Dari Parade Budaya ke Parade Suara: Ke Mana Arah Karnaval Budaya?
Culture | 2025-11-04 21:10:26
Oleh: Bunga Maulidya
Setiap tahun, di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, jalan-jalan dipenuhi dengan karnaval budaya. Di masa lalu, yang kita lihat adalah parade tradisional: penari mengenakan kostum tradisional, iringan gamelan, dan kereta hias yang kaya akan motif etnis. Hari ini, di beberapa lokasi, pemandangan telah berubah. Kendaraan yang dimodifikasi dengan sistem suara besar berbaris, dentuman musik kontemporer menggema lebih keras daripada gamelan, dan penonton berkumpul bukan untuk menonton tarian lokal, melainkan untuk “merasakan bass.”
Fenomena ini menunjukkan perubahan yang menarik namun mengkhawatirkan. Dari parade budaya menjadi parade suara, dari arena ekspresi tradisional menjadi ruang hiburan modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan: ke arah mana karnaval budaya kita berkembang?
Karnaval sebagai Cermin Zaman
Secara dasar, karnaval adalah bentuk perayaan sosial. Ia mencerminkan bagaimana suatu komunitas memandang dirinya sendiri dan mengekspresikan identitasnya. Dalam konteks Indonesia, karnaval budaya muncul dari semangat pelestarian: cara untuk menampilkan tradisi yang biasanya terbatas pada ruang ritual ke ruang publik.
Namun, seiring waktu, terutama dengan pengaruh kuat budaya populer dan teknologi digital, ekspresi-ekspresi ini juga berubah. Generasi muda tidak lagi tertarik pada ritual formal, tetapi pada hiburan yang cepat, visual, dan berisik.Oleh karena itu, parade sound muncul bukan sebagai pengganti budaya tradisional, melainkan sebagai simbol generasi baru yang ingin tampil dan bersuara sesuai cara
Antara Inovasi dan Kehilangan Arah
Sebagai acara budaya, karnaval seharusnya menjadi tempat untuk merenungkan identitas dan solidaritas sosial. Namun, di beberapa tempat, karnaval telah berubah menjadi sekadar pesta suara dan kompetisi antar komunitas audio. Kendaraan berkompetisi bukan karena makna simbolisnya, tetapi karena daya watt dan volume suaranya.
Tentu saja, inovasi atau hiburan bukanlah hal yang salah. Budaya yang hidup harus beradaptasi. Namun, masalah muncul ketika nilai-nilai tradisional sepenuhnya diabaikan. Ketika karnaval tidak lagi menceritakan kisah tentang siapa kita, tetapi hanya meniru hiburan global tanpa konteks lokal, kehilangan makna menjadi tak terhindarkan.
Menemukan Titik Temu
Parade budaya dan parade suara tidak harus saling bertentangan. Keduanya dapat berdampingan dalam kerangka yang sama: perayaan identitas. Yang dibutuhkan adalah manajemen dan kesadaran. Pemerintah lokal, kurator budaya, dan komunitas kreatif dapat merancang format karnaval yang inklusif satu yang memberikan ruang untuk ekspresi modern tanpa meninggalkan akar tradisional.
Bayangkan sebuah karnaval yang menampilkan kolaborasi antara musik tradisional dan set DJ, antara penari lokal dan pemetaan visual modern. Dengan cara ini, karnaval bukan hanya perayaan suara, tetapi juga arena dialog antar generasi.
Budaya Lebih dari Sekadar Hiburan
Pada akhirnya, karnaval budaya harus kembali ke esensinya: perayaan yang mencerminkan identitas komunitas. Suara bising, lampu berwarna-warni, dan bahkan kendaraan yang dimodifikasi dapat diterima, asalkan masih ada pesan budaya di baliknya.
Karnaval bukan hanya tentang kegembiraan di jalanan, tetapi tentang bagaimana kita memahami arah perjalanan budaya kita sendiri. Jika semuanya berubah menjadi parade suara yang tak bermakna, maka kita berisiko kehilangan esensinya: bahwa budaya tidak dimaksudkan untuk membisukan telinga, tetapi untuk menyentuh kesadaran.
Debat antara parade budaya dan parade suara bukanlah tentang memilih antara masa lalu dan masa kini, tetapi tentang menjaga keseimbangan. Budaya tidak boleh statis, tetapi juga tidak boleh terbawa oleh euforia yang melupakan asal-usulnya.
Karnaval akan selalu menjadi cermin zaman. Pertanyaannya adalah, apakah kita ingin melihat refleksi budaya yang mendalam atau hanya gema dari suara yang tidak bermakna?
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Perbankan dan Keuangan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
