Antara Disiplin dan Kekerasan: Refleksi Atas Kasus Kepala Sekolah yang Menampar Siswa
Info Terkini | 2025-10-30 13:28:11
Antara Disiplin dan Kekerasan : Refleksi Atas Kasus Kepala Sekolah yang Menampar Siswa
Kasus seorang kepala sekolah yang menampar murid karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah kembali mengusik ruang batin publik. Tindakan itu menimbulkan perdebatan di masyarakat: apakah tamparan tersebut merupakan bentuk ketegasan mendidik, atau justru pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar pendidikan itu sendiri?
Di satu sisi, sebagian masyarakat menilai tindakan itu sebagai bentuk tanggung jawab moral seorang pendidik yang berupaya menjaga disiplin dan mencegah perilaku menyimpang. Namun, di sisi lain, banyak pihak menganggap tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan karena melanggar hak anak dan mencederai prinsip pendidikan yang beradab. Dua pandangan ini mencerminkan dilema lama yang hingga kini belum selesai: bagaimana menegakkan disiplin tanpa terjerumus ke dalam kekerasan?
Dalam konteks pendidikan modern, batas antara ketegasan dan kekerasan harus ditarik dengan tegas. Disiplin adalah bagian dari pendidikan karakter, tetapi tidak pernah identik dengan kekerasan fisik. Niat baik seorang guru tidak serta-merta membenarkan tindakan yang merendahkan martabat anak didiknya. Tamparan mungkin dimaksudkan untuk memberi pelajaran, tetapi yang sering tertinggal justru luka batin, rasa malu, dan jarak emosional antara guru dan murid.
Islam mengajarkan bahwa kemarahan harus dikendalikan, bukan dilepaskan. Rasulullah SAW bersabda, “Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, melainkan yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Prinsip ini menjadi landasan penting bagi dunia pendidikan Islam: bahwa kekuatan moral seorang pendidik terletak pada kesabarannya, bukan pada kekerasannya.
Guru dan kepala sekolah memang memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan disiplin, tetapi cara yang digunakan harus selaras dengan nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Disiplin sejati lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan. Seorang murid yang patuh karena takut hukuman hanya akan mencari celah untuk melanggar ketika tidak diawasi. Sebaliknya, murid yang patuh karena memahami nilai-nilai kebaikan akan menjadikannya pedoman hidup, bahkan di luar sekolah.
Kasus tamparan di sekolah juga mencerminkan krisis yang lebih dalam: melemahnya keteladanan moral dalam sistem pendidikan kita. Banyak pendidik merasa kehilangan wibawa di mata murid. Perubahan sosial yang cepat, arus media digital yang permisif, serta berkurangnya dukungan orang tua membuat sekolah sering kali berdiri sendiri menghadapi problem perilaku remaja.
Dalam kondisi frustrasi itu, sebagian pendidik memilih jalan pintas, mengembalikan disiplin dengan hukuman fisik. Padahal, yang dibutuhkan bukan kekerasan, melainkan keteguhan moral. Wibawa guru tidak lahir dari rasa takut, melainkan dari keteladanan dan kebijaksanaan. Rasulullah SAW mendidik para sahabat dengan kelembutan dan konsistensi, bukan dengan hukuman fisik. Beliau menjadi teladan yang dihormati karena kasih, bukan karena ancaman.
Guru masa kini dituntut untuk menghidupkan kembali semangat uswah hasanah keteladanan yang baik. Ketika guru datang tepat waktu, bersikap jujur, dan memperlakukan murid dengan adil, ia sedang menanamkan nilai disiplin tanpa perlu tamparan atau bentakan. Nilai-nilai itu akan jauh lebih melekat dalam diri anak-anak daripada sekadar rasa takut sesaat.
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses memanusiakan manusia. Sekolah seharusnya menjadi ruang penyembuhan, bukan tempat penghukuman. Kepala sekolah dan guru perlu menumbuhkan budaya mendidik dengan hati, menegur dengan kasih, menuntun dengan sabar, dan menghukum dengan adil serta proporsional.
Pendekatan restoratif (pemulihan) dapat diterapkan di sekolah untuk menggantikan budaya menghukum. Murid yang melakukan pelanggaran diajak untuk merefleksikan kesalahannya, memahami dampaknya bagi diri dan orang lain, lalu memperbaikinya melalui tindakan nyata. Dengan cara ini, murid belajar bertanggung jawab tanpa kehilangan harga diri. Guru pun belajar menjadi fasilitator perubahan, bukan pelaku kekerasan.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran yang serius. Namun, penyelesaiannya harus mendidik, bukan melukai. Teguran bisa tetap tegas tanpa harus kasar. Hukuman bisa tetap mendidik tanpa harus mempermalukan. Di sinilah seni mendidik diuji, antara menjaga disiplin dan memuliakan martabat manusia.
Ketika seorang kepala sekolah menampar muridnya, yang tercoreng bukan hanya wajah sang anak, tetapi juga martabat lembaga pendidikan itu sendiri. Sekolah kehilangan makna jika ia tak lagi menjadi tempat tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan sekecil apapun, akan meninggalkan bekas yang panjang pada murid, pada guru, dan pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.
Menegakkan disiplin tanpa kekerasan bukan berarti lembek atau permisif. Justru di situlah letak kekuatan sejati seorang pendidik mampu menegakkan aturan dengan kebijaksanaan, dan menjaga wibawa tanpa kehilangan kasih. Pendidikan yang beradab bukanlah yang paling keras dalam menghukum, melainkan yang paling konsisten dalam meneladani kebaikan.
Sudah saatnya kita menegakkan kembali martabat pendidikan nasional melalui nilai-nilai moral dan spiritual yang hidup dalam ajaran agama. Guru dan kepala sekolah bukan sekadar pengajar, tetapi juga penjaga amanah Tuhan, menjaga akhlak, membimbing hati, dan menumbuhkan kesadaran. Sebab, di tangan mereka, bukan hanya masa depan anak-anak yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan peradaban bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
