Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Evelyn Hudoyo

Fenomena FOMO di Era Digital

Lain-Lain | 2025-11-04 21:47:32

Saat ini, kita sedang hidup di zaman dimana setiap detik informasi akan mengalir tanpa henti. Media sosial membuat dunia terasa dekat, tetapi sekaligus menimbulkan jarak baru dalam kehidupan kita sendiri. Dalam derasnya arus digitalisasi, muncul fenomena psikologis yang saat ini semakin sering dibicarakan, terutama pada kalangan ‘Gen Z’, yaitu FOMO, atau Fear of Missing Out, merupakan suatu sikap seseorang yang merasa takut tertinggal dari pengalaman, tren, atau informasi yang sedang ramai dibicarakan.

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.studysmarter.co.uk%2Fmagazine%2Ffomo%2F&psig=AOvVaw3OZt4dOIHIi8V07pitJO6t&ust=1762353900971000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBcQjRxqFwoTCPiU4ITe2JADFQAAAAAdAAAAABAE

Fenomena FOMO ini mencerminkan paradoks kehidupan modern. Di satu sisi, manusia semakin mudah terhubung. Kita bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh teman kita, artis, atau bahkan orang asing di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Namun di sisi lain, hubungan itu justru menciptakan tekanan sosial yang halus tapi nyata, yaitu suatu dorongan untuk selalu ikut serta, tahu, dan terlihat “ada”. Saat orang lain tampak menikmati hidupnya, kita malah merasa hidup kita kurang menarik. Saat orang lain mengunggah pencapaian, kita malah merasa tertinggal.

FOMO tidak hanya tentang kecemasan kehilangan momen, tapi juga tentang identitas diri di dunia digital. Media sosial menjadi cermin baru yang tidak selalu jujur, dimana seseorang tidak benar-benar mencerminkan kebenaran dirinya di media sosial. Kita melihat kehidupan orang lain dalam potongan gambar terbaik; senyum, liburan, dan pencapaian yang diperoleh tanpa melihat perjuangan di baliknya. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam perbandingan sosial yang melelahkan. Rasa puas terhadap kehidupan sendiri lalu perlahan terkikis oleh ilusi kebahagiaan orang lain.

Dalam kalangan mahasiswa dan generasi muda, FOMO memiliki dampak yang signifikan. Banyak anak muda merasa harus hadir di setiap acara, mencoba setiap hal baru, dan selalu aktif di media sosial agar tidak dianggap ketinggalan zaman. FOMO kemudian mendorong munculnya gaya hidup yang serba cepat dan konsumtif. Sering ditemukan, seseorang membeli barang bukan karena butuh, tetapi karena takut dianggap tidak mengikuti tren. Parahnya, hubungan sosial justru menjadi dangkal karena orientasinya yang bergeser; bukan pada kebersamaan, tetapi pada pencitraan.

Namun, kita tidak bisa menghindari bahwa ternyata FOMO juga memiliki sisi positif. Dalam konteks tertentu, rasa ingin tahu terhadap hal-hal baru justru bisa mendorong seseorang untuk berkembang dan memperluas wawasannya. Masalah akan muncul ketika keinginan seseorang itu berubah menjadi ketakutan. Ketika seseorang tidak lagi menikmati hidupnya sendiri karena sibuk mengamati kehidupan orang lain, di situlah FOMO akan menjadi jebakan.

Fenomena ini menuntut kesadaran baru, dimana kita perlu bijak dalam menempatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai pusat kehidupan. Media sosial yang semestinya menjadi ruang berbagi, bukan malah menjadi arena pembandingan. Langkah sederhana seperti membatasi waktu penggunaan ponsel, menonaktifkan notifikasi, atau berhenti sejenak dari dunia maya, bisa menjadi bentuk perlawanan kecil terhadap tekanan digital yang tidak terlihat.

Selain itu, penting bagi lembaga pendidikan dan media untuk menumbuhkan literasi digital dan kesehatan mental digital. Mahasiswa dan generasi muda perlu diajak untuk memahami bahwa kehidupan di media sosial tidak selalu merefleksikan kenyataan. FOMO, suatu gejala zaman yang tak bisa kita hindari sepenuhnya, namun harus bisa kita kendalikan. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan eksistensi ini, harus diingat bahwa kita tidak harus selalu hadir di setiap tempat, mengetahui setiap hal, atau mengikuti setiap tren untuk terasa berharga. Karena hidup yang bermakna bukan tentang seberapa sering kita terlihat, melainkan seberapa dalam kita benar-benar hadir dalam kehidupan kita sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image