Teori Relativitas, Dilatasi Waktu, dan Perjalanan ke Sidratul Muntaha
Agama | 2025-11-05 06:43:35Albert Einstein, selaku pencetus teori relativitas pernah berkata pada penjelasan dalam postulat rumusnya, “Dilatasi waktu terjadi sebagai pemuluran waktu yang menjadi lebih besar. Jika ada dua pengamat yang bergerak relatif terhadap satu sama lain dengan kecepatan berbeda, maka waktu yang berlalu di keduanya akan berbeda.” Atau bisa juga kita paparkan begini, jika ada sebuah benda berjalan melampaui kecepatan (v) cahaya (c), maka waktu (t) di salah satu pengamat akan memiliki selisih (lebih lambat) lebih besar. Waktu yang seolah memulur inilah yang dinamakan ‘dilatasi waktu’.
Tak bisa dimungkiri, dulu para ilmuwan telah menetapkan jika, ‘waktu itu adalah absolut, mutlak, tetap’, pernyataan ini telah dikemukakan oleh Issac Newton. Bertahun-tahun lamanya pemahanan ini telah dipercaya banyak orang, tetapi kemudian dipatahkan oleh seorang ilmuwan Fisika kebangsaan Jerman, Albert Einstein. Segala hal di alam semesta ini telah ia teliti dan ia bisa berkata bahwa ‘waktu selalu bersifat relatif jika dilihat dari kerangka acuan yang berbeda’. Sebuah teori baru yang kala itu tentu saja banyak menimbulkan pertanyaan berkelanjutan.
Namun, bukan Einstein namanya jika ia tidak bisa membuktikan kepada dunia apa yang ia percayai. Dalam rumus relativitas yang menyorot tentang penjelasan ‘dilatasi waktu’, Einstein menuliskan jika t’=t/(√1-v²/c²) di mana t adalah waktu yang diamati, v adalah kecepatan benda, dan c adalah kecepatan cahaya di ruang hampa yang selalu konstan dan tak terpengaruh apa pun, besarnya 299.792.458 m/s (atau banyak yang menulis 300.000.000 m/s). Dan t’ adalah waktu yang memulur tersebut. Pemuluran waktu ini dilihat dari kerangka acuan yang berbeda.
Misal ada dua orang A dan B melakukan sebuah penelitian dan sepakat B melakukan sebuah perjalanan dari bumi ke angkasa. A acuan diam di bumi. B melakukan perjalanan ke angkasa menggunakan pesawat dengan kecepatan konstan hampir menyamai kecepatan cahaya. Maka sekembalinya B ke bumi, A akan menganggap B telah melakukan perjalanan lebih lama dari waktu di tempat A.
Kita bisa memasukkan angka contoh dengan menggunakan rumus di atas tersebut. Contoh dua orang A dan B. Misal, B melakukan perjalanan ke luar angkasa selama 12 tahun dengan kecepatan 0,8c. Maka jika angka itu dimasukkan rumus, hasil t’ adalah 20 tahun. Di A waktu baru berlalu 12 tahun menurut acuan si B, tetapi menurut sudut pandang A di bumi, B telah melakukan perjalanan selama 20 tahun. Maka A di bumi akan terlihat lebih tua 8 tahun dari B. Begitu seterusnya. Semakin besar kecepatan benda melampaui kecepatan cahaya (c), maka hasil t’ akan semakin besar. Yang artinya, sesuai dengan postulat di awal, waktu yang berlalu di antara keduanya akan selisih lebih besar.
Jika penjelasan di atas terlalu rumit, secara sederhana, hal lain tentang penjelasan jika waktu bersifat relatif adalah, ketika kita liburan di pantai misalnya, dan hati kita senang, waktu seolah berjalan begitu cepat. “Duh, sudah sore saja ya? Perasaan baru saja sampai.” Namun, ketika kita sedang bekerja di kantor dengan tugas menumpuk, atau kita sedang belajar ilmu berat di kelas, jarum jam seakan melambat. Cenderung tak bergerak dan waktu tak usai-usai. Kerangka acuan ini pula yang membuat Eintein menemukan teori relativitasnya. Tergantung dari sudut pandang mana waktu dilihat.
