Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amelia .

Sisi Gelap Hustle Culture: Ketika Prestasi Mahasiswa Berubah Jadi Perlombaan Gengsi

Eduaksi | 2025-12-03 17:02:58
ilustrasi mahasiswa multitasking dan media sosial (sumber: https://pixabay.com/id/)

Bayangkan, obrolan ringan di kantin kampus kini berubah menjadi sesi wawancara kerja tidak resmi. "Magang di mana?", "Ikut organisasi berapa?", "Sudah mengumpulkan berapa sertifikat?", pertanyaan bernada kompetitif ini telah menggantikan percakapan santai tentang tugas kuliah atau rencana weekend. Inilah wajah baru kecemasan generasi kita: terjebak dalam pusaran hustle culture.

Fenomena hustle culture merupakan budaya yang mengidealkan kesibukan berlebihan, produktivitas tinggi, dan kerja tanpa jeda yang telah menyusupi dinamika kehidupan kampus. Di balik CV yang semakin gemilang dan segudang pencapaian, tersimpan realitas suram: generasi muda akademis kian dihantui tekanan gengsi sosial (social prestige) dan kecemasan eksistensial akan masa depan.

Gengsi dan Kecemasan: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Dalam perspektif sosiologi, gengsi (prestise) dan status sosial memang telah lama menjadi pendorong perilaku manusia. Namun pada mahasiswa zaman sekarang, hal ini termanifestasi dalam tekanan untuk terus terlihat "sibuk" dan "produktif" sesuai standar lingkungan sosial. Bukan lagi tentang kedalaman pemahaman ilmu, melainkan berapa banyak aktivitas yang bisa dipamerkan di media sosial dan dicantumkan dalam CV.

Pernahkah Anda merasa harus mengatakan "sibuk" agar dianggap produktif? Jika iya, Anda tidak sendirian. Konstruksi sosial di era digital telah menyamakan kesuksesan dengan kesibukan. Mahasiswa yang tak terlibat banyak kegiatan kerap dianggap kurang ambisius atau "kalah" dalam persaingan. Di sinilah gengsi bermetamorfosis menjadi kecemasan, ketakutan akan tertinggal, tidak diakui, dan gagal memenuhi ekspektasi masyarakat.

Dampak Tak Terlihat pada Kesehatan Mental

Melalui lensa sosiologi kesehatan, Hustle culture bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan fenomena sosial yang berdampak langsung pada kesehatan mental mahasiswa yang kebanyakan berada dalam rentang usia remaja akhir hingga dewasa muda (18–25 tahun).

ilustrasi mahasiswa kelelahan atau burnout (sumber: https://pixabay.com/id/)

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan gambaran mengkhawatirkan: secara global, satu dari tujuh (14,3%) anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan mental. Depresi dan kecemasan menjadi penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan remaja. Lebih memprihatinkan, bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga pada kelompok usia 15-29 tahun.

Hustle culture memperburuk kondisi ini dengan menormalisasi stres kronis. Tekanan untuk terus berprestasi, ditambah budaya toxic productivity, mengikis waktu istirahat dan pemulihan mental. Akibatnya, banyak mahasiswa mengalami burnout yaitu, kondisi kelelahan fisik dan emosional yang memicu gangguan mental. WHO memperkirakan 5,3% remaja usia 15-19 tahun mengalami gangguan kecemasan, dan 3,4% mengalami depresi.

Gejala seperti perubahan suasana hati tak terduga, kekhawatiran berlebihan, dan penarikan diri dari pergaulan yang diperburuk lingkungan kompetitif dapat memengaruhi kehadiran dan kinerja akademik yang menciptakan siklus merugikan yang terus berputar.

Mesin Penghasil Kecemasan yang Tersistematis

Tekanan ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia diperkuat sistem yang lebih besar: dunia kerja yang semakin kompetitif, nilai budaya yang mengukur kesuksesan secara material, serta algoritma media sosial yang memberi standing ovation pada pencapaian spektakuler. Bersama-sama, mereka membentuk "mesin" penghasil kecemasan yang sempurna.

Dalam kerangka teori Emile Durkheim, kondisi ini dapat dikaitkan dengan ‘anomie’ keadaan tanpa norma akibat perubahan sosial terlalu cepat. Norma tradisional tentang kesuksesan bertahap telah tergantikan ambisi tak terbatas, meninggalkan individu dalam kebingungan, keterisolasian, dan kerentanan terhadap stres.

Fenomena ini semakin kompleks dengan adanya gap antara pendidikan dan dunia kerja. Banyak mahasiswa merasa harus mengakumulasi berbagai pengalaman karena ketidakpastian lapangan kerja setelah lulus. Mereka terjebak dalam "perlombaan senjata kurikulum" (curriculum arms race) dimana nilai, sertifikat, dan pengalaman magang menjadi alat tukar di pasar kerja yang semakin ketat.

Lalu, Bagaimana Menyikapinya?

Kesadaran akan sisi gelap hustle culture adalah langkah awal. Sebagai bagian dari komunitas kampus, kita perlu:

  • Mendefinisikan Ulang Makna Sukses: Kesuksesan sejati bukan hanya tentang karier gemilang dan kekayaan materi. Kesuksesan yang berkelanjutan mencakup kesehatan mental yang baik, hubungan yang bermakna, dan waktu untuk pengembangan diri.
  • Membangun Support System: Menciptakan lingkungan pertemanan dan akademik yang suportif, dimana mahasiswa merasa aman berbicara tentang kecemasan tanpa dihakimi. Ruang berbagi yang inklusif dapat menjadi penangkal rasa terisolasi.
  • Menerapkan Pola Hidup Seimbang: Ingat, kesehatan mental adalah fondasi produktivitas berkelanjutan. Luangkan waktu untuk istirahat, menekuni hobi, dan bersosialisasi tanpa merasa bersalah. Being busy doesn't always mean being productive.
  • Mengembangkan Kesadaran Kritis: Lakukan analisis kritis terhadap tekanan struktural dan narasi dominan tentang kesuksesan. Dengan memahami akar permasalahan, kita dapat membebaskan diri dari jerat kecemasan yang dikonstruksi secara sosial.

Hustle culture mungkin menjanjikan kesuksesan, tetapi seringkali mengorbankan hal paling berharga: kesehatan dan kebahagiaan di masa kini. Masa kuliah seharusnya menjadi waktu untuk belajar, bereksplorasi, dan menemukan jati diri bukan perlombaan yang menguras tenaga dan jiwa.

Mungkin sudah waktunya kita memutus siklus ini. Dengan bersama-sama menyadari sisi gelapnya dan berani mengambil langkah untuk berhenti sejenak, kita dapat membangun masa depan yang tidak hanya sukses secara materi, tetapi juga berkelanjutan dan bermakna secara manusiawi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image