Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shinta Silvia

Revolusi Hijau dan Krisis Ekologi Global

Eduaksi | 2025-11-07 11:48:24

Revolusi Hijau yang terjadi pada dekade 1960–1970-an sering dianggap sebagai salah satu keberhasilan teknologi terbesar abad ke-20. Melalui pengembangan varietas gandum dan padi berbatang pendek serta penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan irigasi, hasil panen meningkat secara drastis. Produksi pangan di negara berkembang mampu menyaingi pertumbuhan penduduk dan bahkan meningkat dua kali lipat.

Namun, di balik keberhasilan tersebut tersembunyi trade-off ekologis yang besar. Sistem monokultur yang mendominasi pertanian modern menyebabkan ketergantungan pada bahan kimia dan rentan terhadap epidemi hama serta penyakit tanaman seperti bacterial blight dan brown planthopper.

Keberhasilan awal Revolusi Hijau kemudian menghadapi tantangan baru berupa penurunan daya dukung lingkungan dan ketersediaan air. Di wilayah Punjab, misalnya, meski produktivitas gandum masih meningkat, ancaman kelangkaan air menjadi serius. Muka air tanah di beberapa distrik turun hingga 15 meter dan terus menurun 0,5 meter per tahun.

Fenomena serupa terjadi di Luzon, Jawa, dan Sonora, menandakan bahwa keberlanjutan lahan Revolusi Hijau kini terancam. Ketergantungan pada sistem intensif tanpa memperhatikan siklus ekologi telah menimbulkan krisis ekologis yang nyata.

Revolusi hijau ganda harus mendorong minat dan kemajuan sektor agraris. Sektor pertanian tak boleh dianaktirikan dan sekadar pekerjaan sampingan karena tak punya masa depan. Ilustrasi foto: Penulis

Data menunjukkan penurunan laju pertumbuhan hasil panen di banyak negara. Faktor penyebabnya tidak hanya penurunan harga sereal dan stagnasi produktivitas padi dan jagung, tetapi juga akumulasi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi pertanian jangka panjang.

Tanah kehilangan kesuburannya, air tanah menurun, dan biodiversitas di lahan pertanian berkurang drastis. Revolusi Hijau yang semula dimaksudkan untuk menjamin ketahanan pangan justru mempercepat degradasi ekologis yang mengancam sistem pangan global di masa depan.

Revolusi Hijau berhasil menurunkan harga pangan global hingga 70 persen dan membantu jutaan orang keluar dari kelaparan. Namun, keberhasilan ini tidak merata. Saat ini, sekitar 800 juta orang masih hidup dalam kelaparan kronis, dan lebih dari 150 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami kekurangan gizi.

Kelaparan tidak hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga ekologis dan kesehatan, karena malnutrisi memperlemah daya tahan tubuh terhadap penyakit dan memperburuk kondisi sosial masyarakat.

Ironisnya, keberhasilan Revolusi Hijau justru tidak menyentuh Afrika Sub-Sahara. Di kawasan ini, produksi pangan per kapita menurun akibat pertumbuhan penduduk cepat, penurunan unsur hara tanah, dan kekeringan. Hilangnya kesuburan tanah dengan laju lebih dari 60 kilogram NPK per hektar per tahun memperburuk kondisi ini.

Selama tiga dekade terakhir, hasil serealia di Afrika hanya sekitar satu ton per hektar menunjukkan stagnasi produktivitas yang ekstrem. Dampak ekologis seperti erosi, deforestasi, dan desertifikasi menjadi faktor kunci di balik keterpurukan ini.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa kelaparan di Afrika disebabkan oleh kemiskinan, bukan kekurangan pangan. Namun, pandangan ini mengabaikan realitas bahwa sebagian besar masyarakat Afrika adalah petani kecil yang bergantung pada sistem ekologis lokal. Ketika ekosistem rusak, produktivitas pertanian pun turun, menciptakan lingkaran setan antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Bantuan pangan dari negara industri tidak menyelesaikan akar masalah, malah menimbulkan ketergantungan dan menekan harga pangan lokal.

Dalam konteks inilah, pembangunan pertanian menjadi prasyarat utama bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, pertanian yang dibutuhkan bukan lagi pertanian industri yang meniru model Revolusi Hijau pertama. Diperlukan pendekatan baru yang berakar pada ilmu pengetahuan, namun juga berpihak pada keberlanjutan ekologis.

Revolusi Hijau berikutnya harus memperhitungkan keseimbangan antara produktivitas, konservasi alam, dan keadilan sosial. Konsep Doubly Green Revolution atau Revolusi Hijau Ganda menjadi solusi yang relevan. Revolusi ini menekankan pentingnya integrasi antara ilmu bioteknologi modern dan prinsip-prinsip ekologi.

Tidak seperti Revolusi Hijau pertama yang dikembangkan di lahan subur dan beririgasi baik, Revolusi Hijau Ganda harus inklusif, adaptif terhadap keragaman lingkungan, dan berkelanjutan. Tujuannya bukan hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga memperkuat daya tahan ekosistem dan kesejahteraan petani kecil.

Prinsip dasar Revolusi Hijau Ganda adalah harmoni antara sains dan alam. Ilmu ekologi modern kini memahami bahwa stabilitas dan ketahanan sistem pertanian bergantung pada keanekaragaman hayati dan keterkaitan antarspesies. Pendekatan seperti integrated pest management dan pertanian berbasis ekosistem dapat menekan penggunaan bahan kimia berbahaya sekaligus memperbaiki kesuburan tanah.

Alhasil, dengan menggabungkan bioteknologi, ekologi, dan kearifan lokal, Revolusi Hijau Ganda menawarkan visi pertanian masa depan yang produktif sekaligus ekologis, sebuah jalan menuju ketahanan pangan global yang sejati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image