Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Jangan Korbankan Lawu untuk Keserampangan Energi Hijau

Kebijakan | 2025-11-07 13:01:09
Diskusi bersama para warga terdampak proyek geothermal di Ciremai, Dieng, dan perwakilan dari JagaLawu di Pendopo Panti ‘Aisyiyah Karanganya , Kamis, (06/11/2025). (Foto: Alfin)

Rencana pemanfaatan panas bumi di Jenawi, lereng Gunung Lawu, bukan sekadar urusan teknis energi. Ia adalah soal keselamatan ekologis, keberlanjutan ekonomi warga, dan kewarasan negara dalam merancang transisi energi. Masyarakat Solo-Raya layak menolak proyek geothermal ini bukan karena anti-kemajuan, tetapi karena bukti menunjukkan bahwa banyak proyek serupa meninggalkan kerusakan yang jauh lebih mahal daripada listrik yang dijanjikan.

Pertama-tama, mari berhenti memperlakukan geothermal sebagai energi yang suci dari risiko. Laporan CELIOS-WALHI 2024 mencatat pola berulang di banyak wilayah: pencemaran mata-air, rusaknya kesuburan tanah, hilangnya biodiversitas endemik, hingga insiden kebocoran gas beracun yang menewaskan warga. Klaim “nol emisi” pun retak. Dalam fase konstruksi dan eksplorasi, emisi gas rumah kaca PLTP bisa setara dengan PLTU batubara, sebuah fakta yang tidak pernah muncul dalam brosur investor.

Jika risiko itu terjadi di tempat lain, mengapa kita meyakini Lawu akan menjadi pengecualian?

Data lain menunjukkan pola serupa. Kajian A.M. Yanis (2019) mencatat bahwa proyek panas bumi di beberapa daerah menyebabkan pencemaran sumber air yang memengaruhi akses warga terhadap air bersih. Sementara laporan jurnalisme Project Multatuli (2021) memperlihatkan bagaimana pembangunan geothermal di Jawa Barat diikuti menurunnya hasil panen, keruhnya mata-air, dan turunnya kualitas tanah. Di Sibayak, Sumatra Utara, studi tahun 2020 menunjukkan bahwa pendapatan warga justru turun karena banjir dan gangguan lingkungan setelah eksplorasi panas bumi berjalan.

Bagi Solo-Raya, data ini seharusnya cukup menyalakan alarm. Hampir semua kebutuhan hidup seperti, irigasi, pertanian, pariwisata, dan air minum bergantung pada stabilitas hidrologis Lawu. Gangguan kecil di hulu akan menjadi bencana di hilir. Tidak ada cadangan gunung lain yang bisa menggantikan peran ekologis Lawu.

Kedua, pembangunan PLTP bukan proyek tanpa ongkos sosial-ekonomi. Dalam kajian di Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu, kerugian pendapatan petani mencapai Rp470 miliar pada tahap pembangunan. Tahun berikutnya, output ekonomi masyarakat anjlok Rp1,09 triliun, dan lebih dari 50 ribu pekerjaan hilang. Angka ini menggambarkan satu hal: proyek panas bumi seringkali menghancurkan fondasi ekonomi agraris lebih cepat daripada ia menyediakan listrik.

Ekonomi Karanganyar dan wilayah pendukung Solo-Raya bertopang pada pertanian hortikultura, sayuran dataran tinggi, kopi, teh, dan wisata alam. Apa jadinya jika debit air turun? Dalam kasus geothermal lain di Indonesia, penurunan debit mata-air bukan spekulasi, tetapi fakta.

Pada akhirnya, investor tetap mendapat profitnya. Negara mendapat klaim “energi hijau”. Warga? Kehilangan air, lahan, dan penghasilan.

Ketiga, proyek geothermal di Indonesia punya catatan panjang soal konflik sosial dan cacat partisipasi publik. IESR mencatat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, proyek panas bumi hampir selalu memicu sengketa lahan dan ketidakpuasan warga karena pendekatan yang top-down. Sosialisasi biasanya dilakukan setelah keputusan besar diambil, bukan sebelum.

Jika proses yang sama diterapkan di Jenawi, maka konflik adalah konsekuensi, bukan kemungkinan.

Kita juga tidak boleh lupa: Bank Dunia mundur dari proyek Wae Sano pada 2023 karena menilai risikonya terlalu besar bagi warga. Jika lembaga pembiayaan global yang dikenal ramah industri saja menganggap proyek geothermal berbahaya, mengapa kita mendadak begitu percaya diri?

Keempat, jalur hukum yang membuka keran eksploitasi panas bumi justru semakin memperkecil ruang hidup ekologis. UU 21/2014 menghapus status pertambangan dari panas bumi, sehingga kegiatan geothermal diperbolehkan masuk ke kawasan konservasi dan hutan lindung. Di Lawu, yang sebagian besar area hulu airnya berada di zona lindung, kebijakan ini adalah ancaman langsung.

Alih-alih memperketat perlindungan hutan, negara membuka pagar demi mengejar target megawatt. Kita belum pernah mendengar kawasan konservasi bertambah akibat transisi energi. Yang terjadi justru sebaliknya: hutan dibelah, tanah dibor, air dipertaruhkan.

Kelima, persoalan utang dan keuntungan juga tak bisa diabaikan. Banyak proyek geothermal, seperti PLTP Rantau Dedap yang dibiayai lebih dari US$540 juta oleh ADB dan JBIC, adalah proyek berbasis utang jangka panjang. Bila produksi tidak mencapai target atau terjadi kerusakan lingkungan, beban finansial tidak ditanggung investor, tetapi negara, dan akhirnya masyarakat.

Transisi energi macam apa yang membebankan risiko paling besar kepada yang paling kecil suaranya?

Karena itu, menolak geothermal di Jenawi bukanlah soal menolak teknologi. Ini soal melindungi hulu air Solo-Raya, melindungi ekonomi petani, dan melindungi masa depan kota yang bergantung pada keseimbangan ekologis pegunungan.

Jika risiko-risiko itu terjadi di wilayah lain, tidak ada jaminan bahwa Lawu akan berbeda. Bahkan, karena fungsi ekologisnya yang kritis, dampaknya bisa lebih serius.

Gunung Lawu bukan sekadar lanskap. Ia adalah sistem penopang kehidupan yang rumit, rapuh, dan tidak tergantikan. Ia menyimpan air untuk ratusan ribu orang. Ia menciptakan iklim mikro yang membuat sayuran Tawangmangu tumbuh. Ia menjadi ruang spiritual yang menjaga tradisi, budaya, dan rasa keterhubungan warga dengan alam.

Pengeboran panas bumi di Lawu berarti menempatkan seluruh struktur itu dalam perjudian teknologi yang belum pernah benar-benar aman. Dengan rekam jejak kerusakan yang terus berulang di berbagai tempat, proyek geothermal di Jenawi terlalu berisiko untuk dianggap solusi.

Solo-Raya berhak memilih masa depannya. Dan pilihan itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan gunung yang selama ini memberi tanpa meminta imbalan.

Warga pantas berkata: cukup. Karena transisi energi tidak boleh dibangun dari reruntuhan ekologisnya sendiri. Gunung Lawu harus tetap utuh, bukan sebagai monumen nostalgia, tetapi sebagai penyangga hidup yang paling nyata bagi masa kini dan generasi yang akan datang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image