Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ihsan Tahir

Ironi Hukum di Era Digital: Ketika AI Melaju Kencang, Hukum Tertatih-tatih

Hukum | 2025-10-26 17:49:28
Ilustrasi Muhammad Ihsan Tahir (gemini.google.com AI).

Telepon berdering, menampilkan wajah dan suara yang sangat familiar, sosok atasan atau kerabat dekat. "Saya butuh transfer dana darurat segera, ini darurat!" perintahnya. Tanpa ragu, anda melakukannya. Beberapa jam kemudian, baru disadari, itu bukan sosok yang kamu kenal. Itu adalah deepfake canggih, sebuah tiruan digital sempurna yang diciptakan oleh AI. Kasus-kasus penipuan berbasis AI, yang memanfaatkan kecerdasan generatif untuk meniru identitas dan suara, kini bukan lagi fiksi ilmiah. Kejahatan ini, yang kerap menghiasi berita utama di berbagai platform berita media sosial dengan kerugian hingga miliaran rupiah, adalah realitas pahit yang mendesak di tengah masyarakat digital kita. Indonesia, saat ini, sedang berada di tengah pusaran revolusi Kecerdasan Buatan (AI). Kita menyambutnya dengan antusiasme besar. Lihat saja, dari asisten virtual yang menjawab pertanyaan kita dengan cerdas, hingga sistem otomatisasi yang mengubah cara kita bekerja. AI menjanjikan masa depan yang serba efisien dan mudah.

Kita menyambut AI dengan karpet merah, sebagai chatbot cerdas, sebagai mesin efisiensi. Namun, di saat teknologi ini melaju dengan kecepatan sangat tinggi, sistem hukum kita, yang seharusnya melindungi kita dari ancaman kejahatan siber, masih berjalan dengan ritme birokrasi yang lambat. Inilah ironi terbesar yang kita saksikan hari ini, kecepatan inovasi AI berbanding terbalik dengan kecepatan pemerintah merumuskan dan menegakkan aturan hukum. Jurang kecepatan ini menciptakan lubang hitam hukum, atau yang kita sebut kevakuman hukum atau regulasi, yang paling berbahaya terasa dalam arena kejahatan siber.

AI: Kekuatan Pelipat Ganda Kejahatan Siber

Kita sering lupa, kecanggihan AI adalah pedang bermata dua. Ia bukan hanya alat bantu bagi kita, tetapi juga kekuatan pelipat ganda bagi penjahat. AI telah naik kelas, tidak lagi sekadar menjadi alat, melainkan arsitek di balik skema kejahatan yang jauh lebih besar, lebih pribadi, dan hampir mustahil untuk dilacak.

Di negara kita, dengan tingkat pemahaman digital yang masih beragam, ancaman AI ini sangat nyata, seperti, Penipuan Digital (Phishing) dulu, pesan penipuan mudah dikenali dari tata bahasanya yang kacau. Kini, AI generatif mampu membuat surel atau pesan chat yang sempurna, meniru gaya komunikasi atasan atau rekan kerja Anda, dan menargetkan Anda secara spesifik (spear phishing). Kemampuan AI ini membuat penipuan menjadi jauh lebih meyakinkan. adapun, Malware yang beradaptasi sendiri, ini digunakan untuk merancang virus atau malware yang bisa bermutasi dan berubah bentuk secara mandiri. Akibatnya, perangkat lunak antivirus kesulitan mendeteksinya, membuat sistem keamanan kita rentan. dan yang marak seperti deepfake yang bisa merusak kepercayaan seperti ancaman paling serius datang dari video atau suara palsu. Penjahat bisa membuat rekaman suara atau video yang sangat meyakinkan, meniru suara atasan perusahaan untuk memerintahkan transfer dana, atau menyebarkan disinformasi yang merusak reputasi dan nama baik. Bahkan, AI mengubah kejahatan dari aktivitas manual menjadi proses industri yang bisa dilakukan oleh satu orang untuk menyerang jutaan target sekaligus.

Regulasi yang Tertinggal

Inti dari permasalahan hukum di Indonesia adalah regulasi yang dibangun masih berdasarkan paradigma digital masa lalu, sebelum AI hadir dan mendominasi. Seperti di dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE didesain untuk era digital awal, di mana fokus utamanya adalah tindakan yang dilakukan langsung oleh manusia (misalnya, mengunggah konten ilegal atau menyusup ke sistem elektronik). UU ITE sangat kesulitan menghadapi kejahatan siber berbasis AI otonom karena terkendala dalam dua hal fundamental dalam hukum pidana, yakni dalam subjek hukum UU ITE berfokus kaku pada "orang" atau "badan hukum." Ketika sebuah algoritma AI melakukan penipuan finansial atau manipulasi pasar secara otomatis, UU ini bingung menetapkan siapa subjek yang bersalah apakah pengembang, pengguna, atau sistem itu sendiri.

