Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nafisha Tu Najla

Mafia Tanah: Kanker Birokrasi yang Meracuni Keadilan Rakyat

Hukum | 2025-10-30 16:19:33

Di banyak sudut negeri ini, terutama di pedesaan yang dahulu hijau dan damai, kini terdengar keluhan yang sama: “Tanah kami hilang, tapi kami tidak tahu kapan.” Kalimatsederhana itu menyimpan tragedi panjang tentang mafia tanahyang perlahan merampas ruang hidup petani, dan tentangnegara yang terlalu sering menutup mata. Mafia tanah bukansekadar kelompok penipu yang bermain di balik dokumenpalsu. Mereka adalah jaringan yang terstruktur, terencana, danberlapis. Dari oknum pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, hingga perangkat desa semua bisa menjadibagian dari permainan yang memutarbalikkan hak rakyatmenjadi komoditas dagangan. Dalam banyak kasus, petaniyang sudah menempati tanah puluhan tahun tiba-tibakehilangan haknya karena “sertifikat baru” atas nama orang lain muncul di meja birokrasi. Ironisnya, semua itu dilakukandengan dokumen resmi yang ditandatangani oleh tangan-tangan berwenang.

Kejahatan ini disebut “mafia tanah”, tapi sebenarnya ialebih mirip kanker hukum tumbuh di tubuh negara, menggerogoti keadilan dari dalam. Penelitian Iwan Permadidari Universitas Brawijaya (2024) menunjukkan bahwalemahnya integritas aparat menjadi faktor utama mengapamafia tanah sulit diberantas. Ketika pejabat yang seharusnyamelindungi hak rakyat justru menjadi bagian dari permainankotor, maka hukum berubah menjadi alat untuk memperkayasegelintir orang dan menghancurkan banyak kehidupan

Ketika Desa Menjadi Ladang Penipuan

Bagi petani, tanah bukan sekadar harta. Ia adalah napas, sumber penghidupan, dan warisan yang menautkan generasi. Tapi di era ini, tanah justru menjadi sumber malapetaka. Modusnya beragam: sertifikat ganda, pemalsuan tanda tangan, penguasaan paksa, hingga jual-beli fiktif yang melibatkanoknum pejabat. Mafia tanah mampu memanfaatkan setiapcelah hukum dan kelemahan administrasi untuk mengklaimtanah rakyat. Salah satu modus klasik yang masih marakadalah penggunaan “surat kuasa palsu”. Dengan surat itu, mafia mengatasnamakan pemilik sah untuk menjual tanahkepada pihak ketiga. Begitu sertifikat berganti nama, petanitak lagi memiliki apa pun. Ketika mereka mengadu ke kantordesa atau BPN, jawabannya hampir selalu sama: “Semuanyasudah sesuai prosedur.” Prosedur yang diatur untuk siapa?

Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, antara 2018 hingga 2020 terdapat lebih dari 180 kasus konflik tanah yang berkaitan langsung dengan praktikmafia tanah. Angka ini meningkat setelah 2021, terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan yang tengah menjadiincaran proyek besar. Tanah petani berubah menjadiperumahan, industri, atau lahan investasi tanpa sepengetahuanpemilik aslinya. Mereka yang menolak sering diintimidasi, bahkan dikriminalisasi.

Negara yang Hilang dari Lahan Sendiri

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “bumidan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.” Namun di lapangan, negara tampakkehilangan makna dari kalimat itu. Penguasaan negara atastanah seharusnya berarti mengatur, melindungi, danmemastikan keadilan. Tapi ketika mafia tanah bisa bekerjadengan aman di balik meja pejabat publik, maka negara justrutampak dikuasai oleh mereka yang seharusnya tunduk padahukum. Lemahnya pengawasan dan integritas di tubuh BPN memperparah keadaan. Banyak kasus di mana aparatpertanahan ikut bermain dalam penerbitan sertifikat ganda, atau menutup mata terhadap manipulasi data yuridis. Dalamsatu kasus yang diulas oleh penelitian Perspektif Hukum, sertifikat tanah bisa diterbitkan dua kali atas lahan yang samasatu untuk pemilik asli, satu lagi untuk pembeli palsu dankeduanya sah secara administratif. Dalam kekacauan sepertiini, keadilan menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli.

