Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nova Pebriyani

Penerjemahan (Sastra Bandingan)

Sastra | 2025-10-26 14:15:42
sumber: shutterstock

Pandangan Umum tentang Penerjemahan dalam Sastra Bandingan

Menurut Gifford (1993) dalam Endaswara (2009) penerjemahan sering menjadi persoalan dalam kajian sastra bandingan. Walaupun istilah “terjemahan” dianggap lebih halus dibanding “plagiat” atau “epigon”, karya hasil terjemahan sering dinilai lebih rendah dari karya asli. Namun pada kenyataannya, banyak kajian sastra bandingan yang menggunakan karya terjemahan sebagai bahan perbandingan. Dalam tahap awal, penelitian sastra bandingan bahkan banyak mengkaji terjemahan yang kreatif, karena hasil terjemahan yang baik dapat memiliki nilai estetika tersendiri, bahkan bisa melebihi keindahan teks aslinya (Endaswara 2011:206).

Bagian ini menjelaskan bahwa posisi karya terjemahan dalam sastra bandingan masih sering diperdebatkan. Banyak orang yang memandang karya asli lebih “murni” dan berharga, padahal terjemahan justru memiliki peran penting dalam memperluas jangkauan makna sebuah karya sastra. Penerjemahan memungkinkan sebuah teks menembus batas bahasa dan budaya. Dalam konteks sastra bandingan, karya terjemahan juga menjadi sarana untuk melihat perbedaan gaya, makna, dan nilai budaya dari berbagai bangsa.

Pandangan Klasik tentang Penerjemahan (Wellek dan Warren)

Wellek dan Warren dalam Theory of Literature menjelaskan bahwa karya terjemahan sering dianggap tidak senyaman karya asli untuk dibaca, terutama bagi pembaca yang fasih dengan bahasa sumbernya. Pandangan klasik ini menganggap karya asli lebih unggul dibandingkan versi terjemahannya. Namun sebenarnya, setiap terjemahan juga bisa dilihat sebagai karya baru karena membawa bentuk dan makna yang berbeda dari teks aslinya (Endaswara 2011:207).

Pandangan ini menggambarkan cara berpikir lama yang masih menempatkan karya asli di posisi tertinggi. Terjemahan dianggap sekadar salinan, bukan karya dengan nilai seni tersendiri. Padahal, dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah juga melakukan interpretasi terhadap teks. Dengan demikian, hasil terjemahan memiliki keunikan baru yang tidak dimiliki teks sumbernya. Ini menunjukkan bahwa karya sastra selalu terbuka untuk dimaknai ulang sesuai dengan konteks bahasa dan budaya pembacanya.

Pandangan Susan Bassnett dan Bellock tentang Penerjemahan

Susan Bassnett (1993) menyoroti pandangan lama tentang penerjemah yang diibaratkan “budak di kebun orang lain”, sebuah metafora dari John Dryden. Artinya, penerjemah dianggap bekerja untuk teks orang lain tanpa memiliki hak atasnya. Helaire Bellock menambahkan bahwa penerjemahan hanyalah “seni tambahan” atau “tiruan”, sehingga masyarakat tidak menghargai kesulitan dan pentingnya proses tersebut. Pandangan ini menempatkan penerjemahan pada posisi yang rendah dibandingkan penciptaan karya baru (Damono 2009:92–93).

Pernyataan di atas menunjukkan bagaimana penerjemahan pernah dipandang sebelah mata. Penerjemah dianggap tidak kreatif karena hanya menyalin karya orang lain. Padahal, proses penerjemahan justru menuntut kepekaan tinggi terhadap makna, gaya, dan nuansa bahasa. Bassnett dan Bellock menekankan bahwa penerjemahan adalah seni tersendiri, karena seorang penerjemah harus mampu menjaga keseimbangan antara kesetiaan pada teks sumber dan keindahan dalam bahasa sasaran.

