Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Valencio Valen

Whoosh dan Dilema Ekuitas Nasional: Mengukur Risiko Jawa-Sentrisme

Info Terkini | 2025-11-05 22:37:36
Presiden Prabowo Subianto saat menjajal kereta rel listrik (KRL) commuter line Jabodetabek usai peresmian Stasiun Tanah Abang Baru di Cideng, Gambir, Jakarta Pusat

Pernyataan jaminan utang Whoosh oleh Presiden Prabowo Subianto telah mengalihkan diskursus dari sekadar kemampuan fiskal menjadi pertanyaan mendasar mengenai filosofi dan ekuitas pembangunan Indonesia. Di saat negara giat mendorong Indonesia Sentris melalui pemindahan ibu kota, investasi infrastruktur raksasa yang terkonsentrasi di Pulau Jawa—yang ditanggung oleh dana nasional—menghadirkan dilema: Apakah proyek berkecepatan tinggi ini memperkuat kohesi nasional atau justru memperparah disparitas regional?

Eksaserbasi Ketimpangan Spasial

Dalam kerangka Geografi Ekonomi, proyek infrastruktur besar di wilayah yang sudah maju (core region) cenderung memicu efek eksaserbasi (memperburuk) ketimpangan spasial, kecuali diimbangi kebijakan korektif yang masif. Whoosh menghubungkan dua klaster ekonomi terbesar (Jakarta dan Bandung). Analisis risiko menunjukkan bahwa kecepatan tinggi tersebut justru berpotensi meningkatkan sentripetalisme—daya tarik investasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang semakin kuat ke pusat, khususnya Jakarta.

Bagi daerah seperti Madura dan kawasan di luar Jawa, investasi Whoosh yang didanai secara nasional terasa seperti alokasi sumber daya langka yang tidak proporsional. Modal yang dialokasikan untuk menjamin utang Whoosh dapat disetarakan dengan kebutuhan krusial pembangunan infrastruktur dasar di wilayah timur atau konektivitas antar-pulau. Dengan demikian, jaminan fiskal negara terhadap Whoosh secara implisit mengirimkan sinyal prioritas yang bertentangan dengan semangat pemerataan.

Dampak Sosiologis dan Tata Ruang

Dampak Whoosh melampaui angka ekonomi. Secara sosiologis, kemudahan akses ke pusat-pusat megapolitan mengubah pola mobilitas, konsumsi, dan tata ruang.

  1. Urbanisasi Sentripetal: Whoosh mempermudah migrasi sirkuler atau komuter harian. Kota-kota penyangga di koridor tersebut mungkin mengalami pertumbuhan, tetapi seringkali berupa pertumbuhan tanpa pengembangan kapasitas lokal (sekadar tempat tinggal, bukan pusat produksi).
  2. Kesenjangan Akses: Proyek ini berpotensi meningkatkan nilai tanah (land value uplift) secara signifikan di sekitar stasiun pemberhentian. Namun, manfaat ini hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal atau investor. Penduduk lokal yang tidak mampu mengakses atau memanfaatkan peningkatan nilai ini berisiko terpinggirkan dari manfaat pembangunan (displacement).

Mengikat Jaminan Fiskal dengan Kebijakan Ekuitas

Tanggung jawab fiskal yang dicanangkan Presiden harus diikat secara ketat dengan tanggung jawab ekuitas dan sosiologis. Jika utang Whoosh harus ditanggung oleh seluruh rakyat, maka manfaatnya harus diupayakan untuk mengalir secara nasional, bukan berhenti di Jawa.

Pemerintah perlu memastikan bahwa jaminan utang ini tidak menciptakan moral hazard di kalangan BUMN pelaksana (seperti yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya) dan tidak menciptakan political hazard berupa pengabaian pembangunan di luar Jawa.

Langkah Mitigasi Konkret:

  • Audit Sosial Ekonomi Komprehensif: Menghitung tidak hanya financial return, tetapi juga social return Whoosh di luar koridor Jakarta-Bandung.
  • Dana Kompensasi Regional: Mengalokasikan persentase tetap dari toll revenue Whoosh sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) Infrastruktur untuk konektivitas maritim dan darat di luar Jawa. Ini memastikan ada trade-off yang jelas antara investasi Jawa dan penguatan regional.

Pernyataan "saya tanggung jawab" adalah simbol keberanian politik. Namun, dalam konteks pembangunan nasional, tanggung jawab sejati adalah mewujudkan infrastruktur yang secara adil memperluas capabilities seluruh warga negara, dari Sabang hingga Merauke, termasuk warga di Madura. Tanpa koreksi kebijakan yang tegas, Whoosh berisiko dikenang sebagai simbol kemajuan teknologi yang menguatkan pusat, tetapi melemahkan semangat pemerataan.

Penulis : Valencio Agung Bhuono, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image