Ketika Kelelahan Menjadi Tren di Lingkungan Kerja: K3 Harus Bicara Soal Burnout
Humaniora | 2025-10-29 15:50:43
Dunia kerja modern bergerak cepat, tetapi manusia di dalamnya tidak selalu mampu mengimbangi lajunya. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena burnout atau kelelahan kerja kronis semakin sering muncul dan menjadi masalah serius di lintas sektor. Kondisi ini tidak hanya berupa rasa lelah biasa, melainkan bentuk kelelahan fisik, emosional, dan mental yang muncul akibat tekanan kerja berlebihan dan minimnya ruang pemulihan.
Data dari Human Care Consulting (HCC) memperlihatkan bahwa lebih dari 52 persen pekerja di Indonesia mengalami burnout, dengan generasi Z sebagai kelompok paling rentan. Dari survei yang sama, 91 persen responden mengaku menghadapi tekanan mental di tempat kerja, dan 35 persen di antaranya mengalami gejala depresi. Angka ini menjadi peringatan nyata bahwa burnout bukan sekadar keluhan, melainkan krisis kesehatan kerja yang perlu direspons cepat.
Pandangan serupa datang dari World Health Organization (WHO) yang telah menetapkan burnout sebagai fenomena kerja serius dengan dampak signifikan terhadap kesehatan. WHO menegaskan bahwa burnout dapat menurunkan produktivitas, mengganggu konsentrasi, serta meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan penyakit fisik seperti hipertensi dan gangguan jantung.
Burnout dan Relevansi K3
Burnout sering kali muncul akibat beban kerja yang tidak terkendali, kurangnya kontrol terhadap tugas, dan lemahnya dukungan sosial di tempat kerja. Dampaknya terlihat jelas pada penurunan tingkat produktivitas, frekuensi absensi meningkat, dan kualitas hidup pekerja merosot. Ironisnya, sebagian besar perusahaan masih memandang burnout sebagai konsekuensi wajar dari ambisi dan kompetisi.
Faktanya, burnout merupakan sinyal bahaya yang dikirim tubuh dan pikiran ketika keduanya berada di ambang batas kemampuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem kerja dan pola hidup seseorang sudah tidak lagi seimbang antara tuntutan dan kapasitas untuk memulihkan diri. Melalui fenomena ini peran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) seharusnya hadir lebih kuat. Selama ini, penerapan K3 lebih banyak difokuskan pada aspek fisik seperti pencegahan kecelakaan, pengawasan alat pelindung diri, serta pengendalian paparan bahan berbahaya. Oleh karena itu, ke depannya penerapan K3 tidak cukup hanya berfokus pada perlindungan fisik, tetapi juga harus mencakup upaya menjaga kesehatan mental dan keseimbangan psikologis pekerja.
Langkah Konkret yang Harus Didorong
Pertama, pengawasan beban kerja menjadi kunci. Penerapan K3 harus memastikan distribusi tugas berlangsung secara proporsional dan mencegah beban kerja berlebih yang memicu stres berkepanjangan.
Kedua, perusahaan perlu memberi ruang istirahat dan pemulihan yang cukup. Jam kerja yang manusiawi, kebijakan right to disconnect, serta program pendampingan mental bisa membantu menjaga keseimbangan fisik dan emosional karyawan.
Ketiga, edukasi dan pelatihan tentang kesehatan mental perlu dijalankan secara rutin. Baik manajer maupun karyawan harus mampu mengenali tanda-tanda awal burnout agar penanganan bisa dilakukan lebih dini.
Keempat, suasana kerja yang inklusif dan suportif sangat penting. Pekerja yang merasa dihargai dan didengar akan lebih mudah menjaga stabilitas emosional dan motivasi kerja.
Menjadikan Burnout Agenda Serius K3
Perlu dipahami bahwa burnout bukanlah tanggung jawab individu semata. Dengan kasus burnout yang semakin meningkat dan berpengaruh besar terhadap produktivitas pekerja, masalah ini perlu menjadi perhatian dalam kebijakan K3, baik di tingkat perusahaan maupun pemerintah. Pendekatan K3 yang komprehensif harus mencakup aspek psikososial dan kesehatan mental. Perusahaan yang peduli pada kesejahteraan karyawan tidak hanya akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, tetapi juga menghasilkan kinerja yang lebih berkelanjutan.
Kelelahan bukan simbol dedikasi, dan bekerja tanpa batas bukan ukuran profesionalitas. Di tengah kompetisi dan tuntutan produktivitas, memastikan kesehatan mental pekerja sama pentingnya dengan menjaga keselamatan fisik mereka. Karena masa depan dunia kerja tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras kita bekerja, tetapi juga seberapa sehat kita bertahan.
Referensi
Amalia & Herlina. 2025. The Role of Self-Awareness and Self-Management in Mitigating Burnout and Health Harm among Indonesian Employees: Implications for Organizational Interventions. 2025 5th International Conference on Innovative Research in Applied Science, Engineering and Technology (IRASET), Fez, Morocco, 2025, pp. 1-6, doi: 10.1109/IRASET64571.2025.11008171.
Antara News. 2025. 52 Persen Pekerja Burnout, Perusahaan Diminta Skrining Psikologis. https://www.antaranews.com/berita/5165765/52-persen-pekerja-burnout-perusahaan-diminta-skrining-psikologis. Diakses 23 Oktober 2025.
Hidayat, R. 2025. Krisis Kesehatan Mental di Indonesia: Tantangan dan Solusi di Tahun 2025. https://kaltimtara.republika.co.id/posts/524922/krisis-kesehatan-mental-di-indonesia-tantangan-dan-solusi-di-tahun-2025. Diakses 23 Oktober 2025.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
