepercayaan yang menopangnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
