Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aulia Ayu Lujingga

Overworked but Still Caring: Seni Komunikasi Perawat di Tengah Dunia yang Serba Cepat

Lain-Lain | 2025-10-22 10:01:39
Aulia Ayu Lujingga | Fakultas Keperawatan | Keperawatan | Universitas Airlangga

Di ruang-ruang rumah sakit yang tak pernah benar-benar sepi, ada satu hal yang sering terlupakan di antara deru alat medis dan langkah cepat petugas kesehatan: komunikasi yang menyembuhkan. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, perawat dihadapkan pada dilema antara efisiensi dan empati antara keharusan untuk sigap dan kebutuhan untuk hadir secara manusiawi. Menjadi perawat hari ini berarti berlari dalam sistem yang menuntut segalanya: dokumentasi digital yang rumit, jadwal kerja bergilir tanpa henti, dan tuntutan untuk selalu ramah meski hati sendiri lelah. Namun di tengah semua itu, komunikasi terapeutik seni berbicara dan mendengarkan dengan hati tetap menjadi napas dari profesi ini.

Era digital membawa banyak kemudahan dalam pelayanan kesehatan, tetapi juga mengubah cara manusia berinteraksi. Di rumah sakit modern, komunikasi sering kali berkurang menjadi instruksi singkat, pesan elektronik, atau laporan tertulis. Padahal, menurut Stuart dan Sundeen (2016), inti dari komunikasi terapeutik adalah presence kehadiran penuh empati antara perawat dan pasien. Ketika sistem kesehatan menuntut efisiensi, waktu untuk mendengarkan pasien perlahan terkikis. Tidak jarang, perawat harus berbicara dengan pasien sambil mencatat data di sistem atau menjawab panggilan dari ruang lain. Hubungan yang seharusnya hangat berubah menjadi rutinitas mekanis.

Sebuah studi oleh World Health Organization (WHO, 2023) menunjukkan bahwa 41% tenaga kesehatan mengalami gejala emotional exhaustion akibat beban kerja berlebih dan tekanan psikologis. Namun, menariknya, penelitian yang sama menemukan bahwa komunikasi empatik dari tenaga medis justru meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pasien hingga 37%. Artinya, walau kelelahan itu nyata, perawat yang mampu menjaga kualitas komunikasi tetap menjadi sumber kekuatan penyembuhan bagi pasien, maupun bagi dirinya sendiri. Komunikasi terapeutik bukan hanya alat untuk menggali informasi medis, tetapi juga bentuk terapi emosional. Dalam interaksi sederhana seperti memanggil nama pasien dengan lembut, menatap dengan tulus, atau mendengarkan tanpa menyela ada kekuatan psikologis yang besar.

Penelitian Rahmawati dan Sari (2021) menyebutkan bahwa komunikasi terapeutik memperkuat trust antara pasien dan perawat, serta meningkatkan efektivitas asuhan keperawatan. Bagi pasien, rasa didengarkan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan motivasi sembuh. Bagi perawat, komunikasi terapeutik menciptakan makna kerja yang lebih dalam bukan sekadar tugas, melainkan perwujudan empati dan nilai kemanusiaan. Dalam konteks pasien lansia, misalnya, perawat sering dihadapkan pada hambatan seperti gangguan pendengaran atau penurunan daya ingat. Namun justru di sanalah seni komunikasi terapeutik diuji. Ketika perawat menurunkan nada suara, memperlambat ritme bicara, dan menatap mata pasien dengan sabar, hubungan manusiawi terbentuk dan itulah momen di mana “kata menjadi obat.”

Bagi banyak perawat muda, terutama generasi baru yang tumbuh di era digital, tantangan bukan hanya pada beban kerja, tapi juga pada emotional fatigue. Mereka bekerja dalam sistem yang sering kali mengukur kinerja dari kecepatan, bukan kedalaman. Istilah “burnout empati” kini mulai dikenal di dunia keperawatan: kondisi di mana tenaga kesehatan kehilangan kemampuan emosional untuk merasakan empati karena terlalu sering menghadapi penderitaan tanpa dukungan emosional yang cukup. Penelitian oleh Gómez-Urquiza et al. (2017) menemukan bahwa hampir 34% perawat muda mengalami compassion fatigue kelelahan akibat terlalu banyak memberi tanpa kesempatan untuk memulihkan diri. Namun, justru dalam titik lelah itu, seni komunikasi terapeutik menemukan relevansinya kembali. Komunikasi yang jujur, saling mendukung antarperawat, serta ruang refleksi menjadi kunci menjaga kemanusiaan tetap hidup. Karena sebelum perawat dapat menyembuhkan orang lain, ia harus mampu menyembuhkan dirinya sendiri.

Mungkin dunia kesehatan modern akan terus berlari cepat, tapi komunikasi terapeutik mengajarkan satu hal: bahwa kecepatan tidak harus meniadakan kehangatan. Dalam setiap “bagaimana kabar hari ini, Pak?”, ada makna yang jauh lebih besar dari sekadar formalitas. Itu adalah pengakuan bahwa pasien adalah manusia, bukan angka atau diagnosa. Bagi perawat, komunikasi bukan sekadar keterampilan profesional ia adalah bagian dari spiritualitas kerja. Ia menyentuh aspek keikhlasan, empati, dan kasih yang menjadi fondasi pelayanan keperawatan sejak awal. Menjadi “overworked but still caring” mungkin tampak seperti beban, tapi di sisi lain, itu juga perwujudan keteguhan hati. Di tengah sistem yang menuntut efisiensi, perawat masih memilih untuk berhenti sejenak, menatap pasien, dan berkata lembut: “Tenang, saya di sini.” Itulah seni tertinggi dari komunikasi terapeutik menyembuhkan tanpa kehilangan diri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image