Avoidant Attachment: Takut Komitmen atau Takut Terluka?
Curhat | 2025-10-31 18:29:39
Orang-orang sering menilai mereka yang memiliki sikap avoidant sebagai pribadi yang takut komitmen. Mereka dianggap tidak serius dalam hubungan, terlalu mandiri, atau bahkan egois karena lebih menyukai kesendirian.
Bukan Takut Komitmen, Tetapi Takut Kehilangan Diri Sendiri
Yang sering tidak dipahami orang adalah bahwa individu dengan sikap avoidant bukan takut berkomitmen, tetetapi takut kehilangan diri sendiri dalam sebuah hubungan. Sejak kecil banyak dari mereka belajar bahwa bergantung kepada orang lain itu tidak aman. Mungkin karena orang tua yang sibuk bekerja dan jarang hadir saat dibutuhkan. Mungkin karena dikecewakan berkali-kali ketika membuka diri. Dari situ, mereka belajar untuk menyelesaikan masalah sendiri dan tidak bergantung pada siapa pun.
Bagi seseorang dengan kepribadian avoidant, kedekatan emosional bisa terasa seperti berada di lingkungan berbahaya. Ada keinginan untuk dekat, tetetapi juga ada kecemasan yang besar bila kedekatan itu berujung pada kehilangan. Kita kalau lagi dekat dengan seseorang berarti saling terbuka kan? Dari sikap yang terbuka itu dapat membuat mereka kita tau tentang kelemahan kita. Mereka bisa menggunakan kelemahan kita untuk menyakiti kita lebih dalam. Rasanya seperti menyerahkan senjata kepada seseorang. Bagi kami, kedekatan berarti risiko, dan risiko itu identik dengan potensi rasa sakit.
Maka, menjaga jarak menjadi cara kami untuk melindungi diri dari rasa sakit itu. Menghindar bukan berarti lari dari tanggung jawab, tetetapi bentuk pertahanan diri agar tidak tenggelam dalam emosi yang belum siap kami hadapi. Saat kami tiba-tiba menjauh, mungkin tampak seperti menghilang atau kabur. Tetapi yang sebenarnya terjadi di dalam kepala dan hati kami jauh lebih ramai. Jantung berdebar, pikiran campur aduk. Percayalah, di saat itu kami sedang berusaha keras menenangkan diri agar tidak melampiaskan ketakutan.
Dilema yang Menyiksa
Inilah adalah bagian yang paling menyakitkan: mereka sebenarnya ingin dekat dengan orang lain. Mereka ingin merasakan kehangatan hubungan yang akrab. Namun setiap kali ada yang mulai mendekat, ada bagian dari diri yang secara otomatis mundur. Seperti gerakan refleks yang tidak bisa dikendalikan.
Ketika pasangan mengatakan "Aku sayang kamu," ada perasaan sesak yang muncul. Bukan karena tidak suka mendengarnya, tetapi karena kata-kata itu terasa seperti beban tanggung jawab yang berat. Ungkapan seperti itu, bisa memperdalam ikatan emosional, hal yang justru membuat avoidant merasa terlalu dekat dan terancam.
Cara Bertahan yang Melelahkan
Banyak orang dengan sikap avoidant tampak dingin atau cuek. Tetetapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka butuh waktu sendiri lebih banyak dari orang lain. Mereka cenderung menghindari percakapan yang terlalu dalam tentang perasaan.
Mereka sulit menjelaskan perasaan. Kadang mereka sendiri tidak mengerti apa yang dipikirkan atau dirasakan. Bukan karena tidak punya perasaan, tetapi mereka terbiasa menahan diri sendiri agar tidak terlihat terlalu bergantung. Mereka lebih nyaman dengan logika disbanding dengan emosi, dan tidak terbiasa mengekspresikan perasaan.
Bukan Egois, Tetapi Luka yang Belum Sembuh
Dapat dipahami kenapa orang-orang menganggap avoidant egois. Dari luar, memang terlihat hanya mementingkan diri sendiri. Tetetapi kenyataannya, hal itu merupakan cara bertahan hidup secara emosional. Ini adalah strategi yang dikembangkan sejak kecil untuk melindungi diri dari rasa sakit yang pernah dialami.
Avoidant menganggap kedekatan adalah risiko ditolak, disakiti, atau ditinggalkan. Ketakutan akan keintiman membuat mereka lebih memilih aman di zona nyaman sendiri daripada mengambil risiko terluka.
Bukan berarti tidak mau berubah. Banyak yang sedang belajar perlahan untuk lebih terbuka, untuk membiarkan orang masuk ke dalam hidup tanpa merasa terancam. Tetetapi prosesnya tidak mudah dan tidak cepat. Butuh kesabaran, baik dari diri sendiri maupun dari orang-orang di sekitar.
Pesan untuk Dipahami
Jika mengenal atau mencintai seseorang dengan avoidant attachment, pahamilah bahwa mereka tidak sengaja menyakiti. Mereka bukan tidak ingin dekat. Mereka hanya perlu waktu lebih lama untuk merasa aman. Mereka memerlukan ruang untuk bernapas, tetetapi bukan berarti tidak menginginkan kehadiran orang lain dalam kehidupan mereka.
Dan untuk mereka yang mengalami avoidant attachment, ingatlah bahwa kemandirian itu baik, tetetapi mengisolasi diri bukanlah solusi. Setiap orang layak untuk dicintai dan untuk mencintai dengan utuh. Hanya perlu belajar bahwa membuka diri bukan berarti kehilangan diri, tetapi justru menemukan versi diri yang lebih lengkap.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
