Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Orang Biasa, Penentu Luar Biasa: Pelajaran Sosial dan Spiritual

Humaniora | 2025-09-20 23:27:37
Transportasi utama masyarakat di Kepualuan Banyak. Provinsi Aceh

Kita sering keliru menilai siapa sesungguhnya yang menentukan arah bangsa. Pandangan kita kerap terpaku pada mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang bergelar akademik tinggi, atau yang mendapat sorotan media. Namun sejarah kehidupan sehari-hari membuktikan sesuatu yang berbeda: bangsa ini bertumpu pada orang-orang yang sering kita sebut “biasa.” Petani yang menanam padi, pedagang pasar yang menggerakkan roda ekonomi, tukang ojek yang menghubungkan ruang kota, buruh yang menjaga produksi, ibu rumah tangga yang membesarkan generasi, hingga penutur bahasa daerah yang mempertahankan identitas. Dari mereka, denyut kehidupan terus berlanjut, bahkan saat sorotan lampu panggung tak pernah diarahkan pada mereka.

Al-Qur’an menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia bukanlah pangkat, harta, atau status, melainkan takwa. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini memberi penekanan bahwa nilai manusia tidak bisa diukur dengan standar duniawi yang sempit. Yang tampak sederhana, yang tampak kecil, bisa jadi jauh lebih mulia di sisi Allah karena ketulusannya menjaga kehidupan dan kebermanfaatannya bagi sesama.

Lihatlah bagaimana bahasa daerah tetap hidup. UNESCO mencatat ratusan bahasa di Indonesia kini terancam punah. Namun, siapa yang sesungguhnya masih menuturkannya? Bukan para elite yang berbicara di podium resmi, melainkan pedagang pasar yang menawar dagangan, petani di ladang yang berteriak memanggil kawan, atau keluarga sederhana yang bercakap di rumah. Dari percakapan mereka yang tampak biasa itulah warisan budaya tetap bernafas. Jika mereka berhenti, bahasa itu akan hilang, bersama dengan identitas kita.

Begitu juga dengan kuliner. Jamu yang kini diakui UNESCO tidak mungkin bertahan karena hotel berbintang atau festival pariwisata. Ia tetap hidup berkat penjual keliling yang berjalan kaki dari kampung ke kampung, meracik ramuan turun-temurun tanpa gembar-gembor. Mereka mungkin tidak dikenal media, tetapi justru merekalah yang menjaga identitas rasa kita dari kepunahan.

Dalam soal lingkungan, dunia sibuk membicarakan krisis iklim di meja perundingan global, tetapi masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik telah membuktikan sesuatu yang lebih nyata: menjaga hutan adat mereka tetap utuh puluhan tahun. Sering disebut “biasa,” mereka justru menjadi pagar hijau yang menyelamatkan kita semua. Tanpa mereka, oksigen berkurang, air mengering, dan krisis semakin dekat.

Solidaritas sosial pun sama. Gotong royong tidak hidup karena slogan, melainkan karena praktik sehari-hari: mapalus di Minahasa, ronda malam di kampung Jawa, arisan ibu-ibu di gang kecil. Semua berlangsung tanpa sorotan kamera, tetapi di situlah kekuatan bangsa berakar. Nabi Muhammad SAW mengingatkan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad). Ukuran kebaikan bukanlah status atau gelar, melainkan kebermanfaatan yang nyata.

Ironisnya, mereka yang paling menentukan keberlangsungan hidup bangsa justru sering kita reduksi menjadi angka. Mereka disederhanakan dalam tabel statistik: data penerima bantuan, garis kemiskinan, grafik pertumbuhan, atau sekadar label “lapisan bawah.” Cara pandang ini berbahaya, karena meniadakan kemanusiaan yang melekat pada diri mereka. Padahal, nilai seorang manusia tidak mungkin direduksi oleh angka semata.

Petani bukan sekadar “buruh tani” dalam survei ekonomi, melainkan guru kesabaran yang mengingatkan kita bahwa hasil terbaik lahir dari ketekunan dan kesetiaan pada proses alam. Pedagang pasar bukan sekadar “unit informal,” melainkan teladan kejujuran yang menopang kepercayaan sosial. Sopir angkot bukan sekadar “angkutan umum tradisional,” melainkan penjaga ingatan kolektif tentang seluk-beluk kota yang tak sepenuhnya tergantikan oleh peta digital.

Mengabaikan nilai itu sama saja dengan menebang tiang rumah sendiri. Kita sibuk menghitung, tetapi lupa merasakan denyut kehidupan yang mereka jaga. Jika petani ditinggalkan, kita kehilangan pangan. Jika pedagang kecil tersisih, kita kehilangan simpul interaksi sosial. Jika bahasa daerah berhenti dituturkan, kita kehilangan identitas. Dan ketika nilai itu hilang, rapuhlah fondasi bangsa.

Karena itu, urgensinya nyata: masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak seminar atau seberapa tebal laporan strategi, melainkan oleh keberlanjutan nilai-nilai orang biasa. Kita harus berhenti memperlakukan mereka hanya sebagai “obyek bantuan.” Yang lebih dibutuhkan adalah ruang interaksi, penghargaan, dan kesediaan untuk belajar dari mereka.

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Maka mari ubah cara pandang: ukuran manusia bukanlah status, melainkan manfaat. Orang biasa yang kita abaikan ternyata adalah penentu luar biasa yang menjaga agar bangsa ini tetap berdiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image