Lantas, dengan dua hal yang saya sebutkan di atas, teori relativitas dan dilatasi waktu, apa hubungannya dengan sebuah perjalanan ke Sidratul Muntaha?
Sebagai seorang muslim, kita wajib percaya bahwa nabi Muhammad SAW menerima sebuah perintah tentang salat 5 waktu dengan langsung bertemu Tuhannya, tanpa turun ayat dahulu. Beliau melakukan perjalanan naik buraq dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, atau langit lapis tujuh demi menerima wahyu ini. Di sana ia bertemu dengan para nabi-nabi terdahulu yang telah meninggalkan dunia. Dilatasi waktu ini juga bisa kita kaitkan dengan cuplikan ayat “Sesunggunya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. Al-Hajj:47) yang artinya, seolah ada selisih waktu antara di bumi dan angkasa sana yang kita tidak akan tahu di mana letak tempat itu.
Kembali lagi dengan apa yang Einstein tuliskan jika sebuah benda bergerak melampaui kecepatan cahaya (c), maka waktu akan memulur (t’). Dari sini kita bisa mengira, berapa kira-kira kecepatan nabi Muhammad SAW ketika melakukan perjalanan naik ke Sidratul Muntaha? Hingga waktu mengalami dilatasi, terasa lama menurut acuan di bumi, tetapi waktu berjalan lebih cepat di sana, seolah kembali ke masa lampau dan ia bisa bertemu nabi-nabi terdahulu? Tentang kisah perjalanan nabi Muhammad SAW ini seolah tak bisa dijangkau akal manusia untuk menjelaskannya.
Bahkan, Prof. Agus Purwanto, seorang pakar tata surya pernah memberikan keterangan jika perjalanan nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha tak akan pernah bisa dijelaskan dengan logika. Sebab, jika sebuah benda berjalan melebihi kecepatan cahaya, maka benda tersebut akan meledak di udara. Hanya benda tak bermassa yang bisa bergerak melampaui kecepatan cahaya. Banyak para ilmuwan masih menghubungkan peristiwa ini dengan teori relativitas. Dengan analisis beliau terkait jarak tempuh milyaran kilometer, waktu ke atas langit tujuh pergi pulang yang hanya 8 jam, jika masih menggunakan kalkulasi tersebut, maka nabi Muhammad SAW belum keluar dari sistem tata surya. Biarlah ini menjadi sebuah rahasia semesta yang bisa menambah iman kita.
Hal lain yang bisa kita kaji dari kejadian di atas adalah, jika perintah ibadah lain semisal zakat atau haji hanya turun ayat, perintah salat ini benar-benar harus bertemu langsung dengan pencipta semesta. Dari sini saja kita seharusnya sudah paham, begitu esensial sekali ibadah salat dibanding ibadah yang lain. Paling utama, tak bisa diganggu gugat dengan banyak alasan.
Lalu, kenapa terkadang kita seolah gampang sekali (sengaja) meninggalkan salat dan tak berusaha tepat waktu jika azan telah berkumandang? Padahal dari penjelasan dilatasi waktu dan kaitannya dengan perjalanan nabi di atas, kita sudah banyak mengambil pelajaran.
Maka, adalah benar jika bisa kita katakan bersama-sama, hal paling ringan di dunia ini bukanlah kapas, bukan biji sawi. Hal paling ringan di dunia ini dan seolah kita merasa tak terjadi apa-apa setelahnya adalah ‘meninggalkan salat’.
Biodata Penulis:
Dody Widianto lahir di Surabaya. Saat ini bekerja dan menetap di Purworejo, Jawa Tengah. Ratusan karyanya tersiar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara NTB, Rakyat Sultra, Pontianak Post, Singgalang, Haluan, dll. Silakan berkunjung ke akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
