Peran Hegemon Diperlukan dalam Merekonstruksi Dunia Pascakonflik
Politik | 2025-11-06 02:43:50
Setiap kali konflik berakhir, seringkali pertanyaan ini muncul "bagaimana membangun ulang kehancuran pascakonflik?" Untuk melihat bagaimana penyelesaian atau pembangunan pascakonflik, ada dua bacaan yang memberikan perspektif tentang bagaimana perdamaian dapat terjadi lewat pembangunan berkelanjutan. Mulai dari, David J. Francis (2006) lewat “Linking Peace, Security and Developmental Regionalism: Regional Economic and Security Integration in Africa” yang melihat bagaimana perdamaian, keamanan, dan pembangunan di kawasan Afrika. Dia berpendapat bahwa integrasi ekonomi dan keamanan regional lewat organisasi ECOWAS, IGAD, dan SADC bisa menciptakan suatu sinergi untuk stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pada tulisannya ada kelemahan besar yaitu kelemahan negara, kepentingan elit, dan ketergantungan pada pendekatan ad hoc dalam menangani konflik. Dia cenderung menekankan mekanisme kolektif tanpa mempertimbangkan pentingnya kepemimpinan dominan yang mampu menegakkan dan menopang institusi tersebut.
Lalu, Tom McCharty (2011) lewat “The Importance of Development in Societies Emerging from Conflict” yang menekankan pembangunan ekonomi untuk mencegah kekerasan berulang melalui pendekatan pro-poor dan conflict-sensitive. Dia mengkritik model pembangunan neoliberal yang dipakai lembaga keuangan internasional, seperti kasus El Salvador, karena cuma bisa menghasilkan negative peace. Dia menolak pendekatan ekonom Paul Collier yang lebih menekankan pertumbuhan saja, karena kalau ngejar pertumbuhan tanpa keadilan sosial, maka perdamaian tidak akan bertahan lama. Sayangnya, bagi saya, McCarthy kurang memberikan dimensi kekuasaan dan koordinasi politik yaitu siapa yang menjamin keamanan dan mengoordinasikan pembangunan dalam masyarakat yang masih rapuh.
Bagi saya, kedua tulisan ini sepakat tentang pembangunan dan keamanan itu saling terkait, tetapi mereka mengabaikan satu hal yaitu keberadaan hegemon atau aktor yang kuat. Dalam arti lain, mesti ada kapasitas politik, ekonomi, dan militer untuk menjamin stabilitas awal, mengkoordinasikan kebijakan, hingga menanggung biaya transisi menuju pembangunan.
Argumen ini berakar dari Hegemonic Stability Theory, yang menyatakan kalau sistem internasional atau bahkan di regional perlu ada satu aktor dominan yang bisa menyediakan public goods seperti keamanan, aturan perdagangan, dan koordinasi kebijakan (Keohane, 1984). Dalam konteks pascakonflik, negara yang hancur akibat perang tidak memiliki kapasitas untuk menyediakan barang publik tersebut, sehingga diperlukan hegemon yang berfungsi sebagai stabilisator. David J. Francis (2006) mengemukakan bahwa integrasi regional di Afrika menghadapi kendala karena lemahnya institusi dan negara. ECOWAS, misalnya, hanya efektif ketika Nigeria bertindak sebagai pemimpin subregional dan karena itulah menunjukkan bahwa peran hegemon diperlukan untuk memulai dan menopang kerja sama keamanan, walau Nigeria kerap dikritik karena kepentingan nasionalnya. Tapi tetap, keberhasilan awal integrasi keamanan Afrika justru memperkuat argumen bahwa hegemon adalah elemen esensial bagi regionalisme pembangunan.
Seperti juga McCarthy (2011) menyoroti pentingnya pro-poor development, tetapi mengabaikan bahwa pelaksanaan strategi tersebut memerlukan kapasitas politik yang kuat. Pada umumnya, negara pascakonflik itu rapu, birokrasinya lemah, dan gampang terpecah akibat persaingan etnis dan ideologi. Maka, tanpa adanya hegemon baik secara internal (bisa didalam negeri itu atau negara kuat di kawasannya) atau eksternal (donor dari Amerika Serikat misalnya) maka pembangunan inklusif sulit dilanjutkan. Seperti El Salvador, reformasi ekonomi pascaperang didominasi oleh lembaga keuangan internasional tanpa kepemimpinan nasional yang kuat, sehingga neoliberalisme malah memperdalam ketimpangan.
Saya mau mengambil contoh dari sejarah yaitu kasus Eropa pasca perang dunia kedua. Itu adalah bukti kuat bahwa hegemonic leadership dapat mempercepat stabilitas dan pembangunan. Amerika Serikat melalui Marshall Plan menyediakan dana, keamanan, dan kepemimpinan politik yang memungkinkan integrasi Eropa berkembang menjadi Uni Eropa (Ikenberry, 2001). Tanpa kehadiran AS, upaya pembangunan pasca perang itu gagal dilakukan akibat rendahnya kepercayaan antarnegara Eropa ditambah lemahnya kapasitas finansial mereka.
