Murottal dari Trotoar: Potret Kemiskinan dan Agama di Depan Stasiun Bogor
Rembuk | 2025-11-02 18:30:58
Malam di Bogor selalu punya cara sendiri untuk menghidupkan kenangan. Langitnya tidak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu kota membuat malam justru tampak seperti senja yang enggan pergi.
Sudah hampir sepuluh hari aku kembali ke kota ini, setelah sidang skripsi di kampusku (Solo) menandai sebuah babak yang tertutup. Hidupku sedang berada di antara dua kota, dua ritme, dua ruang yang masing-masing menyimpan langkahku dengan cara berbeda.
Dan di antara semua itu, perjalanan dengan commuter line dari Bekasi (1/11) dan Citayam (25/10) menjadi semacam garis tipis yang menghubungkan dua kehidupan itu. Bogor tempatku dibesarkan, dan Solo tempat aku belajar tumbuh.
Stasiun Bogor selalu memberi sambutan yang kukenal baik, hiruk-pikuk yang rapi, bau besi dan rem kereta yang menempel di udara, serta arus manusia yang bergerak cepat seakan mengikuti ritme tunggal yang sudah disepakati tanpa perlu bicara. Di siang hari, stasiun ini seperti pintu gerbang menuju alun-alun baru Bogor yang bersih, rapi, dan penuh keluarga yang datang untuk sekadar duduk atau membeli cilok dari pedagang kaki lima.
Namun, malam menciptakan cerita yang berbeda.
Ketika kereta berhenti dan pintunya membuka diri pada peron yang basah bekas hujan, orang-orang keluar berkelompok, tapi masing-masing membawa dunia mereka sendiri. Aku pun berjalan dengan langkah yang hafal jalan pulang, namun kali ini ada sesuatu yang mengubah cara pandangku.
Mungkin karena beberapa hari ini pikiranku memang sedang sensitif, atau mungkin karena kota yang lama kutinggalkan kini menunjukkan wajah lain yang sebelumnya tak terlalu kuperhatikan.
Keluar dari pintu stasiun, alun-alun menyambutku dengan keriangan khas malam: pedagang balon dengan lampu LED berkedip, bocah kecil yang memutar-mutar kipas menyala sambil berlari, suara pedagang jajanan yang menawarkan dagangannya, dan musik jalanan yang kadang sumbang, kadang indah, tapi selalu membuat suasana menjadi lebih hidup.
Lalu-lalang orang tak pernah putus. Sebagian mengejar jam keberangkatan kereta, sebagian menuju trotoar pinggir jalan raya untuk menaiki angkot, sebagian hanya ingin duduk memandangi kota. Namun di antara keramaian itu, ada sesuatu yang menusuk atmosfer, menciptakan kontras yang begitu tajam.
Seorang ibu tua duduk sedikit membungkuk di trotoar tak jauh dari pintu keluar stasiun. Ia memakai kerudung lusuh berwarna hitam dengan penutup lagi di atasnya seperti nurse cap berwarna hijau. Di hadapannya, sebuah kaleng bekas cat kecil diletakkan. Fungsinya jelas: tempat orang meletakkan uang.
Di genggamannya, ia memegang sebuah mushaf Al-Quran berwarna hijau. Di sebelahnya, sebuah speaker kecil memutar murottal dengan volume sedang, cukup untuk terdengar oleh orang yang lewat, tapi tidak cukup keras untuk menenggelamkan suara motor, tawa bocah, atau tukang ojek yang menawarkan jasanya.
Aku tidak melihat yang seperti ini saat siang hari. Kemungkinan ia hanya datang saat malam turun. Ketika orang-orang pulang kerja, ketika hati sedang lelah, ketika belas kasihan lebih mudah muncul, atau ketika pandangan orang lebih kabur untuk menilai.
