Menilik Kasus Perundungan: Hancurnya Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Agama | 2025-11-14 15:23:34Kasus perundungan yang menimpa Timothy, mahasiswa Universitas Udayana menjadi cerminan serius terhadapnya hancurnya pembinaan karakter pada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Berdasarkan laporan yang beredar, Timothy naik ke lantai empat kampus sekitar pukul 08.30 WITA dengan mengenakan kemeja putih dan membawa ransel sebelum kemudian ditemukan meninggal dunia akibat dugaan bunuh diri.
Ironisnya, kondisi Timothy yang sempat tersebar di grup WhatsApp himpunan mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tidak direspons dengan empati sebagaimana mestinya. Sebaliknya, sebagian mahasiswa justru mengolok-olok dan memberikan komentar bernada merendahkan. Percakapan nir-empati tersebut kemudian viral di media sosial dan mengundang kecaman luas dari masyarakat. Peristiwa ini menunjukkan adanya degradasi nilai kemanusiaan dan lemahnya internalisasi karakter pada mahasiswa yang seharusnya menjadi kelompok intelektual terdidik.
Krisis pendidikan karakter yang tergambar dari kasus ini tidak dapat dipahami sebagai sekadar penyimpangan perilaku individu, melainkan merupakan gejala yang berakar pada paradigma pendidikan modern yang dominan di Indonesia. Sistem pendidikan yang dibangun atas dasar sekularisme telah memisahkan nilai-nilai spiritual dan moral dari ranah pendidikan. Orientasi pendidikan pun bergeser menjadi sarana memperoleh gelar, pekerjaan, dan mobilitas sosial, bukan sebagai proses pembentukan kepribadian mulia. Akibatnya, peserta didik tumbuh dalam budaya akademik yang menekankan kompetensi teknis, tetapi minim kedalaman akhlak dan empati. Hal ini sejalan dengan pandangan Islam bahwa pendidikan yang tidak didasarkan pada wahyu cenderung melahirkan kebingungan moral, penyimpangan, serta hilangnya makna hidup.
Dalam perspektif Islam, pendidikan memiliki tujuan yang jauh lebih komprehensif, yaitu membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah islâmiyyah) melalui integrasi antara pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang berlandaskan akidah Islam. Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa, serta mengajarkan kitab dan hikmah:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah; padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 2)
Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa misi utama beliau adalah penyempurnaan akhlak:إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Para ulama terdahulu pun memandang akhlak sebagai fondasi utama pendidikan. Ungkapan “adab sebelum ilmu” menjadi prinsip penting dalam proses menuntut ilmu. Mereka menekankan bahwa kualitas moral seseorang menjadi landasan bagi pemanfaatan ilmu secara benar dan bermakna.
Dalam konteks krisis pendidikan karakter saat ini, sejumlah pemikir menilai bahwa selama sistem pendidikan berada dalam kerangka kapitalis–demokrasi–sekuler, upaya untuk mewujudkan pendidikan yang gratis, berkualitas, dan mampu melahirkan manusia bertakwa akan selalu menemui hambatan mendasar. Paradigma pendidikan sekuler tidak memberikan ruang besar bagi pembinaan spiritual; akibatnya, pendidikan menjadi bersifat materialistik dan kehilangan ruhnya.
Perbaikan melalui revisi kurikulum, pelatihan guru, atau penambahan jam pelajaran agama hanyalah upaya parsial yang tidak menyentuh akar masalah. Krisis karakter di Indonesia bukanlah persoalan teknis semata, melainkan persoalan sistemik yang berakar pada paradigma yang memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam padangan Islam, solusi komprehensif memerlukan pengembalian sistem pendidikan ke dalam kerangka nilai Islam secara utuh, yaitu pendidikan yang berasaskan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan. Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Khilafah, sistem pendidikan Islam mampu melahirkan generasi yang unggul secara intelektual dan spiritual, serta berkontribusi besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban. Dalam kerangka ini, pendidikan tidak hanya mencetak individu cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki orientasi hidup yang benar.
Dengan demikian, tragedi seperti yang dialami Timothy seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi paradigma pendidikan yang ada. Pembentukan karakter tidak mungkin berhasil tanpa fondasi nilai yang kokoh. Perspektif Islam menawarkan model pendidikan yang menyatukan ilmu, akhlak, dan iman sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hanya dengan kembali pada nilai-nilai tersebut, perguruan tinggi dapat benar-benar menjadi ruang pembentukan manusia berilmu, beradab, dan berkepribadian mulia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
