Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ANDI ANANDA RIZQI

Bebas Bicara Santun Berkata: Menjaga Etika Berpendapat di Dunia Digital

Eduaksi | 2025-11-10 15:57:25

Kebebasan berbicara adalah hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Namun di era digital, banyak yang lupa bahwa bebas bicara santun berkata bukan hanya soal keberanian menyampaikan pendapat, tetapi juga soal bagaimana menghormati orang lain. Dalam konteks media sosial, kebebasan ini sering disalahartikan menjadi ajang menghujat atau menyebar kebencian. Itulah sebabnya penting untuk memahami batas antara ekspresi bebas dan tanggung jawab moral dalam berbicara.

Poster artikel

Fenomena ujaran kebencian, perdebatan tidak sehat, hingga perundungan verbal menjadi bukti bahwa kesantunan berkomunikasi masih perlu diperkuat. Dalam konteks inilah, konsep “Bebas Bicara,

Santun Berkata” menjadi penting untuk diinternalisasikan, khususnya di kalangan mahasiswa sebagai generasi intelektual dan agen perubahan sosial.

Makna Kebebasan Berbicara

Kebebasan berbicara bukan sekadar kebolehan mengutarakan pikiran, tetapi juga ruang untuk mengekspresikan ide, mendorong kreativitas, dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan hasil riset, 98% responden mahasiswa menyatakan bahwa kebebasan berbicara sangat penting dalam kehidupan akademik dan sosial. Namun, mereka juga menyadari bahwa kebebasan tersebut harus disertai tanggung jawab moral agar tidak menyinggung atau merugikan pihak lain.


Hasil data riset dari mahasiswa menggunakan metode kuisioner

Mahasiswa menilai bahwa berbicara dengan bebas berarti mampu menyampaikan gagasan secara terbuka tanpa rasa takut, tetapi tetap dalam koridor etika dan penghormatan terhadap orang lain. Dengan demikian, kebebasan berbicara menjadi sarana untuk membangun dialog yang sehat, bukan untuk menjatuhkan atau menyerang.

Santun Berkata di Era Digital

Era digital menjadikan setiap orang memiliki panggung untuk bersuara. Media sosial memudahkan siapa pun menyampaikan opini secara instan, tetapi juga membuka peluang besar bagi munculnya perilaku tidak santun. Berdasarkan temuan penelitian, 95% responden mengaku pernah menyaksikan perilaku komunikasi tidak sopan di media sosial, seperti komentar kasar, perdebatan emosional, atau penyebaran ujaran kebencian.

Kesantunan berbicara tidak hanya diukur dari pilihan kata, tetapi juga dari sikap menghargai perbedaan, kemampuan mendengarkan, serta pengendalian emosi dalam menanggapi kritik. Mahasiswa memahami bahwa komunikasi yang santun mencerminkan kecerdasan emosional dan kematangan berpikir seseorang.

Peran Pendidikan dan Masyarakat

Hasil riset menunjukkan bahwa mahasiswa berharap lingkungan kampus menjadi tempat ideal untuk menumbuhkan budaya berbicara yang santun. Melalui kegiatan diskusi, seminar, maupun organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat belajar berpendapat secara terbuka namun tetap beretika.

Selain itu, peran dosen dan lembaga pendidikan dinilai penting dalam memberi teladan komunikasi yang bijak. Pendidikan kewarganegaraan, misalnya, tidak hanya menekankan pada teori hak dan kewajiban, tetapi juga pada praktik komunikasi yang beradab. Dalam masyarakat, pembiasaan dan edukasi literasi digital perlu diperluas agar publik memahami batas antara kebebasan berpendapat dan penyebaran kebencian.

Menumbuhkan Budaya Komunikasi yang Sehat

Budaya berbicara yang sehat berawal dari kesadaran individu. Berani berbicara tidak harus berarti keras, dan sopan tidak berarti lemah. Dengan membiasakan diri menyampaikan pendapat secara santun, seseorang turut menciptakan ruang publik yang aman, nyaman, dan produktif.

Mahasiswa sebagai generasi muda perlu menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai komunikasi beretika baik di dunia nyata maupun digital. Meningkatkan literasi digital, empati, dan keterampilan mendengarkan menjadi langkah awal untuk membangun masyarakat yang demokratis dan beradab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image