Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shinta Silvia

Perubahan Iklim, Keanekaragaman Hayati, dan Krisis Ekologis Abad ke-21

Eduaksi | 2025-11-05 17:58:57

Dunia kini semakin menyadari bahwa peningkatan gas rumah kaca di atmosfer seperti karbon dioksida akibat pembakaran bahan bakar fosil telah menyebabkan perubahan iklim yang berskala regional dan global. Hal ini ditegaskan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001, laporan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat, serta pernyataan bersama akademi ilmu pengetahuan dari negara-negara G8, termasuk Cina, India, dan Brasil. Mereka menyerukan langkah-langkah efektif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan dan berkelanjutan, sembari memperingatkan bahwa penundaan aksi hanya akan meningkatkan risiko kerusakan lingkungan dan biaya ekonomi di masa depan.Perubahan ikl

Perubahan iklim membutuhkan kebijakan ekologis yang tepat untuk menyelematkan peradaban dan alam. Ilustrasi foto: www.pexels.com

Pemanasan global akibat peningkatan gas rumah kaca memiliki efek jangka panjang yang sering kali sulit dipahami secara intuitif. Molekul karbon dioksida, setelah dilepaskan ke atmosfer, dapat bertahan hingga satu abad. Sementara itu, proses penyesuaian lautan terhadap peningkatan suhu global membutuhkan waktu beberapa abad. Jika tren saat ini berlanjut, kadar karbon dioksida akan melebihi 500 ppm pada tahun 2050 hampir dua kali lipat dari tingkat pra-industri. Terakhir kali kadar ini terjadi adalah 20–40 juta tahun yang lalu, ketika permukaan laut berada 100 meter lebih tinggi dari sekarang.

Banyak orang sulit memahami betapa seriusnya kenaikan suhu rata-rata global sebesar 0,7°C selama abad terakhir. Laporan IPCC (2001) memproyeksikan kenaikan suhu global antara 1,4–5,8°C pada akhir abad ini. Meskipun angka tersebut tampak kecil dibanding fluktuasi suhu harian, perbedaan rata-rata global yang berkelanjutan dapat membawa konsekuensi besar mengingat perbedaan suhu global antara era sekarang dan zaman es terakhir hanya sekitar 5°C.

Masih terdapat banyak ketidakpastian terkait detail proses perubahan iklim, khususnya mengenai skala waktu dari proses nonlinier seperti pencairan es kutub dan pelepasan metana dari permafrost. Ketika es di kutub mencair, daya pantul permukaan bumi berkurang dan mempercepat pemanasan global. Selain itu, mencairnya es di Greenland dan meningkatnya curah hujan di Atlantik Utara mengurangi salinitas air laut, sehingga memperlambat sirkulasi arus laut seperti Gulf Stream. Perubahan ini, jika berlanjut, dapat mengubah pola iklim global secara drastis dalam hitungan dekade.

Dampak perubahan iklim terhadap manusia kini semakin terasa, terutama melalui gelombang panas ekstrem yang menyebabkan ribuan kematian setiap tahun. Laporan Royal Society menunjukkan bahwa Afrika adalah wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim masa depan, dengan kekeringan di Sub-Sahara yang diyakini berhubungan dengan pemanasan Samudra Hindia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat dampak antropogenik perubahan iklim, angka yang sering kali diabaikan karena sifatnya yang tersebar dan tidak langsung.

Iklim merupakan faktor lingkungan paling mendasar yang memengaruhi kehidupan di bumi. Perubahan iklim karenanya menimbulkan pertanyaan besar bagi para ekolog dan ahli evolusi, bagaimana iklim menentukan keragaman spesies saat ini, sejauh mana perubahan iklim akan memaksa spesies untuk bermigrasi, dan apakah dunia sedang menuju kepunahan massal baru. Pemahaman mengenai hubungan antara iklim, spesies, dan ekosistem menjadi kunci dalam memprediksi masa depan keanekaragaman hayati di abad ke-21.

Selain iklim, perubahan tata guna lahan juga berperan besar terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Konversi lahan menjadi area pertanian atau perkotaan telah meningkatkan laju kepunahan hingga seribu kali lipat dibanding tingkat alami. Interaksi antara perubahan iklim dan perubahan lahan berpotensi mempercepat kepunahan, terutama karena fragmentasi habitat membatasi kemampuan spesies untuk beradaptasi atau bermigrasi. Studi di Inggris dan Kanada menunjukkan bahwa spesies kupu-kupu gagal mengikuti pergeseran iklim akibat keterbatasan habitat yang sesuai, sementara spesies yang bergantung pada habitat tertentu mengalami penurunan lebih tajam dibanding spesies generalis (May & McLean, 2007).

Alhasil, perubahan iklim dan degradasi lingkungan semakin relevan hari ini dan terkait dengan ancaman serius tidak hanya bagi spesies liar, tetapi juga bagi stabilitas sistem ekologi yang menopang kehidupan manusia. Gangguan terhadap interaksi ekologis dapat merusak layanan ekosistem seperti penyediaan pangan, air bersih, dan regulasi iklim. Penerapan kebijakan ekologis dan prinsip kehati-hatian menjadi sangat mendesak. Upaya konservasi tidak boleh hanya bergantung pada kawasan lindung, tetapi juga perlu diperluas ke lanskap yang didominasi aktivitas manusia melalui restorasi dan pengelolaan habitat berkelanjutan. Langkah-langkah ini bukan sekadar tindakan ekologis, tetapi investasi terhadap keberlanjutan peradaban manusia itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image