Aku melihatnya dua kali dalam dua kesempatan berbeda. Dua-duanya menciptakan rasa yang sama: semacam pilu yang tidak langsung kelihatan, seperti rasa getir yang muncul perlahan setelah meneguk air rebusan daun sambiloto.
Dalam dunia jurnalistik, aku sering diminta untuk mengamati, mencatat, menjaga jarak. Tapi malam itu, jarak itu hilang dengan sendirinya. Ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu cepat, bertumpuk sebelum sempat kupilah.
Mengapa ia harus berada di sana? Mengapa seorang perempuan setua itu harus duduk di jalan, menggantungkan harap pada uang receh dari orang-orang asing? Kemana keluarganya? Apakah ia punya rumah? Apakah ada seseorang yang menunggunya pulang? Atau justru tidak ada siapa pun?
Dan pertanyaan yang tak kalah mengusik: mengapa ia mengemis dengan membawa Al-Quran dan memutar murottal? Apakah itu cara untuk menegaskan identitas? Atau strategi untuk menarik simpati? Atau itu satu-satunya hal yang ia percaya masih bisa memberinya sedikit harapan?
Aku tidak sedang menghakimi. Aku hanya bingung. Dan kebingungan itu menimbulkan rasa miris yang lebih besar.
Melihat ibu itu, aku juga mendadak teringat pada para tokoh agama yang sering berbicara tentang kemiskinan. Tentang kepedulian sosial. Tentang kewajiban menolong sesama. Tentang pentingnya zakat dan sedekah. Kata-kata itu sering begitu lantang terdengar dari mimbar, forum kajian, atau kanal YouTube.
Tapi mengapa di hadapan fenomena seterang lampu jalan ini, mereka seakan tak hadir?
Lalu ada pertanyaan yang lebih besar, lebih struktural, lebih membuat napas terasa berat: kenapa pemerintah membiarkan ini menjadi biasa? Kenapa kota, dengan seluruh anggarannya, dengan seluruh jaring kebijakannya, gagal menangkap orang-orang seperti ibu itu?
Aku berjalan pelan ke arah Halte Bappeda. Suara riuh alun-alun sudah mulai menghilang, namun gambarannya justru semakin jelas di kepala. Bogor yang kuhafal sejak kecil ternyata menyimpan potongan-potongan realitas yang tidak pernah benar-benar kulihat sebelumnya. Mungkin karena aku lebih muda. Mungkin karena dahulu aku terburu-buru. Atau mungkin karena kini aku tumbuh, dan pertanyaan-pertanyaan hidup mulai menuntutku untuk lebih peka.
Melihat ibu itu membuatku berpikir panjang tentang wajah agama Islam di negeri ini. Kita memeluk agama yang mengajarkan kasih sayang, kepedulian, solidaritas, dan keadilan sosial. Kita bangga pada identitas “umat terbaik” yang diperintahkan untuk menolong yang lemah. Namun dalam praktiknya, terlalu sering agama kita berhenti pada simbol, atribut, aktivitas ritual, atau ucapan-ucapan manis di mimbar.
Sementara itu, orang-orang seperti ibu di depan stasiun Bogor itu berdiri di titik paling pinggir dari perhatian publik. Menjadi semacam pengingat sunyi bahwa agama yang kita banggakan sering kali belum menyentuh akar persoalan hidup manusia: kemiskinan, penelantaran, dan ketidakadilan.
Realitas itu menyisakan pertanyaan yang tak kalah menusuk: apakah agama kita sedang sibuk berdebat di ruang-ruang wacana, sementara kemanusiaan yang menjadi inti ajarannya perlahan kita lupakan?
Ibu itu tidak berkata apa-apa malam itu. Namun kehadirannya adalah kritik tentang wajah umat ini: tentang jurang antara ideal dan kenyataan, tentang kepedulian yang sering berhenti di kata-kata, dan tentang betapa sering kita membiarkan simbol-simbol agama bekerja sendirian, tanpa tangan-tangan manusia yang seharusnya hadir menemani.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