Pandangan Teori dan Model Studi Komparatif

Dalam pendekatan komparatif biner, karya terjemahan dianggap tidak sah sebagai bahan kajian karena peneliti diwajibkan membaca teks dalam bahasa aslinya. Sebaliknya, model Amerika Utara lebih terbuka terhadap karya terjemahan dan menganggap penerjemahan bukan masalah utama. Kurangnya penghargaan terhadap penerjemah menyebabkan rendahnya kualitas hasil terjemahan, terutama karena banyak penerjemah tidak menguasai bahasa sasaran dengan baik. Bassnett menegaskan bahwa menerjemahkan sastra bukan hanya soal tata bahasa, tetapi proses membangun kembali makna dan emosi teks (Damono 2009:94).

Nah ini membandingkan dua cara pandang terhadap penerjemahan. Pendekatan lama menganggap hanya teks asli yang sah untuk diteliti, sedangkan pendekatan baru menerima terjemahan sebagai bentuk ekspresi baru dari teks yang sama. Dalam konteks ini, penerjemahan tidak sekadar memindahkan kata, tetapi juga makna dan perasaan. Pandangan ini menegaskan bahwa penerjemah bukan sekadar pengalih bahasa, melainkan penghubung budaya dan penafsir makna yang memberi kehidupan baru pada karya sastra.

Pandangan Ezra Pound, Benjamin, Derrida, dan Lefevere

Ezra Pound menggambarkan penerjemahan sebagai cara “menghidupkan kembali orang mati”. Walter Benjamin menyebutnya “kehidupan setelah kematian” (afterlife) bagi sebuah teks. Jacques Derrida menolak pandangan bahwa karya asli lebih unggul, sebab setiap teks sebenarnya juga merupakan hasil terjemahan dari teks-teks sebelumnya. Sementara Andre Lefevere menganggap penerjemahan sebagai proses “penulisan kembali” (rewriting) dalam konteks budaya yang baru (Damono 2009:94).

Pandangan para tokoh ini menegaskan bahwa penerjemahan memiliki nilai yang sama pentingnya dengan penciptaan karya asli. Melalui terjemahan, teks lama dapat hidup kembali dalam budaya dan zaman yang berbeda. Derrida bahkan menegaskan bahwa tidak ada karya yang benar-benar “asli”, karena setiap teks selalu lahir dari pengaruh teks lain. Artinya, terjemahan bukan bentuk peniruan, melainkan kelanjutan kehidupan karya sastra.

Fungsi dan Contoh Penerjemahan

Terjemahan merupakan cara suatu bangsa di masa tertentu menafsirkan karya bangsa lain di masa yang berbeda. Misalnya, puisi “Krawang-Bekasi” bisa dipandang sebagai tafsir bangsa Indonesia terhadap sajak Archibald MacLeish tentang Perang Dunia II. Dengan demikian, penerjemahan memungkinkan karya sastra melintasi ruang dan waktu. Contohnya, Gulliver’s Travels dan Robinson Crusoe kini dikenal sebagai cerita anak-anak, padahal awalnya adalah kritik sosial dan politik di Inggris (Damono 2009:99).

Bagian ini menekankan bahwa penerjemahan adalah bentuk dialog antarbudaya dan lintas zaman. Ketika karya sastra diterjemahkan, maknanya akan menyesuaikan dengan konteks budaya pembacanya. Proses ini membuat karya sastra terus hidup dan relevan. Terjemahan juga berfungsi sebagai sarana pelestarian nilai budaya dan pengetahuan manusia dari masa ke masa.

Penutup dan Relevansi Saat Ini

Penerjemahan dalam sastra perlu dilakukan dengan hati-hati agar hasilnya tetap bisa dinikmati dan tidak merugikan pembaca. Meskipun sulit menyamakan kedudukan antara teks asli dan terjemahan karena persoalan hak cipta, penerjemahan tetap berperan penting dalam perkembangan budaya. Sejarah menunjukkan bahwa tanpa kegiatan penerjemahan, kebudayaan tidak akan mengalami perkembangan (Damono 2009:101).

Bahwa penerjemahan adalah bagian penting dari dinamika kebudayaan. Melalui penerjemahan, masyarakat dapat mengenal pemikiran, nilai, dan karya dari bangsa lain. Walaupun terjemahan tidak selalu sempurna, kegiatan ini tetap diperlukan agar sastra dapat terus bergerak dan saling memperkaya antarbudaya. Dengan kata lain, tanpa penerjemahan, pertukaran ide dan kemajuan budaya akan berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Buku Pop.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image