Petani Melawan di Tengah Ketidakpastian

Tak sedikit petani yang mencoba melawan. Merekamembawa kasus ke pengadilan, namun jalannya panjang danmelelahkan. Mafia tanah memiliki jaringan hukum, uang, danwaktu. Petani hanya punya harapan yang sering kali habissebelum putusan jatuh. Dalam banyak putusan, mafia tanahmalah bebas karena dianggap “tidak cukup bukti”, atau karenasurat palsu sudah dilegalisasi oleh pejabat resmi. Padahal, dalam banyak hal, kejahatan ini lebih kejam dari pencurianbiasa. Ia tidak hanya merampas tanah, tapi juga merenggutmasa depan. Seorang petani yang kehilangan tanah bukanhanya kehilangan harta benda, tapi juga kehilangan identitassosialnya. Ia tak lagi punya tempat untuk bertani, membangunrumah, atau sekadar menanam padi di sawah warisan leluhur. Ia menjadi pengungsi di tanah sendiri.

Keadilan yang Tertinggal di Pinggir Sawah

Mafia tanah memanfaatkan dua kelemahan besar bangsaini: birokrasi yang korup dan masyarakat desa yang kurangmendapat edukasi hukum. Banyak warga desa tidak tahupentingnya mendaftarkan tanah secara resmi. Celah itudimanfaatkan oleh para mafia untuk mengklaim tanah “tidakbersertifikat” sebagai milik mereka. Pemerintah memang telahmeluncurkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap(PTSL), namun pelaksanaannya belum menjangkau seluruhpelosok, dan ironisnya, program ini sendiri kadang justrudisusupi oleh mafia yang membuat sertifikat palsu di dalamnya. Keadilan menjadi sesuatu yang mahal. Ketikahukum bisa dibeli, petani hanya bisa menunduk. Negara seolah hadir hanya sebagai penonton sibuk berbicara tentanginvestasi, tapi lupa pada rakyat yang kehilangan tempatberpijak.

Mengembalikan Hak, Mengembalikan Martabat

Mengakhiri praktik mafia tanah bukan sekadar urusanhukum, melainkan soal moral dan politik. Hukum bisa dibuattegas, tapi tanpa integritas aparat dan keberanian politik, semua hanya kertas kosong. Negara harus berani menindakpejabat yang terlibat bukan sekadar memutasi atau memberisanksi administratif, tapi memproses mereka secara pidanasebagaimana pelaku kriminal lain. Selain penegakan hukum, solusi juga harus datang dari bawah: masyarakat harusdiberdayakan. Edukasi hukum di desa harus menjadi prioritas. Petani perlu tahu cara memeriksa keaslian sertifikat melaluiaplikasi seperti Sentuh Tanahku, atau memahami prosedurpendaftaran tanah yang benar. Pemerintah desa juga harustransparan dalam setiap proses administrasi pertanahan. Setiapmeter tanah yang berpindah tangan harus tercatat jelas danterbuka untuk publik. Tanah bukan sekadar aset, ia adalahdasar dari kedaulatan rakyat. Jika tanah bisa direbut denganselembar kertas palsu, maka kedaulatan itu juga palsu.

Penutup: Dari Sawah ke Meja Hukum

Kasus mafia tanah adalah cermin betapa rapuhnyahukum kita di hadapan uang dan kekuasaan. Ketika desa yang dahulu tenteram berubah menjadi arena sengketa, ketikapetani yang jujur berubah menjadi terdakwa, maka jelas adayang salah dalam sistem kita. Negara tidak boleh lagi berdiamdiri. Tanah bukan sekadar milik individu ia adalah bagian daricita-cita konstitusi, bagian dari janji kemakmuran yang seharusnya dinikmati semua orang. Selama mafia tanah masihdibiarkan hidup, setiap hektare sawah di negeri ini berpotensiberubah menjadi ladang neraka. Dan selama itu pula, petaniakan terus menjadi korban terjepit di antara hukum yang butadan keadilan yang bisu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image