Menkeu Purbaya Ingin Redenominasi Rp1.000 Jadi Rp1, Relevankah dengan Kondisi Masyarakat Saat Ini?
Info Terkini | 2025-11-10 21:33:35
Penulis: Amarylis Casia Vitarizquita mahasiswa Universitas Airlangga
Pendahuluan
Redenominasi rupiah sebenarnya telah lama dibicarakan sejak Bank Indonesia menggagas rencana serupa pada tahun 2010 dengan tujuan menyederhanakan struktur nilai mata uang tanpa mengubah daya beli masyarakat. Secara konseptual, kebijakan ini bertujuan memperkuat citra rupiah, memudahkan sistem transaksi, dan meningkatkan efisiensi dalam pelaporan keuangan nasional (Mubarak et al., 2022). Meski demikian, pelaksanaannya memerlukan kondisi ekonomi makro yang stabil, tingkat inflasi yang terkendali, serta kesiapan infrastruktur dan literasi keuangan masyarakat. Dalam konteks ekonomi Indonesia yang masih menghadapi tantangan pascapandemi, seperti fluktuasi harga dan ketimpangan daya beli, isu ini menjadi relevan untuk dikaji secara lebih mendalam.
Kebijakan redenominasi tidak dapat dipandang semata sebagai langkah administratif atau simbolik, melainkan sebagai kebijakan strategis yang berdampak langsung pada aspek psikologis dan sosial masyarakat. Perubahan nominal mata uang berpotensi menimbulkan kebingungan publik, terutama bagi kelompok dengan literasi ekonomi rendah, dan dapat memicu inflasi psikologis apabila sosialisasinya tidak dilakukan secara menyeluruh. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul bukan hanya mengenai efektivitas kebijakan ini dari sisi ekonomi, tetapi juga relevansinya terhadap kondisi sosial, kesiapan infrastruktur keuangan, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan nilai rupiah di tengah dinamika ekonomi yang kompleks.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan nilai nominal mata uang tanpa mengubah nilai riilnya terhadap barang dan jasa. Kebijakan ini umumnya ditempuh oleh suatu negara untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan, memperkuat kepercayaan terhadap mata uang nasional, serta menyesuaikan standar moneter agar sejajar dengan praktik ekonomi global (Annazah et al., 2018). Dalam konteks Indonesia, rencana redenominasi sudah pernah muncul sejak satu dekade lalu melalui inisiatif Bank Indonesia, namun terus tertunda akibat berbagai pertimbangan ekonomi dan politik. Saat ini, wacana tersebut kembali mengemuka seiring upaya pemerintah memperbaiki struktur ekonomi dan memperkuat stabilitas makro pascapandemi.
Secara teori ekonomi moneter, redenominasi dapat membantu meningkatkan citra mata uang di mata internasional serta memudahkan pencatatan transaksi, pelaporan akuntansi, dan perhitungan harga. Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada aspek teknis, melainkan juga pada kondisi fundamental ekonomi suatu negara. Negara-negara seperti Turki (2005) dan Korea Selatan (1962) berhasil menerapkan redenominasi karena didukung oleh inflasi yang terkendali, pertumbuhan ekonomi stabil, serta tingkat literasi keuangan masyarakat yang tinggi (Permana, 2015). Sebaliknya, negara-negara dengan kondisi ekonomi tidak stabil, seperti Zimbabwe, mengalami kegagalan karena lemahnya sistem moneter dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, penerapan redenominasi menghadapi tantangan struktural yang signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat inflasi Indonesia pada 2025 masih berada pada kisaran 3–4 persen, sementara pertumbuhan ekonomi berkisar antara 5–5,2 persen. Meskipun angka tersebut relatif moderat, disparitas daya beli antarwilayah, ketergantungan terhadap sektor konsumsi, serta rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat menengah ke bawah dapat menjadi faktor penghambat. Selain itu, sebagian besar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih mengandalkan sistem transaksi tunai dan pencatatan sederhana, yang berpotensi menimbulkan kebingungan apabila redenominasi diterapkan tanpa sosialisasi yang matang.
