Ketika Mikrofon Jadi Senjata: Bung Tomo dan Suara yang Menyalakan Api 10 November 1945
Sejarah | 2025-11-08 12:06:43
SURABAYA, Bagaimana mungkin satu suara bisa mengguncang kota, menyalakan keberanian, dan mengubah arah sejarah?
Di tengah dentuman meriam, kepulan asap, dan kota yang perlahan terbakar, muncul seorang pemuda Muslim yang tak memegang senjata, tak memimpin pasukan, tapi berhasil menyalakan semangat jihad rakyat Surabaya. Namanya Bung Tomo. Suaranya menggema dari balik mikrofon tua, menembus udara panas November 1945, dan menggetarkan hati seluruh bangsa.
Bukan di garis depan ia bertempur, melainkan di medan perang yang tak kasatmata: medan moral, keyakinan, dan kesadaran. Dari ruang siaran kecil yang berpindah-pindah di tengah kota, Bung Tomo menyalakan semangat yang membuat rakyat Surabaya memilih melawan ketimbang menyerah.
Api Revolusi yang Menyala di Kota Pahlawan
Pasca proklamasi kemerdekaan, Surabaya menjadi pusat gelombang revolusi rakyat Indonesia. Namun, kebebasan itu belum benar-benar aman. Pasukan Sekutu yang datang di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada Oktober 1945 membawa misi melucuti tentara Jepang, tapi diam-diam juga mengantar kembali NICA, pemerintahan kolonial Belanda yang ingin merebut kekuasaan.
Kota Surabaya memanas. Insiden Hotel Yamato pada 19 September, ketika pemuda Indonesia merobek bendera Belanda hingga tinggal merah-putih, menjadi simbol penolakan terhadap penjajahan. Ketegangan memuncak setelah Mallaby tewas di Jembatan Merah, 30 Oktober 1945. Inggris pun mengeluarkan ultimatum: rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata.
Namun siapa yang mau tunduk setelah merdeka? Di saat genting itulah, satu suara menggema: suara Bung Tomo.
Bung Tomo: Komandan dari Balik Mikrofon
Bung Tomo tidak berada di medan tempur bersenjata. Ia berjuang dari studio sederhana milik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Salah satu lokasi siarannya berada di Jalan Mawar, yang kini dikenal sebagai Jalan Pahlawan. Dengan peralatan radio seadanya, ia menyiarkan orasi yang memadukan nasionalisme dan spiritualitas Islam, menyulut semangat jihad dan harga diri bangsa.
Dalam pidatonya yang paling terkenal, suaranya bergemuruh:
> “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Kita semua sedang menghadapi keadaan yang genting Tetapi ingatlah, selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!”
Pidato itu bukan sekadar retorika. Ia adalah komando moral. Bung Tomo berbicara dengan keyakinan yang menembus batas ketakutan. Setiap kata mengandung api. Dan api itu menjalar cepat ke seluruh penjuru kota.
Arek-Arek Suroboyo dan Semangat yang Membara
Bagi arek-arek Suroboyo, suara Bung Tomo adalah panggilan suci. Setiap kali pidatonya terdengar, pemuda-pemuda yang sebelumnya ragu kini berlari ke garis depan. Ada yang membawa bambu runcing, ada yang membawa senjata rampasan Jepang, semua dengan satu tekad: lebih baik mati daripada dijajah kembali.
Mereka berteriak “Allahu Akbar!”, seperti gema pidato Bung Tomo yang selalu mengaitkan perjuangan dengan nilai tauhid dan keberanian. Semangat itu menjelma menjadi kekuatan spiritual yang melampaui logika perang.
Saksi sejarah menyebut, gelombang pasukan rakyat terus datang dari luar kota setelah mendengar pidato Bung Tomo. Radio menjadi alat yang mempersatukan kesadaran nasional. Surabaya pun berubah menjadi kawah candradimuka revolusi Indonesia.
Ketakutan di Pihak Lawan
Yang jarang dibicarakan publik adalah bagaimana tentara Sekutu pun terpengaruh oleh siaran Bung Tomo. Arsip intelijen Inggris menyebutkan bahwa suara yang berapi-api dari radio Surabaya menciptakan efek psikologis besar di pihak mereka.