Mens Rea (Niat Jahat), hukum pidana mensyaratkan adanya niat jahat atau buruk. AI tidak memiliki niat. Karena itu, hukum menjadi tumpul dalam menjerat kejahatan yang diciptakan oleh sistem cerdas secara mandiri, menciptakan potensi impunitas digital. UU ITE bersifat reaktif dan tumpul karena gagal menjangkau entitas digital yang membuat keputusan yang bisa merugikan, inilah sebuah realitas yang didorong oleh gempuran AI.

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU PDP adalah kemajuan, tetapi ia bersifat reaktif. Artinya, ia berfokus pada pemberian sanksi setelah data bocor atau dilanggar. AI hidup dari data. Pelanggaran terbesar AI sering terjadi pada tahap pelatihan model. Model AI bisa mengandung bias diskriminatif atau kerentanan sejak awal, jauh sebelum digunakan. UU PDP belum secara eksplisit mewajibkan audit algoritmik atau standar ketat dalam penggunaan data untuk melatih AI (prinsip data minimisation). Tanpa aturan yang mewajibkan transparansi desain pada AI, kita hanya bisa mengobati lukanya (menghukum setelah pelanggaran), bukan mencegah penyakitnya (cacat etika dan bias dalam desain model).

Adapun, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun telah diperbarui, KUHP kita tetap berakar kuat pada konsep hukum pidana klasik, terutama konsep niat jahat (mens rea). Hukum pidana mensyaratkan adanya niat jahat atau buruk dan kesengajaan. Di sinilah AI membuat hukum kita buntu. Jika sistem AI otonom melakukan penipuan finansial atau kecelakaan fatal, siapa yang memiliki mens rea?

 

  • Apakah Pengembang? Mereka hanya menulis kode. Niat mereka membangun sistem, bukan menipu.
  • Bagaimana Pengguna? Mereka mungkin hanya mengaktifkan tombol. Mereka tidak memanipulasi setiap langkah keputusan algoritma.
  • Atau AI itu sendiri? AI bukanlah manusia dan bukan subjek hukum. Menghukum AI adalah hal yang mustahil.

Ketidakjelasan ini menghasilkan konsekuensi serius, kejahatan siber berbasis AI canggih berisiko bebas dari hukuman karena hukum tidak bisa menemukan 'niat jahat'. Semakin pintar teknologi yang digunakan oleh penjahat, semakin lemah hukum kita untuk menjerat mereka.

Masa Depan Hukum Ada di Tangan Kita

Ironi yang kita bedah hari ini—antara AI yang melesat dan hukum yang tertatih-tatih—adalah panggilan untuk bangun (wake-up call) paling keras bagi negara. Kita telah melihat bagaimana hukum, yang seharusnya menjadi benteng kedaulatan dan pelindung warga, kini berubah menjadi bayangan yang tak mampu mengejar objeknya sendiri. Kelambanan ini bukan hanya menciptakan celah pidana, ia mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di era digital.

Hukum klasik kita, yang begitu menghargai mens rea (niat jahat), ternyata tak berdaya di hadapan entitas digital yang tidak memiliki hati nurani. Kita tidak boleh membiarkan kelambanan ini berlanjut, sebab risikonya adalah penyerahan kedaulatan digital kita kepada algoritma tak terlihat dan para pelaku kejahatan siber.

Lalu, apa harapan kita? Masa depan hukum memang ada di tangan kita, bukan di tangan AI. Harapan itu terletak pada keberanian kolektif untuk bertindak proaktif dan tegas. Ini adalah upaya merombak cara kita berpikir tentang keadilan, dari abad ke-19 menuju abad ke-21.

Tanggung jawab ini bukan hanya dibebankan pada penegak hukum. Ini adalah tugas kolektif akademisi, praktisi hukum, pengusaha teknologi, dan setiap warga negara untuk berkolaborasi. Kita harus merumuskan hukum yang lincah (agile), kuat, beretika, dan siap menghadapi realitas otonom. Hanya dengan langkah berani ini, kita memastikan bahwa kemajuan AI melayani keadilan dan kemanusiaan, bukan justru meruntuhkannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image