Tegas Tanpa Kekerasan: Pelajaran Moral dari Kasus Murid Mogok Sekolah
Sekolah | 2025-10-27 21:29:26Publik kembali disajikan tontonan miris dari dunia pendidikan. Belum lama ini, sebuah insiden di sebuah SMA di Kabupaten Lebak, Banten, menciptakan kegaduhan yang meluas. Berawal dari seorang siswa yang kedapatan merokok dan ditampar oleh kepala sekolah, kejadian itu segera memicu reaksi berantai yaitu ratusan siswa mogok sekolah sebagai bentuk solidaritas. Peristiwa ini, yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, bukan sekadar pelanggaran tata tertib biasa. Kasus ini memaksa kita merenung, seberapa efektif nilai moral dan etika yang diajarkan di sekolah benar-benar dipahami dan dijalankan oleh para siswa dan guru? Ketika pelanggaran aturan dijawab dengan kekerasan, dan kekerasan direspons dengan pembelaan yang salah, jelas ada ketidakseimbangan antara wewenang, tanggung jawab, dan kesadaran moral.
Bahaya Rokok Bagi Remaja
Merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran aturan yang jelas. Namun, respons kolektif siswa, yakni mogok massal, justru menunjukkan adanya masalah nilai yang lebih dalam. Aksi tersebut seolah menempatkan siswa yang melanggar sebagai korban, dan pihak sekolah yang berusaha menegakkan aturan sebagai pihak yang bersalah.
Ini memperlihatkan pergeseran nilai moral. Membela teman yang berbuat salah bukanlah wujud empati yang benar, melainkan pembenaran kolektif terhadap pelanggaran. Solidaritas yang benar seharusnya mendorong upaya perbaikan, kesadaran, dan kepatuhan terhadap norma yang berlaku demi kebaikan bersama. Ketika perasaan loyal pada kelompok lebih penting daripada akal sehat, kita menghadapi solidaritas yang tidak seharusnya.
Dampak rokok bagi kesehatan remaja, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sudah diketahui secara luas. Namun, masalah yang lebih penting adalah dimensi sosial dan etika. Merokok di sekolah menunjukkan lemahnya kontrol diri dan rendahnya kesadaran akan nilai disiplin dan tanggung jawab. Rokok sering dianggap sebagai simbol "kebebasan," sementara ketegasan sekolah justru dilihat sebagai musuh yang membatasi.
Siswa SMA seharusnya sudah mampu berpikir logis dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka telah menerima edukasi tentang bahaya rokok. Oleh karena itu, jika pelanggaran tetap terjadi, masalahnya bukan lagi karena kekurangan informasi, melainkan karena nilai disiplin belum tertanam kuat dalam diri mereka. Sekolah punya tanggung jawab moral untuk mengisi kekosongan nilai ini. Sayangnya, fokus yang terlalu berlebihan pada pencapaian akademik seringkali membuat upaya pembentukan karakter dan disiplin terabaikan.
Cara Mendidik yang Gagal Total
Di sisi lain, dugaan kekerasan fisik penamparan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai upaya pendisiplinan adalah kesalahan fatal yang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Prinsip dasar pendidikan adalah anti-kekerasan. Penggunaan kekerasan, sekecil apa pun, akan menghilangkan makna moral dari seluruh proses mendidik itu sendiri. Seorang pendidik adalah figur otoritas moral. Oleh karena itu, tindakan pendisiplinan wajib dilakukan dengan tegas, tetapi tanpa kekerasan, didasari oleh komunikasi yang terbuka, prosedur yang adil, dan bukti yang jelas. Ketegasan harus dimaknai sebagai konsistensi dalam penegakan aturan. Begitu kekerasan menjadi solusi, sekolah kehilangan fungsinya sebagai ruang pertumbuhan akal dan hati, dan justru mengajarkan bahwa kekuasaan boleh digunakan untuk menyakiti. Kegagalan ini menandakan hilangnya keseimbangan antara akal sehat dan emosi dalam sistem pendidikan.
Menegakkan Disiplin dengan Akal Sehat dan Kemanusiaan
Kasus ini menunjukkan adanya masalah dalam cara mengelola emosi dan konflik, baik di sisi siswa maupun pendidik. Siswa gagal menggunakan akal sehat dalam bersolidaritas, sementara pendidik gagal mengendalikan reaksi emosional saat menghadapi pelanggaran. Oleh karena itu, peran Bimbingan dan Konseling (BK) harus segera diperkuat dan direvitalisasi. BK harus menjadi mitra dialog dan pendamping siswa, bukan sekadar penegak hukuman. Pendekatan disiplin harus berfokus pada perbaikan perilaku, membangun kesadaran, dan memulihkan hubungan, daripada hanya menjatuhkan sanksi. Disiplin memang penting, tetapi harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Tegas dalam aturan, tetapi tetap mengedepankan empati dan pemahaman terhadap kondisi siswa.
Peristiwa mogok sekolah ini adalah cermin kegagalan kita bersama dalam menanamkan nilai moral secara utuh. Ini adalah peringatan penting bagi semua pihak, terutama Kementerian Pendidikan, untuk memperkuat pendidikan karakter secara substantif dan praktis. Pendidikan yang berhasil tidak hanya diukur dari nilai akademik yang tinggi, tetapi dari seberapa dalam siswa memahami dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan kondusif untuk membangun kesadaran moral yang kuat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
