Work-Life Balance sebagai Kunci Kesehatan Holistik di Era Modern
Eduaksi | 2025-11-06 20:12:26Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, konsep work-life balance menjadi semakin penting untuk diperhatikan, terutama bagi mereka yang bergerak di bidang kesehatan. Mahasiswa kesehatan, misalnya, sering dihadapkan pada beban akademik yang berat, praktik lapangan yang padat, serta tuntutan untuk selalu siap secara fisik dan mental. Kondisi tersebut sering kali menyebabkan ketidakseimbangan antara tanggung jawab akademik dan kehidupan pribadi, yang pada akhirnya dapat mengancam kesehatan holistik mereka sendiri.
Sebagai calon tenaga kesehatan, mahasiswa seharusnya menjadi contoh dalam menerapkan gaya hidup sehat. Namun, realitanya tidak sedikit yang justru mengabaikan aspek keseimbangan hidup demi mengejar prestasi akademik. Begadang menyelesaikan laporan, mengorbankan waktu makan, hingga kehilangan waktu istirahat sering dianggap sebagai bagian dari “pengorbanan” menuju profesionalisme. Padahal, perilaku tersebut bertentangan dengan prinsip kesehatan yang mereka pelajari sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi dapat meningkatkan risiko stres, gangguan tidur, dan kelelahan emosional (burnout) pada mahasiswa bidang kesehatan (Dyrbye et al., 2020). Tanpa work-life balance, mahasiswa kesehatan berisiko kehilangan motivasi belajar, empati, dan kesejahteraan psikologis.
Kesehatan holistik mencakup keseimbangan antara aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual. Bagi mahasiswa kesehatan, menjaga keseimbangan ini berarti mampu mengelola waktu dan energi agar tetap optimal dalam belajar dan beraktivitas. Pola hidup sehat—seperti tidur cukup, olahraga teratur, menjaga pola makan, serta meluangkan waktu untuk relaksasi—terbukti berperan penting dalam meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan mental (World Health Organization [WHO], 2023). Aktivitas sederhana seperti bersosialisasi, bermeditasi, atau menyalurkan hobi dapat membantu mengurangi kadar stres dan memperbaiki keseimbangan hormon yang berperan dalam kesehatan emosional.
Selain tanggung jawab individu, institusi pendidikan juga memiliki peranan besar. Kampus kesehatan seharusnya tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik, tetapi juga pada kesejahteraan mahasiswanya. Program konseling, pelatihan manajemen stres, dan kegiatan promosi kesehatan mental dapat membantu mahasiswa memahami pentingnya self-care. Menurut American Psychological Association (2022), lingkungan pendidikan yang mendukung keseimbangan hidup berpengaruh positif terhadap produktivitas, kreativitas, dan kesehatan mental peserta didik. Oleh karena itu, dosen pembimbing dan institusi pendidikan di bidang kesehatan perlu menanamkan nilai bahwa kesehatan mahasiswa merupakan bagian dari keberhasilan pembelajaran.
Di era digital dan kompetisi akademik yang semakin ketat, work-life balance bukan sekadar konsep gaya hidup, tetapi strategi kesehatan yang harus diterapkan sejak dini. Menjaga keseimbangan antara tanggung jawab akademik, kegiatan organisasi, dan waktu pribadi akan membentuk tenaga kesehatan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara emosional. Sebab, bagaimana mungkin seseorang dapat menolong kesehatan orang lain jika dirinya sendiri belum seimbang dan sehat?
Maka dari itu, mahasiswa kesehatan perlu menanamkan kesadaran bahwa merawat diri sendiri adalah bagian dari etika profesi. Work-life balance menjadi kunci agar mereka dapat tumbuh menjadi tenaga kesehatan yang profesional, manusiawi, dan berdaya tahan tinggi di tengah tekanan dunia medis yang kompleks. Dengan keseimbangan yang terjaga, kesehatan holistik bukan hanya teori dalam buku ajar, tetapi menjadi nilai yang benar-benar hidup dan diterapkan dalam keseharian.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