Lebih jauh lagi, konteks sosial-ekonomi Indonesia saat ini masih berada pada fase pemulihan pascapandemi, dengan berbagai tekanan harga dan beban fiskal yang belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam situasi seperti ini, kebijakan yang berhubungan langsung dengan persepsi publik terhadap nilai uang harus diimplementasikan dengan sangat hati-hati. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk memastikan kesiapan sistem keuangan dan perbankan, tetapi juga untuk membangun kepercayaan masyarakat melalui edukasi yang transparan dan berkelanjutan. Dengan demikian, wacana redenominasi rupiah tidak cukup hanya dinilai dari sisi efisiensi ekonomi, tetapi juga dari relevansinya terhadap kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang akan menjadi pihak paling terdampak.
Rencana redenominasi rupiah yang kembali disampaikan oleh Menteri Purbaya Yudhi Sadewa pada 2025 menjadi salah satu isu ekonomi yang menarik perhatian publik dan pelaku pasar. Dalam keterangannya, Purbaya menegaskan bahwa langkah ini bukanlah bentuk pemotongan nilai uang, melainkan penyederhanaan sistem nominal agar rupiah lebih efisien dan berdaya saing di tingkat internasional. Menurutnya, perubahan ini akan memperkuat persepsi global terhadap stabilitas moneter Indonesia, sekaligus memudahkan transaksi lintas sektor, terutama dalam era digitalisasi keuangan yang terus berkembang. Meskipun demikian, pemerintah belum mengumumkan waktu pelaksanaan pasti karena masih melakukan kajian kesiapan sistem dan respons masyarakat.
Secara empiris, berbagai data menunjukkan bahwa fondasi ekonomi Indonesia sebenarnya relatif stabil, namun belum sepenuhnya ideal untuk pelaksanaan redenominasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan pada pertengahan 2025 mencapai sekitar 3,2 persen, berada dalam rentang sasaran Bank Indonesia sebesar 2,5 ± 1 persen. Pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor komoditas, sementara daya beli masyarakat belum menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan periode pra-pandemi. Di sisi lain, laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024 menunjukkan tingkat literasi keuangan nasional baru mencapai 51,7 persen, menandakan masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami konsep nilai uang dan mekanisme kebijakan moneter.
Kondisi ini menjadi penting karena keberhasilan redenominasi tidak hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi makro, tetapi juga oleh kesiapan sosial dan kelembagaan. Sebagai contoh, studi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menegaskan bahwa faktor kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi kunci utama dalam implementasi redenominasi. Jika masyarakat tidak memahami bahwa perubahan nominal tidak memengaruhi daya beli, maka kebijakan ini berpotensi menimbulkan gejolak harga akibat inflasi psikologis. Selain itu, kesiapan sektor usaha kecil dan menengah (UMKM) juga krusial. Dengan sekitar 64 juta unit UMKM yang mendominasi 97 persen lapangan kerja nasional, perubahan sistem harga dan akuntansi harus dipersiapkan secara bertahap agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi mikro.
Bank Indonesia sendiri telah menegaskan bahwa redenominasi hanya dapat dilakukan setelah melalui proses komunikasi publik yang komprehensif dan bertahap. Berdasarkan panduan Bank Dunia, pelaksanaan redenominasi idealnya dilakukan saat inflasi rendah, nilai tukar stabil, serta tingkat kepercayaan terhadap lembaga keuangan tinggi. Dalam konteks Indonesia, faktor-faktor tersebut masih dalam tahap penguatan. Pemerintah juga perlu memastikan kesiapan teknologi perbankan dan sistem transaksi digital, mengingat lebih dari 70 persen masyarakat kini aktif bertransaksi melalui layanan elektronik. Tanpa kesiapan tersebut, proses konversi nilai nominal berisiko menimbulkan kesalahan teknis maupun kebingungan di tingkat pengguna akhir (Yunita et al., 2022).
