Bahasa Portugis di Sekolah, Lalu bahasa Daerah ke Mana?
Kultura | 2025-11-07 14:43:01
Kebijakan pemerintah untuk memasukkan bahasa Portugis ke dalam sistem pendidikan nasional—mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi—muncul setelah pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva di Jakarta (Kompas.id, 23/10/2025). Dalam pidato kenegaraan yang hangat itu, Prabowo menegaskan pentingnya mempererat hubungan diplomatik dan kebudayaan antara Indonesia dan Brasil. Ia bahkan menempatkan bahasa Portugis sebagai salah satu bahasa asing prioritas setelah Inggris, Arab, Mandarin, Jepang, Korea, Prancis, Jerman, dan Rusia.
Di balik semangat diplomasi itu, terselip pertanyaan yang jauh lebih mendasar. Sementara satu bahasa asing ingin kita hidupkan, ke mana arah kehidupan ratusan bahasa daerah kita yang kini justru sekarat?
Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat, hingga 2024 terdapat 29 bahasa berstatus terancam punah, 8 kritis, dan 5 telah benar-benar hilang. Setiap dua pekan, satu bahasa ibu mati. Dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia bisa kehilangan sepertiga warisan linguistiknya. Ini bukan sekadar statistik linguistik, melainkan cermin dari arah kebijakan budaya yang makin jauh dari akar.
Sekolah adalah cermin paling nyata dari krisis ini. Bahasa Indonesia, Pancasila, dan Kewarganegaraan menjadi mata pelajaran wajib dengan jam panjang, sementara bahasa daerah dan kebudayaan lokal makin tersingkir ke pinggir, seolah hanya pengisi waktu luang. Bila anak-anak tak lagi berbicara dalam bahasa ibunya—di rumah, di sekolah, dan di ruang publik—maka pelan-pelan hilanglah cara berpikir, nilai moral, dan bahkan selera humor yang lahir dari bahasa itu sendiri. Seperti diingatkan banyak pakar bahasa, kehilangan bahasa berarti kehilangan cara memahami dunia.
Di Aceh, misalnya, sejumlah bahasa daerah seperti Devayan, Aneuk Jamee, dan Haloban kini hampir tak terdengar di kalangan muda. Padahal di dalamnya tersimpan pengetahuan hidup: sejarah, musik, dan puisi rakyat. Pendidikan seni di sekolah dan universitas seharusnya menjadi ruang pertama untuk merawatnya. Namun kurikulum nasional yang seragam sering kali justru menekan ekspresi lokal. Seni direduksi menjadi pelatihan teknis; bahasa ibu menjadi pelengkap administratif.
Fenomena serupa terjadi di banyak tempat: bahasa Osing di Banyuwangi, Tolaki di Sulawesi Tenggara, dan Mamuju di Sulawesi Barat kehilangan penuturnya; di Papua, anak-anak kota lebih fasih berbahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya sendiri. Di Jawa, bahasa krama—yang dulu menjadi pilar etika sosial—perlahan ditinggalkan. Semua ini berlangsung di tengah slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang sering kita ulang tanpa makna praksis yang nyata.
Pertanyaannya, perlukah menambah bahasa asing baru ketika bahasa-bahasa daerah belum mendapat ruang hidup yang layak? Mengajarkan bahasa Portugis tentu bukan kesalahan, tetapi menjadi keliru jika dilakukan tanpa kesadaran kultural. Bahasa asing kerap dipersepsikan sebagai simbol kemajuan, sedangkan bahasa daerah dianggap kuno dan tak berguna. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang fasih berbahasa global tetapi gagap terhadap konteks lokal. Dalam jangka panjang, itu berarti kehilangan identitas kebangsaan dalam bentuk paling halus: kehilangan rasa terhadap bahasa sendiri.
Karena itu, pendidikan bahasa seharusnya tidak dibangun di atas logika kompetisi bahasa, melainkan ekologi bahasa. Artinya, keberadaan satu bahasa tidak boleh mengancam yang lain. Bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah harus hidup berdampingan secara fungsional. Dari keberagaman itulah tumbuh empati, kreativitas, dan kemampuan berpikir lintas perspektif—tiga hal yang amat dibutuhkan manusia abad ini. Di dunia yang kian homogen, menjaga keragaman bukanlah romantisme masa lalu, melainkan strategi peradaban.
Revitalisasi bahasa daerah harus menjadi kebijakan nasional yang terintegrasi, bukan sekadar seremoni tahunan. Bahasa daerah mesti kembali ke kurikulum, bukan hanya sebagai “muatan lokal”, tetapi sebagai sumber pengetahuan dan ekspresi budaya. Perguruan tinggi—terutama di bidang seni, pendidikan, dan humaniora—harus diberi mandat untuk melakukan riset dan inovasi pembelajaran berbasis bahasa ibu. Pemerintah daerah pun perlu mendapat insentif atas keberhasilan menjaga vitalitas bahasa melalui pendidikan, media, dan kesenian.
Di era digital, teknologi bisa menjadi sekutu baru: aplikasi pembelajaran berbasis komunitas, dokumentasi daring, hingga festival bahasa virtual dapat menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budayanya. Namun tanpa keberpihakan kebijakan dan alokasi anggaran yang nyata, semua inisiatif itu akan berakhir menjadi proyek simbolik yang berumur pendek.
Sebab, pada akhirnya, bahasa adalah rumah bagi pikiran. Ia menyimpan cara kita memandang dunia, mengingat masa lalu, dan menulis masa depan. Sebelum kita sibuk menambah satu lagi bahasa asing ke dalam kurikulum, kita perlu memastikan bahwa bahasa-bahasa ibu di negeri ini tetap hidup—diucapkan, diajarkan, dan dihargai. Pendidikan sejati bukan sekadar menguasai bahasa dunia, melainkan menjaga bahasa jiwa: bahasa yang membuat kita tahu siapa diri kita di antara bangsa-bangsa lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
