Epigon, Pengaruh, dan Plagiat (Sastra Bandingan)
Sastra | 2025-10-26 14:13:35Dalam dunia sastra, karya seorang pengarang tidak pernah lahir di ruang kosong. Setiap teks hampir selalu terhubung dengan teks sebelumnya, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai epigon, pengaruh, dan plagiat menjadi penting dalam kajian sastra.
Epigon
Secara etimologis, istilah epigon berasal dari bahasa Latin epigonos atau epigignestai yang berarti “lahir kemudian”. Suwardi tidak sepakat dengan definisi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang menyebut epigon sebagai orang tanpa gagasan baru yang hanya mengikuti jejak pendahulunya. Menurutnya, seorang sastrawan tetaplah seorang kreator yang gemar berimajinasi. Dari proses imajinasi itu, selalu ada peluang lahirnya gagasan baru, penolakan terhadap yang lama, bahkan inovasi. Karena itu, apapun bentuknya, karya seorang sastrawan tetap layak dihargai sebagai hasil kreativitas (Endaswara 2011:210).
Epigon sering dianggap kurang tepat karena dipahami sekadar meniru. Padahal menurut Suwardi, walaupun seorang pengarang tampak mengikuti jejak pendahulunya, dia tetap bisa menghasilkan sesuatu yang baru lewat imajinasi dan interpretasinya. Jadi, epigon bukan cuma copy paste, tapi bisa jadi tahap kreatif dalam perjalanan seorang sastrawan.
Jadi, kalau kata Suwardi, epigon itu artinya penulis yang lahir belakangan dan karyanya keliatan mirip sama penulis sebelumnya. Tapi bukan berarti tidak kreatif. Walaupun keliatan niru, mereka tetap bisa bikin hal baru karena punya imajinasi sendiri. Jadi epigon itu lebih kayak proses belajar dan berkembang, bukan cuma niru mentah-mentah.
Kalau kita melihat karya pengarang Inggris, Indonesia, dan Jawa, sebenarnya kecenderungan epigonistik sulit dihindari. Misalnya, ide besar cerpen Abracadabra karya Danarto dianggap berakar dari puisi-puisi A.A. Cummings. Hal ini biasanya hanya bisa diungkap oleh ahli sastra bandingan. Pengaruh semacam itu juga terlihat pada Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono, terutama dalam tipografi puisinya yang tampak terhubung dengan karya sastra asing sebelumnya. Pemikiran para sastrawan Indonesia tersebut kemudian ikut memengaruhi cerpen-cerpen Jawa, misalnya Wek Gedhabyah Wek Jleg karya Andi Casiyem Sudin, Radikal karya Keliek Eswe, Mripat karya Suwardi Endraswara, Ratu karya Krishna Miharja, dan Petruk karya Jayus Pete. Cerpen-cerpen itu banyak diterbitkan di media berbahasa Jawa seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan Jaka Lodang, bahkan sebagian sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Pada dasarnya, manusia sejak kecil terbiasa meniru, sehingga hingga dewasa pun cenderung meniru tokoh-tokoh yang dianggap hebat atau berhasil di bidangnya (Endaswara 2011:211).
Jadi, dalam bukunya Suwardi Endaswara ini menunjukkan bahwa epigon itu wajar dalam sastra. Penulis besar sekalipun pasti pernah dipengaruhi karya orang lain. Misalnya: Danarto (Abracadabra) → terinspirasi dari gaya puisi A.A. Cummings, Sutardji dan Sapardi → tipografi puisinya mirip gaya asing. Pengaruh itu berlanjut ke cerpen-cerpen Jawa yang diterbitkan di berbagai majalah berbahasa Jawa.
Intinya, meniru adalah bagian alami dari proses kreatif manusia. Dari kecil kita belajar dengan cara meniru, dan dalam sastra pun meniru karya yang lebih dulu lahir bisa menjadi pintu lahirnya karya baru yang punya ciri khas tersendiri.