Secara keseluruhan, fakta dan data yang ada menunjukkan bahwa rencana redenominasi rupiah memerlukan kehati-hatian dan strategi komunikasi publik yang matang. Meskipun tujuan kebijakan ini tampak rasional dari sisi efisiensi ekonomi dan citra mata uang, keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga, meningkatkan literasi keuangan, dan memastikan seluruh lapisan masyarakat memahami makna perubahan tersebut. Dengan kata lain, tantangan utama bukan terletak pada aspek teknis penyederhanaan angka, melainkan pada proses membangun kepercayaan publik terhadap nilai rupiah itu sendiri.
Rencana redenominasi rupiah yang digagas Menteri Purbaya mencerminkan upaya pemerintah memperkuat citra dan efisiensi sistem keuangan nasional. Namun, kebijakan ini menuntut kesiapan ekonomi, kestabilan harga, dan literasi keuangan masyarakat yang memadai. Tanpa sosialisasi dan persiapan matang, perubahan nilai nominal berisiko menimbulkan kebingungan publik dan inflasi psikologis. Karena itu, pemerintah perlu berhati-hati agar redenominasi benar-benar menjadi langkah strategis, bukan sekadar simbol kebijakan ekonomi.
Rencana redenominasi rupiah yang diusulkan Menteri Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk menata kembali sistem keuangan nasional agar lebih efisien dan kompetitif di tingkat global. Langkah ini pada dasarnya sejalan dengan semangat modernisasi ekonomi dan transformasi digital yang tengah digalakkan pemerintah. Namun, efektivitas kebijakan tersebut sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang stabil, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta kemampuan lembaga keuangan dalam menyesuaikan sistemnya terhadap perubahan nilai nominal uang.
Dalam konteks sosial, redenominasi tidak dapat dilepaskan dari aspek psikologis masyarakat. Perubahan angka pada uang yang digunakan sehari-hari dapat menimbulkan persepsi keliru mengenai daya beli, terutama bagi kelompok masyarakat dengan pemahaman ekonomi yang terbatas (Angraeni et al., 2025). Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah perlu memastikan adanya edukasi publik yang masif, transparansi informasi, dan kesiapan infrastruktur ekonomi di semua lapisan. Sosialisasi yang baik akan menjadi kunci untuk mencegah kesalahpahaman dan menjaga stabilitas harga di pasaran.
Dengan demikian, redenominasi rupiah bisa menjadi kebijakan yang strategis apabila dilaksanakan secara terencana, bertahap, dan berbasis pada kondisi ekonomi yang kuat. Pemerintah tidak seharusnya tergesa-gesa dalam menerapkannya, melainkan fokus pada pemulihan daya beli, peningkatan literasi keuangan, serta penguatan sektor produktif masyarakat. Jika dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan strategi komunikasi publik yang baik, redenominasi dapat menjadi simbol kepercayaan diri bangsa terhadap stabilitas rupiah dan fondasi ekonomi Indonesia yang semakin tangguh.
SUMBER
Angraeni, M., Uswatun, U., & Saiful, M. (2025). Analisis Dampak Inflasi Terhadap Daya Beli Masyarakat. Journal of Economics Development Research, 1(3), 82–90. https://doi.org/10.71094/joeder.v1i3.143
Annazah, N. S., Juanda, B., & Mulatsih, S. (2018). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Keberhasilan Redenominasi. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan Pembangunan, 6(2), 61–73. https://doi.org/10.29244/jekp.6.2.61-73
Mubarak, A. M., Kusuma, E., Ruhmaniah, S. A., & Cindy, Y. T. (2022). Persepsi Kebijakan Redenominasi Rupiah di Kalangan Masyarakat Kota Makassar. Journal of Management & Business, 4(3), 186–1958. https://doi.org/10.37531/sejaman.v4i3.2457
Permana, S. H. (2015). Prospek Pelaksanaan Redenominasi di Indonesia. Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 6, 109–122.
Yunita, P., Ali, A., Fahminuddin, M., & Hidayatullah, S. (2022). Finansial Teknologi Syariah & Bank Digital: Kendala Dan Tantangan Pengembangan Fintech Syariah Di Indonesia. Zhafir: Journal of Islamic Economics, Finance, and Banking, 4(2), 113–142.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
