Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andrey

Abai terhadap Kesehatan Gigi, Hemat atau Sembrono?

Eduaksi | 2025-10-30 09:36:44
Sumber: https://klinikjoydental.com/wp-content/uploads/2022/05/Ilustrasi-warna-gigi-yang-sehat.jpg

Banyak orang merasa pergi ke dokter gigi bukanlah prioritas. Alasannya sederhana, bisa karena mahal, tidak mendesak, dan menunggu sakit baru pergi. Tapi pertanyaannya, apakah itu bentuk penghematan atau justru tindakan yang sembrono? Padahal, kesehatan gigi dan mulut bukan sekadar soal penampilan. Gigi yang berlubang, infeksi gusi, atau kehilangan gigi bisa memengaruhi cara kita makan, berbicara, bahkan rasa percaya diri. Lebih dari itu, penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara penyakit gusi dengan diabetes, penyakit jantung, hingga komplikasi kehamilan. Namun di Indoneia, perawatan gigi masih dianggap kemewahan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, hanya sekitar 10,2% masyarakat Indonesia yang pernah mendapatkan layanan kesehatan gigi dalam satu tahun terakhir (Kemenkes RI, 2019). Sebagian besar lainnya memilih menahan sakit, mengobati sendiri, atau datang ke dokter ketika kondisinya sudah parah.

Di kota besar, klinik gigi menjamur dengan layanan digital, ruang nyaman beraroma lavender, dan paket estetika seperti veneer atau bleaching. Namun di banyak daerah pedesaan, puskesmas bahkan belum memiliki dokter gigi tetap. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat distribusi tenaga dokter gigi masih sangat tidak merata. Konsentrasi tertinggi ada di Jawa dan Bali, sementara di wilayah timur Indonesia, satu dokter gigi bisa melayani hingga 30.000 penduduk, jauh di bawah standar ideal WHO yaitu 1:7.500 (PDGI, 2022). Program BPJS Kesehatan sebenarnya mencakup layanan gigi dasar seperti tambal dan cabut. Namun dalam praktiknya, masyarakat kerap menghadapi birokrasi yang rumit dan antrean panjang (Lestari & Rahman, 2021). Akibatnya, banyak yang memilih menghemat waktu dan uang dengan menunda, padahal penundaan itu justru menumpuk risiko dan biaya di masa depan.

Masalah ini tidak hanya soal uang, tapi juga budaya. Di sekolah, kampanye gosok gigi dua kali sehari jarang diiringi pemeriksaan rutin. Banyak orang tua masih menganggap gigi susu tidak penting karena akan diganti juga. Padahal, dari kebiasaan kecil itulah perilaku reaktif terhadap kesehatan terbentuk. Laporan Global School-Based Student Health Survey (WHO, 2020) menunjukkan bahwa lebih dari 60% anak usia sekolah di Indonesia tidak menyikat gigi dengan benar dua kali sehari. Akibatnya, karies gigi menjadi penyakit kronis paling umum di negara ini. Mengabaikan kesehatan gigi memang tampak seperti penghematan kecil. Tapi ketika infeksi menyebar, tambalan jadi akar, atau kehilangan gigi mneyebabkan gangguan makan dan pencernaan, biaya yang dikeluarkan bisa berlipat ganda.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Periksa gigi bukanlah pemborosan, tapi investasi kesehatan jangka panjang. Pemerintah perlu memperluas cakupan layanan preventif BPJS, memperbanyak tenaga dokter gigi di daerah, dan memperkuat edukasi public yang berkelanjutan. Para tenaga kesehatan gigi juga bisa mengambil peran lebih aktif dalam edukasi masyarakat. Tidak hanya di ruang praktik, tapi juga lewat media sosial dan kegiatan komunitas. Sementara itu, masyarakat perlu menanamkan kebiasaan sederhana seperti sikat gigi dengan benar, periksa gigi setiap enam bulan, dan berhenti menganggap tidak sakit berarti sehat.

Mengabaikan kesehatan gigi demi alasan hemat justru seperti menunda ledakan waktu. Cepat atau lambat, biaya dan risikonya akan jauh lebih besar. Kesehatan gigi bukanlah kemewahan, ia bagian dari hak dasar untuk hidup sehat dan bermartabat. Karena sejatinya, senyum sehat bukanlah tanda orang kaya, melainkan tanda bahwa kita cukup peduli pada diri sendiri. Senyum yang terawat bukan hanya cermin kesehatan, tapi juga wujud rasa syukur dan tanggung jawab terhadap tubuh yang telah bekerja tanpa lelah untuk kita setiap hari.

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Lestari, D., & Rahman, H. (2021). Evaluasi Akses Pelayanan Gigi pada Peserta BPJS Kesehatan di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 16(2), 55–63.

PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia). (2022). Profil Distribusi Dokter Gigi di Indonesia 2022. Jakarta: PDGI Pusat.

Peres, M. A., et al. (2019). Oral Diseases: A Global Public Health Challenge. The Lancet, 394(10194), 249–260.

World Health Organization (WHO). (2020). Global School-Based Student Health Survey: Indonesia Fact Sheet 2020.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image