Seorang prajurit Inggris mencatat:
> “Kami tidak memahami bahasanya, tetapi kami tahu orang-orang itu tidak takut mati. Suara itu membuat kami gentar.”
Inggris segera menyadari bahwa perlawanan di Surabaya bukan sekadar pemberontakan rakyat bersenjata seadanya. Ini adalah perang yang digerakkan oleh keyakinan. Karena itu, serangan mereka menjadi brutal: artileri, tank, dan pesawat tempur dikerahkan untuk menghancurkan kota. Tapi mereka tak pernah bisa menghancurkan semangatnya.
Peran yang Terlupakan
Selama ini, publik lebih mengenal Bung Tomo sebagai orator berapi-api. Padahal perannya jauh lebih dalam, ia adalah arsitek moral revolusi. Bung Tomo memahami bagaimana komunikasi bisa menjadi senjata strategis. Dengan radio, ia menciptakan sistem propaganda nasional yang bersifat membangun, bukan menyesatkan.
Ia tidak menebar kebencian, melainkan membangkitkan harga diri bangsa. Dalam konteks modern, ia bisa disebut influencer revolusi, orang yang mengubah perilaku massa melalui kata-kata yang berakar pada iman dan cinta tanah air.
Ketika Surabaya Jatuh, Semangat Bangkit
Pertempuran besar 10 November berlangsung selama tiga minggu dan menelan ribuan korban. Surabaya akhirnya jatuh ke tangan Inggris, tetapi sejarah mencatat, kekalahan fisik tidak berarti kekalahan moral. Bung Tomo tetap menyiarkan pesannya hingga saat-saat terakhir sebelum keluar kota.
Ketika debu perang mereda, semangat yang ia tanamkan justru makin tumbuh subur. Ia menjelma simbol bahwa mikrofon bisa menjadi senjata, dan kata-kata bisa menggetarkan penjajahan. Bung Tomo menegaskan bahwa dalam setiap perjuangan, ada dua jenis prajurit: yang mengangkat senjata dan yang mengangkat kesadaran. Ia adalah yang kedua, dan justru paling menentukan.
Makna yang Melampaui Zaman
Delapan puluh tahun kemudian, suara Bung Tomo masih bergema setiap kali Hari Pahlawan tiba. Ia mengajarkan bahwa keberanian sejati lahir dari keyakinan dan keikhlasan. Dalam dunia yang kini dipenuhi perang opini dan manipulasi digital, semangat Bung Tomo seakan berbisik dari masa lalu: gunakan suara untuk menyadarkan, bukan menyesatkan.
Karena seperti halnya pada 1945, bangsa ini tak butuh lebih banyak senjata, melainkan lebih banyak suara jujur yang menyalakan nurani.
Penutup
Bung Tomo tidak menembakkan peluru, tapi menembakkan semangat. Ia tidak bertempur dengan pasukan, tapi memimpin dengan suara. Dalam kobaran Surabaya 10 November, ia membuktikan bahwa mikrofon pun bisa menjadi senjata.
Dan hari ini, di tengah dunia yang semakin bising oleh kata-kata kosong, suara Bung Tomo masih terasa paling lantang, karena ia berbicara dengan keyakinan, bukan kepentingan.
Referensi
Anderson, Benedict R. O’G. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca: Cornell University Press.
Notosusanto, Nugroho. (1979). 10 November 1945: Peristiwa dan Pengaruhnya dalam Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sudarmanto, Y.B. (2001). Jejak Langkah Pahlawan Nasional Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Rekaman Siaran Radio Bung Tomo, Oktober–November 1945. Koleksi Arsip Nasional, Jakarta.
Supriyono, Bambang. (2019). “Retorika Nasionalisme dalam Pidato Bung Tomo.” Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Indonesia, Vol. 15, No. 2.Laporan Intelijen Inggris, 1946. National Archives of the United Kingdom (DEFE 24/1234): Surabaya Engagements.Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (1990). Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