Pengaruh
Secara garis besar, studi tentang pengaruh dan analogi dalam sastra bandingan menekankan pada interaksi dan kesamaan yang muncul di antara karya sastra, pengarang, maupun tradisi sastra nasional. Kajian ini juga bisa menyentuh peran tokoh-tokoh penting yang menjadi perantara dalam menyebarkan ide, doktrin, atau teknik sastra tertentu. Ruang lingkup penelitian tersebut kemudian bisa diuraikan lagi menjadi beberapa segmen, seperti: Sumber, yaitu inspirasi atau informasi yang diperoleh pengarang dari karya sastra asing. Nasib, yaitu tanggapan atau dampak yang diberikan sebuah karya di masyarakat lain. Citra, yaitu gambaran atau anggapan baik benar maupun keliru yang dimiliki suatu bangsa terhadap karya sastra bangsa lain. Selain itu, kesamaan yang terlihat antara karya sastra dengan bidang seni lain pun dapat dipahami sebagai bagian dari kajian sastra bandingan (Damono 2009: 9).
Pada bagian ini Sapardi Djoko Damono menjelaskan bahwa ketika membahas pengaruh dalam sastra bandingan, kita bukan hanya bicara tentang siapa meniru siapa, tapi lebih luas: Contoh, ada sumber → misalnya penyair Indonesia dapat inspirasi dari puisi Prancis, ada nasib → misalnya novel Indonesia diterjemahkan ke bahasa asing lalu memberi dampak ke pembaca luar negeri, ada citra → misalnya bangsa lain punya anggapan tertentu tentang sastra Indonesia, entah benar atau salah. Nah Selain itu, karya sastra juga bisa dipengaruhi atau dibandingkan dengan seni lain, misalnya film, lukisan, atau musik. Jadi, pengaruh itu bukan hal negatif, tapi bagian alami dari pertemuan budaya.
Pengaruh dalam sastra bisa muncul secara langsung atau tidak langsung, dan belum tentu jelas apakah yang berpengaruh itu pengarangnya atau karya yang ditulisnya. Kadang pengaruh datang bukan dari pengarang besar, tapi justru dari penulis yang kurang diperhatikan di negaranya, meski pada akhirnya tetaplah para sastrawan jenius yang menjadi mata rantai perkembangan peradaban (Damono 2009:10).
Artinya, pengaruh dalam sastra itu tidak selalu jelas sumbernya. Bisa dari karya, atau bisa juga dari sosok pengarangnya. Dan uniknya, kadang bukan tokoh besar yang memberi pengaruh, melainkan penulis kecil yang karyanya nyampe ke masyarakat lain. Tapi tetap saja, para penulis jenius biasanya jadi penghubung penting dalam sejarah perkembangan sastra dunia.
Jost 1974 dalam (Damono 2009:10) menambahkan, penelitian pengaruh bisa dilakukan dengan metode genetik (yang menekankan hubungan sebab-akibat) atau poligenetik (yang tidak terlalu menekankan sebab-akibat). Meski penting, studi pengaruh tidak selalu mampu menjelaskan sepenuhnya bagaimana sebuah teknik atau gagasan bisa tersebar, karena pada dasarnya masyarakat penerima harus sudah siap menerima pengaruh itu. Kalau tidak ada kesiapan, maka pengaruh tidak akan menular (Damono 2009:10).
Nah, pada bagian ini maksudnya, ada dua cara untuk meneliti pengaruh. Metode genetik melihat hubungan langsung misalnya (A memengaruhi B), sedangkan poligenetik lebih longgar, karena kadang pengaruh sulit dilacak. Tapi yang penting, karya sastra cuma bisa berpengaruh kalau masyarakat yang menerima memang siap. Kalau tidak siap, meskipun karyanya bagus, pengaruhnya bisa gagal nyampe.