Mengutip dari riset think tank seperti Carnegie Endowment for International Peace (Acharya, 2014) dan RAND Corporation (Bensahel, 2006) menegaskan bahwa intervensi hegemonik yang terkoordinasi terlihat lebih efektif dibandingkan lewat pendekatan multilateral yang terlalu lama dalam penyusunannya dan bergantung pada konsensus. Ketiadaan hegemon justru menghasilkan kebuntuan kebijakan dan fragmentasi tanggung jawab, sebagaimana terlihat dalam intervensi regional Afrika yang sering bersifat ad hoc.
Namun perlu diingat, bahwa hegemon ini tidak selalu menghadirkan sesuatu yang positif. Seperti kehadiran AS di Jepang, Korea Selatan, dan Irak yang menunjukkan kalau dampak hegemon itu bergantung pada legitimasi hegemoni yang dipakai. Setelah Perang Dunia II, AS membangun tatanan baru di Jepang melalui reformasi konstitusional, pembangunan ekonomi, dan institusionalisasi demokrasi di bawah Komando Jenderal Douglas MacArthur, yang menjadikan Jepang negara demokratis dan sekutu stabil di Asia Timur (Ikenberry, 2001). Di Korea Selatan, AS menjadi pelindung pasca perang Korea dengan pembangunan ekonomi tetapi sayangnya stabilitas itu melupakan aspek domestiknya yaitu melupakan demokrasi, terbukti dengan adanya rezim otoriter (Rhee Syngman dan Park Chung-hee) yang didukung AS hanya karena mereka pro AS untuk membendung pengaruh komunis Korut (Cumings, 2005). Lalu, intervensi AS di Irak pada 2003 yang gagal menciptakan stabilitas karena AS lebih mementingkan pergantian rezimnya tanpa pembangunan institusional dan legitimasi lokal yang kuat (Dodge, 2012).
Maka dari itu agar sang hegemon tidak bertindak seperti yang AS lakukan di Irak atau Nigeria di Afrika, perlu transformasi agar kekuatan dominan ini menjadi kekuatan pembangun. Kunci keberhasilan ini terletak pada strategic restraint, yaitu menahan diri agar tidak eksploitatif dan fokus dalam pembangunan (Ikenberry, 2001). Dan jangan lupakan warga lokalnya yang harus ikut berperan aktif dalam proses rekonstruksi. Lalu sang hegemon ini perlu kerangka operasi atau legitimasi multilateral sehingga sang hegemon setidaknya tidak bertindak destruktif, dan disinilah seharusnya multilateral dapat hadir di sistem internasional (Keohane, 1984). Maka, institution-building, partisipasi lokal, dan legitimasi global, hegemoni dapat berubah dari simbol dominasi menjadi instrumen perdamaian jangka panjang yang diterima oleh negara tuan rumah maupun komunitas internasional.
Analisis yang diberikan Francis dan McCarthy sama-sama memberikan penegasan kalau hubungan antara pembangunan dan perdamaian itu penting, akan tetapi mengabaikan pentingnya hegemon dalam memastikan keberlanjutan pascakonflik. Kehadiran hegemon dibutuhkan karena hanya aktor dominan yang mampu menyediakan keamanan, membangun institusi, dan mengoordinasikan kebijakan di tengah lemahnya kapasitas negara setelah perang. Tetapi ini bukan tanpa celah, pengalaman sejarah memperlihatkan ada 3 hasil dari peran hegemon yaitu Jepang, Korea, dan Irak. Hegemoni akan berdampak positif jika dijalankan dengan menahan diri, membangun institusi yang mandiri, melibatkan partisipasi masyarakat lokal, serta mendapatkan legitimasi internasional. Pendekatan semacam ini membuat hegemon tidak sekadar menjadi penguasa, tetapi mitra pembangunan yang menegakkan perdamaian jangka panjang. Dengan begitu, hegemoni dapat berubah dari simbol dominasi menjadi kekuatan yang membangun stabilitas dan kesejahteraan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Acharya, A. (2014). The end of American world order. Polity Press.
Bensahel, N. (2006). Post-conflict reconstruction in Iraq: Lessons learned and unmet expectations. RAND Corporation.
Cumings, B. (2005). Korea’s place in the sun: A modern history (Updated ed.). W. W. Norton.
Dodge, T. (2012). Iraq: From war to a new authoritarianism. Routledge.
Francis, D. J. (2006). Linking peace, security and developmental regionalism: Regional economic and security integration in Africa. Journal of Peacebuilding & Development, 2(3), 7–19.
Gilpin, R. (1987). The political economy of international relations. Princeton University Press.
Ikenberry, G. J. (2001). After victory: Institutions, strategic restraint, and the rebuilding of order after major wars. Princeton University Press.
Keohane, R. O. (1984). After hegemony: Cooperation and discord in the world political economy. Princeton University Press.
McCarthy, T. (2011). The importance of development in societies emerging from conflict
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