Contohnya, setelah perang besar, hampir di semua masyarakat muncul karya-karya sastra bertema perang. Begitu juga pada masa krisis ekonomi 1920–1930 (masa malaise), karya sastra di berbagai negara industri Eropa sama-sama menanggapi masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial (Damono 2009:11).
Jadi, contoh ini nunjukin analogi. Perang atau krisis ekonomi adalah pengalaman sosial yang dialami banyak negara. Tanpa harus saling memengaruhi, tiap masyarakat otomatis bikin karya sastra yang mirip temanya: tentang penderitaan perang atau kesulitan ekonomi. Jadi, analogi nunjukin kemiripan alami karena kondisi sosialnya sama.
Plagiat
Menurut Suwardi Endaswara, istilah plagiat sendiri terasa kurang menyenangkan untuk didengar. Plagiat dapat dipahami sebagai tindakan seorang sastrawan yang menyalin karya orang lain, dan hal ini dianggap sama dengan pencurian. Praktik plagiarisme tidak hanya bisa terjadi di lingkup sastra satu daerah saja, tetapi juga dalam hubungan antara sastra daerah dengan daerah lain, antara sastra daerah dengan sastra nasional, bahkan antara sastra nasional dengan sastra asing. Sering kali karya sastra dari berbagai wilayah atau negara memiliki kesamaan isi cerita, meskipun dipisahkan oleh jarak geografis yang jauh dan latar budaya yang berbeda (Endaswara 2011:206).
Makna pada bagian di atas, menurut Suwardi Endaswara, plagiat itu tindakan yang tidak etis karena sama dengan mencuri ide orang lain lalu diakui sebagai karya sendiri. Plagiat bisa terjadi di level kecil (antar daerah) sampai level besar (antarnegara). Nah, yang bikin rumit, kadang karya dari wilayah yang berbeda bisa tampak mirip padahal tidak saling meniru, tapi karena ada kemiripan budaya atau tema universal. Jadi, tugas peneliti sastra bandingan adalah membedakan mana yang benar-benar plagiat (nyontek), mana yang sekadar kebetulan mirip karena faktor budaya atau pengalaman sosial yang sama.
HB Jassin, seorang kritikus sastra Indonesia, memakai pendekatan sastra bandingan untuk membela Hamka dan Chairil Anwar dari tuduhan plagiat. Hamka dituduh menyalin karena novelnya Tenggelamnya Kapal van der Wijck dianggap mirip dengan karya pengarang Mesir, Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Hal serupa terjadi pada Chairil Anwar, yang dituduh menjiplak karya penyair asing (Endaswara 2011:207).
Bagian ini menekankan bahwa tuduhan plagiat terhadap pengarang besar Indonesia bukan hal baru. Tuduhan ini muncul karena ada kemiripan cerita atau gaya dengan karya asing. Namun, kemiripan tidak serta-merta berarti plagiat, karena bisa jadi hanya bentuk pengaruh atau inspirasi yang wajar terjadi dalam sastra.
Lewat analisis sastra bandingan, Jassin menyatakan bahwa Hamka tidak plagiat, melainkan melakukan adaptasi dari karya Al Manfaluthi. Untuk Chairil Anwar, Jassin melihat bahwa ia tidak menjiplak, melainkan menyadur dan menerjemahkan karya asing, lalu memberi sentuhan khas dalam puisinya (Endaswara 2011:207).
Ini menjelaskan bahwa sastra bandingan membantu membedakan antara plagiat dan kreativitas. Hamka dan Chairil tidak bisa disebut plagiator, karena mereka menambahkan unsur baru, baik dengan menyesuaikan karya ke dalam budaya Indonesia (Hamka), maupun lewat bahasa dan gaya khas pribadi (Chairil). Artinya, kemiripan karya justru memperlihatkan proses intertekstualitas, bukan pencurian ide.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Buku Pop.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
